Category: Artikel

  • Hukum Menjual Voucher/Kupon Belanja

    Hukum Menjual Voucher/Kupon Belanja

    Hukum Voucher Belanja

    Menjual Voucher Belanja

    ❓ Pertanyaan :

    Assalamualaikum Warohmatulloh …Ustad Mau tanya perihal Muamalah,
    Misal ada orang yg menjual voucher belanja bernilai 50000 rupiah tapi di jual dengan hrga dibawahnya misal 40000 voucher tsb hanya berlaku untuk dibelanjakan di tempat yg sudah di tetapkan apakah hal ini dibolehkan atau voucher tersebut harus dibeli dengan nilai yg sama. Jazakallahu khoiron dari Fauzi – Timika

    ? Jawaban :

    Untuk ahkuna fauzi di timika barokallahu fik….tentang pertanyaan antum sedikitnya ada dua masalah yg harus didampaikan : Hukum menerima voucher belanja dan Hukum menjualnya.

    (1). Maka kita katakan hukum menerima voucher belanja adalah boleh kalau tidak diniatkan dalam belanjanya ini untuk mendapatkan voucher.

    (2). Dan voucher sendiri hukumnya ada khilaf dikalangan para ulama apakah termasuk alat tukar karena bisa di belanjakan dengan berbagai macam kebutuhan walaupun disyaratkan harus di toko tersebut/tertentu. Ataukah bukan sebagai alat tukar

    (3). pendapat pertama vocher belanja adalahberupa alat tukar dan yg berlaku nilanya mata uang rupiah maka ketika dijual denagn rupiah haruslah terpenuhi 2 syarat yaitu tamatsul (sama nominalnya) dan Taqabud (kontan) agar terhindar dari riba.

    (4) Pendapat kedua bahwa voecher bukanlah sebagai alat tukar, tapi kalau mau di qiyas kan lebih dekat kepada akad salam, yaitu uang di berikan di muka dan barang di terima kemudian.

    Seperti misalnya seseorang nyimpan uang di warung satu juta, untuk supaya anak dan istrinya ngambil barang sembako tiap hari sampai pas totalnya satu juta , jadi uang duluan barang belakangan ini akad salam namanya.

    (5). Pendapat kedua lebih kuat insya Allah, disini kita tidak bawakan dalil akan bolehnya karena hukum ashal didalam muamalah adalah boleh sehingga ada pelarangannya.

    Wallahu a’lam.

    ✒️ Abu Ghozie As-Sundawie.

    Tambahan: untuk menguatkan bahwa voucher belanja bukan alat tukar seperti uang rupiah adalah kalau kita minta tukar dengan uang ke pihak perusahaan yg mengeluarkannya (super market) maka mereka menolak bahkan harus dibelanjakan barang di supermarket tsbut,

  • ANTARA KALENDER HIJRIYAH DAN MASEHI

    ANTARA KALENDER HIJRIYAH DAN MASEHI

    Kalender perhitungan yang Allâh sebutkan di dalam Kitab-Nya yang mulia adalah perhitungan yang tepat yang tidak akan berbeda sepanjang tahun, yaitu perhitunganQomariyah.

    Di dalam firman Allâh Ta’âlâ :

    وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِئَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

    “Dan mereka mendiami gua tersebut selama tiga tahun ditambah Sembilan (tahun lagi)” (QS al-Kahfi : 25)

    Sebagian ulama menyebutkan bahwa jumlah 300 tahun itu adalah perhitungan Syamilah sedangkan jumlah 309 tahun itu adalah perhitungan Qomariyah!

    Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn menyanggah pendapat ini dan menjelaskan di dalam sanggahannya bahwa perhitungan di sisi Allâh Ta’âlâ itu hanyalah perhitungan Qomariyah bukan Syamsiyah.

    Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâhu berkata :

    “Firman Allâh Ta’âla : “Ditambah 9 tahun lagi” maksudnya 300 tahun ditambah dengan 9 tahun. Jadi, mereka tinggal di gua selama 309 tahun lamanya.

    Mungkin akan ada yang bertanya : “Kenapa tidak langsung saja disebut 309 tahun?”

    Maka kita jawab : Tidak ada bedanya ucapan ini dan itu, akan tetapi al-Qur’ân yang agung ini adalah kitab yang paling tinggi sastranya. Agar selaras dengan ritme setiap ayat, Allah berfirman “ثَلَاثَ مِئَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا”.

    Tidak sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang bahwa 300 tahun itu adalah berdasarkan kalender Syamsiyah, dan ditambah 9 tahun berdasarkan Qomariyah. Sesungguhnya tidaklah mungkin bagi kita mempersaksikan bahwa Allâh menghendaki hal ini! Siapa gerangan yang mempersaksikan bahwa Allâh menghendaki makna ini?! Sekalipun apabila 300 tahun Syamsiyah itu mencocoki 309 tahun Qomariyah, tetap tidak mungkin kita mempersaksikan hal ini kepada Allâh, karena perhitungan di sisi Allâh itu hanyalah satu!

    (Jika ada yang bertanya) : Apa tanda-tanda yang digunakan untuk perhitungan di sisi Allâh?

    Kita jawab : Tandanya adalah hilâl (bulan sabit).

    Karena itulah kita katakan bahwa pendapat yang menyatakan 300 tahun itu Syamsiyah dan tambahan 9 tahun itu Qomariyah, adalah pendapat yang lemah.

    (Dengan alasan), Pertama : Tidak mungkin bagi kita mempersaksikan bahwa Allâh yang menghendaki hal ini.

    Kedua : bahwa perhitungan bulan dan tahun di sisi Allâh adalah dengan hilâl (bulan sabit). Allâh Ta’âlâ berfirman :

    هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نوراً وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب

    “Dialah Allâh yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta ditetapkan oleh-Nya manzilah-manzilah (orbit peredaran) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS Yûnus: 5)

    ( يسئلونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج

    “Mereka bertanya kepadamu tentang Hilâl (bulan sabit). Katakanlah (Wahai Muhammad) “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan haji” (QS. Al-Baqarah: 189)
    [Ceramah Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn tentang Tafsîr Surat al-Kahfi]

    Perhitungan dengan bulan dan hilâl (bulan sabit) sudah dikenal oleh para Nabi dan kaum mereka, sedangkan perhitungan dengan matahari (Syamsiyah) tidaklah dikenal kecuali oleh orang-orang pandir penganut agama-agama (kafir). Namun ironisnya, mayoritas kaum muslimin saat ini banyak yang mencocoki mereka.
    HUBUNGAN KALENDER SYAMSIYAH DENGAN AGAMA PAGAN

    Bahwa ada keterkaitan perhitungan Syamsiyah ini yang berangkat dari sistem perhitungan yang diwariskan kaum Paganisme (Watsaniyah), yang tidak pernah dianggap oleh para Nabi ‘alaihim ash-Sholâtu was Salâm. Sesungguhnya perhitungan yang dianggap oleh syariat hanyalah perhitungan berdasarkan bulan dan hilâl, dan perhitungan ini adalah yang paling tepat dan cermat.

    Diantara dalil yang menunjukkan bahwa perhitunganQomariyah ini yang telah dikenal di dalam syariat para Nabi, adalah hadits Wâtsilah bin al-Asqa’ radhiyallâhu ‘anhu yang mengatakan bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Salam bersabda :

    أُنْزِلَتْ صُحُفُ ‏‏إِبْرَاهِيمَ ‏عَلَيْهِ السَّلَام ‏‏فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَتْ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ ، وَأُنْزِلَ الْفُرْقَانُ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ

    “Suhuf Ibrâhîm ‘alaihis Salâm diturunkan pada permulaan malam Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari ke-13 bulan Ramadhan dan al-Furqân (yaitu al-Qur’ân) diturunkan pada malam ke-24 Ramadhan.” [HR Ahmad IV/107 dan al-Baihaqî dalam “as-Sunan” IX/188, dan sanadnya hasan. Syaikh al-Albânî menyebutkannya dalam “ash-Shahîhah” 1575].

    Hal ini (yaitu waktu turunnya kitab suci di hadits tersebut di atas) tidak dapat diketahui kecuali apabila perhitungan menggunakan bulan dan hilâl.

    Yang juga menunjukkan akan hal ini adalah hadits yang dikeluarkan di dalam 2 Kitab Shahîh (Shahîhain) dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata :

    قَدِمَ النَّبِيُّ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏الْمَدِينَةَ ‏فَرَأَى ‏‏الْيَهُودَ ‏‏تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ :‏ ‏مَا هَذَا ؟ قَالُوا : هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ ‏‏بَنِي إِسْرَائِيلَ ‏‏مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ ‏‏مُوسَى … الحديث

    “Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam tiba di kota Madinah, dan beliau melihat kaum Yahudi sedang berpuasa di hari ‘Asyura, lalu beliau bertanya : “Hari apa ini?”, mereka (kaum Yahudi) menjawab : “ini hari yang baik. Di hari ini Allâh menyelamatkan Bani Isra’il dari musuh mereka dan hari berpuasanya Musa.”.” [HR Bukhârî : 2004 dan Muslim : 1130]

    Al-Hâfizh (Ibnu Hajar) rahimahulâhu juga menyatakan secara tegas bahwa mereka (bangsa Yahudi) tidak menganggap perhitungan Syamsiyah. [Lihat “al-Fath” IV/291 dan VII/323].

    Ibnul Qoyyim rahimahullâhu berkata mengomentari firman Allâh Ta’âlâ :

    هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ

    “Dialah Allâh yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta ditetapkan oleh-Nya manzilah-manzilah (orbit peredaran) bagi perjalanan bulan itu” (QS Yûnus: 5)

    Dan juga firman-Nya :

    وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ . وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ

    “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”.(QS. Yâsin: 38-39)

    Beliau mengatakan :

    ولذلك كان الحساب القمري أشهر وأعرف عند الأمم وأبعد من الغلط ، وأصح للضبط من الحساب الشمسي ، ويشترك فيه الناس دون الحساب ، ولهذا قال تعالى : ( وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ) يونس/5 ولم يقل ذلك في الشمس ، ولهذا كانت أشهر الحج والصوم والأعياد ومواسم الإسلام إنما هي على حساب القمر وسيره حكمة من الله ورحمة وحفظا لدينه لاشتراك الناس في هذا الحساب ، وتعذر الغلط والخطأ فيه ، فلا يدخل في الدين من الاختلاف والتخليط ما دخل في دين أهل الكتاب

    “Karena itulah perhitungan Qomariyah itu lebih populer dan dikenal oleh banyak umat dan lebih jauh dari kesalahan serta lebih benar dalam detailnya daripada perhitungan Syamsiyah dimana orang-orang menggunakannya tanpa perlu melakukan perhitungan. Lantaran itulah Allâh Ta’âla berfirman : “serta ditetapkan oleh-Nya manzilah-manzilah (orbit peredaran) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” (QS Yûnus: 5), dan tidak disebutkan hal yang sama pada matahari.

    Dengan demikian, penentuan bulan-bulan haji, puasa, hari-hari besar (îd) dan perayaan Islam hanyalah berdasarkan pada perhitungan bulan dan peredarannya, sebagai hikmah dari Allâh, rahmat dan penjagaan terhadap agama-Nya, dimana banyak manusia yang mengikuti perhitungan ini, yang terbebas dari kesalahan dan kekeliruan di dalamnya. Sehingga tidak masuk ke dalam agama adanya perselisihan dan pertikaian sebagaimana yang masuk ke dalam agama ahli kitab.” [Miftâh Dâr as-Sa’âdah hal. 538-539]

    Bisa jadi yang difahami dari ucapan terakhir Ibnul Qoyyimrahimahullâhu di atas, bahwa ahli kitab bersandar pada perhitungan Syamsiyah, dan hal ini telah dinyatakan secara terang oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâhu di dalam tanggapan beliau setelah beliau menisbatkannya kepada Ibnul Qoyyim. [Lihat al-Fath VII/323].

    Sedangkan kenyataannya, syariat mereka awalnya tidak mengakuinya (yaitu mengakui perhitungan Syamsiyah), dan hal ini terjadi kepada mereka lantaran orang-orang bodoh mereka. [selesai]

    Diantara faidah firman Allâh Ta’alâ :

    يسئلونك عن الأهلة

    “Mereka bertanya tentang bulan sabit…”

    Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullâhu mengatakan :

    ومنها : أن ميقات الأمم كلها الميقات الذي وضعه الله لهم – وهو الأهلة – فهو الميقات العالمي ؛ لقوله تعالى : ( مواقيت للناس ) ؛ وأما ما حدث أخيراً من التوقيت بالأشهر الإفرنجية : فلا أصل له من محسوس ، ولا معقول ، ولا مشروع ؛ ولهذا تجد بعض الشهور ثمانية وعشرين يوماً ، وبعضها ثلاثين يوماً ، وبعضها واحداً وثلاثين يوماً ، من غير أن يكون سبب معلوم أوجب هذا الفرق ؛ ثم إنه ليس لهذه الأشهر علامة حسيَّة يرجع الناس إليها في تحديد أوقاتهم ، بخلاف الأشهر الهلاليَّة فإن لها علامة حسيَّة يعرفها كل أحدٍ

    “Diantara faidahnya adalah, bahwa standar waktu seluruh umat adalah standar waktu yang telah Allâh tentukan bagi mereka, yaitu hilâl (bulan sabit) yang merupakan standar universal, berdasarkan firman Allâh Ta’âla : (مواقيت للناس) “Sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia”.

    Adapun fenomena akhir-akhir ini yang menjadikan standar waktu dengan bulan kalender Eropa, maka ini tidak ada asalnya baik secara inderawi, rasio dan syariat. Karena itulah Anda dapati sebagian bulan (Masehi) itu ada yang 28 hari, sebagiannya 30 hari dan sebagiannya lagi 31 hari, tanpa diketahui secara pasti sebab perbedaan ini. Kemudian juga, pada kalender Masehi ini tidak ada tanda-tanda inderawi yang manusia dapat merujuk kepadanya untuk menentukan waktu mereka, berbeda dengan kalender berdasarkan bulan, yang mana ada tanda yang bisa diindera sehingga dapat diketahui setiap orang. (yaitu bisa melihat bentuk-bentuk bulan). [Pengajian Tafsîr al-Baqoroh II/371].

    Al-Qurthûbî rahimahullâhu berkata saat mengomentari firman Allâh Ta’âla :

    إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ

    “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi…”. (QS. at Taubah: 36)

    Beliau berkata :

    هذه الآية تدل على أن الواجب تعليق الأحكام في العبادات وغيرها إنما يكون بالشهور والسنين التي تعرفها العرب دون الشهور التي تعتبرها العجم والروم والقبط وإن لم تزد على اثني عشر شهراً ؛ لأنها مختلفة الأعداد ، منها ما يزيد على ثلاثين ، ومنها ما ينقص ، وشهور العرب لا تزيد على ثلاثين وإن كان منها ما ينقص ، والذي ينقص ليس يتعين له شهر وإنما تفاوتها في النقصان والتمام على حسب اختلاف سير القمر في البروج

    “Ayat ini menunjukkan bahwa wajib mengaitkan hukum-hukum ibadah dan selainnya hanya dengan perhitungan bulan dan tahun yang diketahui oleh bangsa Arab, bukan dengan perhitungan bulan yang digunakan oleh bangsa ‘ajam (non Arab), Romawi dan Qibthî, walaupun tidak lebih dari 12 bulan. Karena bilangan harinya berbeda-beda, ada yang lebih dari 30 hari dan ada yang kurang. Sedangkan bulan-bulan bangsa Arab tidak akan lebih dari 30 hari walaupun bisa kurang darinya (yaitu 29 hari). Hari yang kurang (dari 30) tidak dapat ditentukan, karena perubahan kurang dan pas 30 hari itu berdasarkan perbedaan peredaran bulan pada orbitnya.” [Tafsîr ath-Thobarî VIII/133].

    Wallâhu a’lam.

    ***

    Dialihbahasakan oleh Abû Salmâ Muhammad

    Sumber : http://islamqa.info/ar/69741

     

    Sumber: Group Whatsapp Al wasithiyah wal i’tidal

  • Hukum Aqiqah Ketika Anak Sudah Besar

    ? AQIQAH KETIKA ANAK SUDAH BESAR

    ❓ Pertanyaan :

    Assalaamu’alaikum, ustadz mau tanya tentang aqiqah, bisa kah aqiqah dilaksanakan untuk anak yg sudah besar ? Dan bagaimana pelaksanaan aqiqah secara syar’i ? Jazakallah khair. (Dari Ali mashudi di jakarta timur).

    ? Jawaban :

    Barokallahu fik untuk akhuna Ali Mashudi di Jakarta, semoga istiqamah selalu. Memang masalah ini sering ditanyakan yaitu tentang boleh ataukah tidak boleh anak diaqiqahi setelah besar, atau beraqiqah untuk diri kita sendiri setelah kita dewasa. Sebelum menjawab pertanyaan maka ada baiknya kita jelaskan dulu walau secara skngkat tentang aqiqah dan hukum-hukum yang terkait tentang nya.

    Maka atas izin Allah Ta’ala kita katakan bahwa Aqiqah adalah hewan yg disembelih karena kelahiran anak sebagai rasa syukur kepada Allah Ta’ala dengan niat dan syarat-syarat tertentu.

    Dari Samurah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “seorang anak tergadai dengan aqiqahnya, sembelihkanlah (aqiqah) atasnya pada hari ke 7 (dari kelahirannya) , diberi nama dan di cukur rambut kepalanya”. HR Tirmidzi : 1522, Abu Dawud : 2837).

    Maksud tergadai adalah sebagaimana perkataan Atha bin Abi Rabah dan Imam Ahmad bin Hanbal, Tergadai yakni Terhalang untuk memberikan syafa’at kepada kedua orang tuannya, jika ia meninggal diwaktu kecil dan belum diaqiqahi. Secara singkat saya paparkan fiqih yg terkait aqiqah.

    (1). Hukum Aqiqah.

    Ada khilaf dikalangan para ulama, antara yg mengatakan wajib dan sunnah muakkadah. (Saya tidak bahas pendalilan dari masing-masing pendapat mengingat terbatasnya media kita ini)

    Kita kuatkan pendapat yg hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yg ditekankan pelaksanaannya). Dan ini pendapat jumhur Ulama dari kalangan para sahabat, Tabi’in dan ahli fiqih. Ini juga pendapat para ulama kalngan madzhab Syafi’i, Maliki, dan merupakan pendapat terkuat dari kalangan madzhab Hanbali.

    Imam Malik berkata, “Aqiqah itu hukumnya tidak wajib akan tetapi mustahab/ dianjurkan untuk dikerjakan. Ia merupakan amalan yg tdak pernah ditinggalkan oleh manusia, menurut kami “. (Kiyab Al-Muwatha : 1072).

    Imam Ahmad pernah ditanya tentang aqiqah apakah wajib ? Maka jawabnya tidak wajib, akan tetapi barangsiapa yg ingin menyembelih, hendaklah ia menyembelih.

    (2). Pihak yg dibebani Aqiqah.

    Pihak yg berkewajiban melaksanakan aqiqah adalah ayah yg mendapatkan anugrah kelahiran anak, atau orang yg menanggung nafkah anak yg dilahirkan tsbt.

    Dalilnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengatakan, ” Barang siapa dilahirkan anak baginya (maksudnya bapak nya anak) maka jika ia ingin menyembelih (aqiqah untuk anaknya) maka hendaklah ia menyembelih”. (HR Abu Dawud : 2842).

    (3). Jumlah hewan aqiqah.

    Anak laki-laki dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan 1 ekor saja.

    Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka agar ber aqiqah, untuk bayi laki-laki dua ekor kambing yg sepadan, dan bagi bayi perempuan 1 ekor kambing”. (HR Ahmad dan Tirmidzi : 1513).

    Oleh karena itu kata para ulama, “perempuan itu ukurannya separoh dari laki-laki dalam 5 hal : yaitu dalam harta warits, dalam diyat pembunuhan, dalam persaksian, dalam aqiqah dan dalam pemerdekaan budak”. (Mukhtashar al fiqhi al islami : 690).
    (4). Waktu pelaksanaan Aqiqah.

    Disunahkan pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Dan hari lahirnya dihitung satu, maka kalau anak lahir hari senin misalnya, berarti aqiqahnya hari ahad. Kalau hari ke 7 tdak sempat maka hari ke-14, kalu tdk juga maka hari ke-21, atau kapan pun.

    Catatan : pergantian hari didalam islam bukan jam 12.00 malam, tapi bergantinya hari apabila datang waktu maghrib, atau tenggelamnya matahari.

    Maka kalau anak lahir hari senin sebelum maghrib maka anak tersebut dihitung lahir hari senin, berarti aqiqahnya hari minggu. Tapi kalau anak lahir hari senin ba’da maghrib maka anak tersebut dianggap lahir hari selasa, itu berarti aqiqahnya hari senin, perhatikanlah !

    Dari Buraidah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Aqiqah disembelihkan pada hari ke 7 atau ke 14 atau ke 21”. (HR Tirmidzi 4/1522).

    Namun ada diantara para ulama seperti syaikh Shalih Al-Fauzan dan Syaikh Ibnu Utsaimin yg berpendapat bolehnya selain dari 3 waktu yg disebutkan oleh Hadits diatas tanpa batasan, sehingga ketika pada waktu2 trsebut orang tua belum mampu aqiqah, boleh ia melakukannya ketika ada kelapangan.

    Dalam sebuah fatwanya Lajnah Daaimah (komite tetap majlis Fatwa Saudi Arabia) mengatakan : “apabila memang kondisinya seperti yang dikatakan (yaitu pada saat waktu anak lahir ia belum mampu untuk melakukan aqiqah, lalu ketika anak2nya sudah pada besar2 baru Allah beri kelapngan rejeki), maka aqiqahlah untuk anak2nya bagi yg laki2 masing2 dua ekor kambing”. (Fatwa Lajnah Daaimah 11/441).
    (5). Bacaan ketika menyembelih aqiqah.

    Baca Bismillah sebagaimana sembelihan-sembelihan yg lain, dan ada bacaan tambahan kalau mau dibaca yaitu :

    BISMILLAHI WALLAHU AKBAR, ALLAHUMMA MINKA WA LAKA, HADZIHI ‘AQIQATU ………(sebutkan nama bayi).

    Atau mengucapkan :

    BISMILLAHI WALLAHU AKBAR, ALLAHUMMA LAKA WA ILAIKA, HADZIHI ‘AQIQATU……….(sebutkan nama bayi). (HR Al-Baihaqi juz 9 / 19077).

    (6). Aqiqah untuk diri sendiri setelah dewasa karena ktka kecilnya belum di aqiqahi.

    Ini termasuk masalah yg diperselisihkan oleh para ulama. Dan perselisihan ini terjadi karena mereka berselisih tentang keabsahan Hadits yg menetapkan adanya aqiqah setelah dewasa, dimana hadits itu bunyinya :

    عن انس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم عقد عن نفسه بعد النبوة

    “Dari Anas bin Malim, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wasallam aqiqah untuk dirinya setelah kenabian (diangkat menjadi Nabi)”. (HR Abdurrazaaq, Al-Mushanif 4/329 no hdits. 7960).

    Ulama yg mendha’ifkan Hadits ini : Imam Ahmad, Al-Bazaar, Al-Baihaqi, An-Nawawie, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Mulaqqin, Syaikh Bin Baaz rahimahumullah (dan jarah atau celaan para ulama terhadap Hadits ini ada yang dengan celaan : munkar, bathil, lemah sekali, dll disebabkan ada Rawi bernama Abdullah hin Al Muharrar).

    Ulama yg menshahihkan tepatnya meng hasankan hadits ini adalah Al-‘alaamah Al-Albani rahimahullah didalam As-Shahihah : 2726 setelah membahasnya panjang lebar.

    Maka kita katakan ulama terbagi kepada 2 pendapat dalam masalah ini :

    Pendapat pertama :

    Dianjurkan aqiqah setelah dewasa bagi yg pada masa kecilnya belum di aqiqahi. Ini pendapat Atho, Al-Hasan Bashri, Ibnu Sirin. Dan Syaikh Al-Albani cenderung dgan pendapat ini. Dalilnya adalah Hadiys Anas diatas yg diperselisihkan keabsahannya.

    Bahkan shaikh Bin Baaz sendiri walaupun beliau melemahkan hadits Anas diatas bahkan sampai mengatakan hadits lemah atau palsu (majmu’ Fatawa 26/267), beliau termasuk yg berpendapat dianjurkan aqiqah untu diri sendiri yg belum diaqiqahi ktka kecil, karena ia sunnah muakkadah, maka apabila orang tua tdak aqiqah untuknya ktika kecil dianjufkan aqiqah untuk dirinya sendiri kalau mampu, hal ini berdasrkan keumuman riwayat perintah aqiqah. ( Majmu’ Fatawa bin Baaz 26/266).

    Pendapat kedua :

    Tidak ada anjuran untuk aqiqah terhadap diri sendiri. Inilah pendapatnya para ulama dari kalangan Madzhab Malikiyyah, ia adalah riwayat dari Imam Ahmad, “Bahwa di Madinah tidak dikenal aqiqah untuk diri sendiri.

    Pendapat ini berdalil, bahwa kewajiaban Aqiqah itu adalah tanggung jawab orang tua, bukan anak. Maka anak tidak ada kewajiban untuk mengaqiqahi dirinua tatkala ia dewasa.
    Dan mereka pun menyatakan sebagai bantahan kepada pendapat pertama, bahwa Hadits yg dijadikan dalil adalah hadits yg tidak shahih. Atau kalupun mau dianggap shahih pun maka dibawa kepada pemahaman bahwa perkara itu khususiyyah (kekhususan ) Nabi.

    Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, salah seorang anggota majlis fatwa periode sekarang mengatakan didalam Fatwanya, ” Tidak disyari’atkan bagi seseorang beraqiqah untuk dirinya, ketika belum diaqiqahi oleh irang tuanya dahulu, karena aqiqah itu adalah sunah yg jadi tanggunb jawab orang tua dan bukan tanggung jawab anak”.

    Mungkin inilah diantara pendapat yg menentramkan hati, Wallahu a’lam.

    (Bahasan ini Banyak mengambil Faedah dari kitab Jaami’ul Ahkamil ‘Aqiqah, Muhammad Nashr Abu Jabal)

    ✒️ Abu Ghozie As-Sundawie.

    Sumber: Grup WA Al-Wasithiyah Wal I’tidal

  • Cara berdakwah

    Cara berdakwah

    DAKWAH

    oleh Ustadz Syafiq ibn Riza ibn Hasan ibn Abdul Qadir Basalamah

     بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

    Akhi / ukhti,  salâmullôh ‘alaikum…
    Berdakwah menyampaikan agama الله adalah suatu kewajiban yang agung dan mulia…
    Bahkan para pendakwah adalah kekasih pilihan الله…
    Kita diperintahkan untuk menyampaikan agama الله pada setiap manusia…
    Kepada mereka yang di pasar, di mall, di masjid, di lapangan, di jalanan…
    Seorang pendakwah seyogyanya mendatangi orang-orang yang menjadi sasaran dakwah…
    Sebagaimana Nabi صلى الله عليه و سلم mendatangi majelis-majelis orang kâfir pada waktu Beliau berdakwah…

    Ada yang berucap “ilmu itu didatangi, bukan datang kepadamu”…
    Na’am, bagi seorang penuntut ilmu seyogyanya ia yang mendatangin para ustadz dan ‘ulama untuk menimba ilmu dari mereka…
    Sebaliknya, sebagai seorang pendakwah, seharusnya ia mendatangi orang-orang yang menjadi sasaran dakwah…
    Para pendakwah seharusnya mendatangi orang-orang yang berada di pedalaman, di pegunungan, sebagaimana mendatangi mereka di kota-kota… di perkantoran… di rumah-rumah… di mana ada ruang untuk menyampaikan agama الله… ia tidak boleh menyia-nyiakannya…!
    Karena medan dakwah terlalu besar dan tantangan begitu dahsyatnya dengan jumlah penduduk yang tembus 230 juta…
    Maka para pendakwah harus berbagi tugas…
    Sebagian bergerak di dunia pendidikan…
    Formal dan non-formal…

    Ada yang tingkat dasar dan ada yg tingkat atas…
    Ada yang gratis…
    Ada yang murah…
    Ada yang sedang…
    Ada yang mahal banget dan tidak wajar untuk sebuah Pesantren Islâm…

    Pada hakekatnya, perbedaan itu bukan masalah…
    Karena yang didakwahi memang berbeda…
    Ada yang maunya formal, maka kita pun bikin yang formal…
    Ada yang mau bagus dengan fasilitas tinggi, kita pun membuatnya…
    Semuanya sedang berdakwah dengan segment yang beda…
    Ada yang berdakwah lewat kajian-kajian…
    Ada yang mau bikin kajian di perusahaannya untuk karyawannya, kita pun datang kepada mereka…
    Ada yang bikin kajian khusus untuk keluarga di rumahnya, kita pun menyambutnya…
    Ada yang bikin kajian khusus untuk anak-anak remaja, kita juga tidak membiarkannya…
    Ada yang bikin seminar di kampus-kampus untuk mendakwahi para akademisi…
    Ada yang membuat kajian khusus untuk para dokter di rumah sakit, kita pun bersegera mengiyakannya…

    Ada yang bikin dauroh khusus untuk para ustadz di vila atau hotel dengan pemateri masyaikh kibar dari luar Indonesia, pesertanya terbatas dan pendaftarannya ketat, bukan karena ingin membatasi ilmu bagi penuntut ilmu yang lainnya, tapi ada maslahat dan target yang diburu…
    Ada yang bikin kajian buat anak-anak yatim dan janda-janda tua, kita tidak menolaknya…
    Ada yang membuat di musholla sebelah rumahnya, kita pun juga tidak meremehkannya…
    Ada yang membuat kajian khusus para ummahat dengan tema dan kitab yang bermacam-macam, kita pun tidak sungkan untuk menghadirinya…
    Ada yang fokus berdakwah di daerah pedalaman dan membendung kristenisasi, kita pun memberikan apresiasi yang besar kepada mereka…

    Ada yang berdakwah lewat media, televisi, dan radio dengan segment yang berbeda-beda…
    Terkadang ada yang bertanya kenapa ada beberapa televisi Ahlus-Sunnah, kenapa tidak hanya satu saja…?
    Itulah hikmah dalam berdakwah, sasaran dakwahnya berjumlahnya 230 juta dengan berbagai kecenderungan dan level pendidikan yang berbeda-beda…
    Ada yang berdakwah lewat tulisan dengan menerbitkan buku-buku yang dijual dengan harga variatif
    Ada yang harganya mahal dengan kertas dan sampul buku yang lux, sehingga tidak bisa membelinya kecuali orang yang berdompet tebal…
    Ada yang dengan harga standar dengan kertas yang biasa…
    Semua dengan segmen yang berbeda-beda karena yang didakwahi memang beragam, bukan satu macam…
    Ada yang berdakwah dengan membuat travel umroh dan hajji dengan harga yang disesuaikan dengan keinginan jama’ah…
    Ada yang standar bintang 5 sehingga membuat jema’ah terbelalak melihat harganya…
    Kenapa kok tidak 1 harga saja…?
    Kan tujuannya adalah ibadah, thowaf dan sa’inya di tempat yang sama, kenapa harus pilih-pilih kamar dan membeda-bedakan jemaah…?
    Tapi itulah salah satu hikmah dalam berdakwah, yang jadi sasaran memang mereka yang biasa tinggal di hotel bintang 5, kita tidak bisa memaksa mereka untuk ikut paket murah, dengan dalih tidak boleh boros dan berlebih-lebihan…

    Ada yang melihat peluang mendakwahi orang-orang yang biasa berlibur di vila-vila mewah atau hotel-hotel berbintang, yang setiap pekan memadati jalan ke puncak, tanpa ada yang menyentuh liburan mereka dengan siraman rohani, maka sebagian ikhwan kita berpikir bagaimana liburan akhir pekan mereka lebih bermanfaat…
    Semua sedang berdakwah dengan cara dan metodenya…

    Nabi صلى الله عليه و سلم tidak pernah meremehkan siapa pun untuk di dakwahi…
    Baik yang kaya, miskin, badui, atau orang kota, semuanya Beliau dakwahi…
    Beliau tidak pernah membuang kesempatan dan peluang untuk berdakwah, walaupun celaan dan tuduhan keji sering beliau dapatkan…

    Sungguh الله memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk berdakwah dengan hikmah, sebagaimana firman-Nya:

    ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

    (arti) “Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Robb-mu, Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS an-Nahl (16) ayat 125].

    Di antara makna hikmah adalah memperlakukan tiap manusia sesuai dengan kondisinya, oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه و سلم memperlakukan setiap ragam manusia sesuai dengan kedudukan dan karakternya…

    Bahkan Beliau berpesan:
    إِذَا أَتَاكُمْ كَرِيْمُ قَوْمٍ فَأَكْرِمُوْهُ
    (arti) “Apabila datang kepadamu yang mulia dari suatu kaum, maka muliakanlah ia.” [Shohîh Sunan Ibnu Mâjah II/303 no 2991 ~ hasan].

    ▶️ Yang suka kehormatan, Beliau kasih kehormatan, seperti kisah Abû Sufyan…
    Ibnu Abbâs رضي الله عنهما berkata: “Tatkala penaklukan kota Makkah maka Abbâs ibn ‘Abdil Muththolib membawa Abû Sufyan ibn Harb, maka Abû Sufyan pun masuk Islâm di Marru ad-Zhorôn (nama suatu tempat dekat Makkah -pen). Maka Abbas berkata kepada Nabi: ‘Wahai Rosûlullôh, sesungguhnya Abû Sufyan adalah seseorang yang suka kemuliaan, kalau seandainya engkau memberikan sesuatu untuknya?’ Maka Nabi berkata: ‘Iya, barang siapa yang masuk ke rumah Abû Sufyan maka ia aman, dan barang siapa yang menutup pintunya maka ia aman.’” [lihat: HR Abû Dâwûd no 3023 ~ dihasankan oleh Syaikh al-Albânî].

    ▶️ Yang suka harta, Beliau kasih harta, seperti kisah ‘Amru ibn Taghlib…
    ‘Amru ibn Taghlib bercerita: “Sesungguhnya Rosûlullôh pernah diberi harta atau tawanan, kemudian Beliau membagikannya, lantas Beliau memberikan sebahagian orang dan meninggalkan sebahagian orang. Maka orang-orang yang ditinggalkan (yang tidak diberi) mencela keputusan Rosûlullôh itu. Kemudian Rosûlullôh memuji الله, setelah itu Beliau berkata: ‘Maka demi الله, sesungguhnya aku telah memberi sebahagian dan telah meninggalkan sebahagian, dan orang-orang yang kutinggalkan itu lebih aku cintai daripada orang-orang yang kuberi. Akan tetapi aku memberi kaum yang aku melihat di hatinya masih ada kecemasan dan kekalutan, dan aku membiarkan kaum lain kepada apa yang dijadikan الله pada hati-hati mereka berupa kekayaan dan kebaikan, di antara mereka adalah ‘Amru ibn Taghlib.’ (Kemudian berkata ‘Amru ibn Taghlib) Maka demi الله, tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada unta merah kecuali ucapan Rosûlullôh kepadaku tadi.” [lihat: HR al-Bukhôrî no 871].

    ▶️ Yang memiliki iman kuat, maka Beliau berbagi cintanya kepada mereka, seperti kisah orang orang Anshor…
    Imâm Muslim meriwayatkan, bahwa (Anas ibn Mâlik) berkata: “Ketika Makkah telah ditaklukkan, Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم membagi-bagikan harta rampasan kepada orang-orang Quraisy. Maka orang-orang Anshor pun berujar: ‘Ini sungguh-sungguh mengherankan. Pedang kita masih basah oleh darah musuh, tetapi harta rampasan kita diberikan kepada mereka (orang-orang Quraisy)?’ Lalu ungkapan itu sampai kepada Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم, akhirnya Beliau pun mengumpulkan mereka. Beliau bertanya: ‘Benarkah berita yang sampai kepadaku tentang ucapan kalian?’ Mereka menjawab: ‘Apa yang mereka sampaikan itu benar, ya Rosûlullôh! Mereka tidak berdusta.’ Maka Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda: ‘Apakah kalian tidak rela kalau mereka pulang dengan membawa harta benda Dunia, sedangkan kalian semua pulang ke rumah masing-masing bersama dengan Rosûlullôh? Seandainya manusia berjalan di suatu lembah dan bukit, sedangkan orang-orang Anshor melewati lembah dan bukit yang lain, niscaya saya akan mengikuti lembah dan bukit yang ditempuh kaum Anshor.’”
    Sikap berbeda Nabi صلى الله عليه و سلم kadang dipandang negative oleh sebahagian Shohâbat, namun setelah Beliau jelaskan bahwa manusia itu berbeda-beda dan cara menghadapinya juga berbeda… akhirnya mereka paham…

    ▶️ Yang bodoh dan tidak mengerti, Beliau tidak langsung menegur dan memarahinya, seperti ketika ada Badui yang masuk ke dalam masjid lalu kencing, tentunya berbeda dengan sikap para Shohâbat yang ingin memukul dan memberi pelajaran kepadanya.

    Itulah salah satu makna hikmah dalam berdakwah…
    Semua pendakwah Ahlus-Sunnah harus bersinergi demi tercapainya cita-cita bersama…
    Yang di pedalaman tidak perlu mencela da’i-da’i kota yang bergelimang harta…
    Yang di musholla tidak perlu mencaci da’i-da’i yang muncul di televisi…
    Yang di daerah tidak perlu menuduh da’i-da’i yang harga bukunya mahal dan tidak terjangkau..
    Yang di kota juga tidak boleh melupakan saudara-saudara mereka yang di pedalaman, pedesaan, pegunungan yang mereka sedang menyelamatkan aqidah ummat dari taring dan cakar missionaris…
    Semua sedang berdakwah, dan hendaklah berhusnuzhon kepada saudaranya…
    Dan ingat AGAMA INI ADALAH NASEHAT…!

    Bila muncul kekeliruan dan kesalahan ataupun penyimpangan, maka para da’i harus saling memberikan masukan dan nasehat…

    Kita adalah saudara…

    Di samping itu, setiap pendakwah tidak boleh lupa berterima kasih kepada para koordinator dakwah tempat di mana ia berdakwah, bahwa ia bisa duduk nyaman di atas kursi dengan mic yang sudah bisa dipakai, dan jama’ah yang duduk rapi, parkir kendaraan yang diatur, serta semua kenyamanan yang dirasakannya, semua itu adalah hasil tangan orang banyak… kalau bukan karena mereka, tentunya setelah taufiq الله, niscaya para pendakwah akan mendapatkan berbagai kesulitan…

    Untuk semua…
    PERBAIKI NIAT
    RAPATKAN SHOFF
    BERGANDENGAN TANGAN
    SALING MENDO’AKAN
    ALLÔHU AKBAR

    Bila yang aku tulis ini benar, maka itu karena taufiq الله…
    Bila salah dan kurang berkenan, maka itu dari diriku yg penuh dosa dan dari Syaithôn…

    الله & ROSÛL-NYA terbebaskan dari kesalahan itu…

    Salamku.
    وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله و صحبه أجمعين

    »»•««

    Repost by :
    Group WA Iqra Sunnah
    ? Admin: WA : +62811890xxxx

    Sumber: Group WA

     

  • Hukum Mengaminkan Do’a Khotib dan Mengucapkan Shalawat Apabila Sang Khotib Meyebut Nama Rasulullah

    MENJAWAB TANYA

    ~Hukum Mengaminkan Do’a Khotib dan Mengucapkan Shalawat Apabila Sang Khotib Meyebut Nama Rasulullah~

    Pertanyaan:

    Bolehkah mengaminkan do’a Khotib pada saat khutbah jum’at dan mengucapkan sholawat apabila sang khotib menyebut nama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-..?

    Jawaban:

    Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad sebanyak 3 kali pada 3 kesempatan yang berbeda. Beliau menjawab, ” Tidak apa-apa mengaminkan do’a Khatib dan Mengucapkan sholawat kepada Rasulullah apabila khotib menyebut nama Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, bahkan demikianlah seharusnya. Adapun hadits yang melarang berbicara pada saat khutbah, ini berlaku apabila pembicaraan tersebut diluar konteks khutbah, seperti membicarakan urusan duniawi dll. Maksudnya perkataan tersebut tidak ada kaitannya dengan khutbah.

    Wallahu a’lam

    Catatan:

    Memang terjadi silang pendapat dikalangan ulama terkait permasaalahan ini. Perbedaan tersebut berangkat dari apakah berbicara saat khotib sedang menyampaikan khutbah hukumnya haram atau tidak…?

    Kalangan Syafi’iyah dan sebagian ulama dari kalangan Hanabilah menilai bahwa berbicara pada saat khutbah tidak mutlak haram. Karena makmum dibolehkan mengaminkan doa khotib dengan jahr. Lihat penjelasan Imam Ibnu Muflih dalam Al-Furu’ dan Imam Al-Mardawy dalam Al-Inshaf

    Sementara ulama yang mengharamkan berbicara pada saat khutbah, mereka mengecualikan Ta’min (ucapan amin) makmum terhadap khotib dengan catatan bacaan tersebut sir (pelan), tidak dikeraskan apalagi diucapkan secara berjamaah. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Utsaimin dan guru kami Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqity serta ulama lainnya.
    Bahkan di dalam al-ikhtiyarot Syaikhul Islam mengatakan perbuatan tersebut termasuk sunnah. Inilah pendapat yang lebih kuat insyaallah.

    Jika ditanya mana dalilnya..? maka jawabannya adalah,

    “Mengaminkan doa hukum asalnya sunnah, begitu juga dengan mengucapkan sholawat. Sehingga dalil umum yang melarang berbicara saat khutbah jumat dikecualikan oleh dua dalil khusus tersebut.

    Wallahu a’lam.

    Terkait mengangkat tangan pada saat khotib sedang memanjatkan do’a, maka hal ini tidak disyariatkan baik bagi khotib maupun makmum, sebab Rasulullah -shallahu alaihi wasallam- hanya memberi isyarat dengan jari telunjuk beliau pada saat berdo’a. Akan tetapi hukum ini dikecualikan pada saat istisqo.

    Wallahu a’lam

    ________________
    Madinah 18 Dzulqo’dah 1436 H
    ACT El-Gharantaly

    Sumber: Group WA

  • Realita Sejarah yang Tidak Boleh Dilupakan (Sunni vs Syiah)

    ? REALITA SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN

     

    1⃣ Siapa yang menaklukkan Syam, Iraq dan Persia?
    ? ‘Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu (Sunnî)
    ? [Beliau adalah termasuk khulafâ’ur râsyidîn ke-2, sahabat yang mulia, dan orang yang paling dibenci Syiah. Pada kekuasaan beliau, Islam menyebar luas dan beliau membagi wilayah tersebut pada umumnya menjadi 2 provinsi, seperti Arab Saudi dibagi menjadi Mekkah dan Madinah; Iraq menjadi Bashrah dan Kufah; Mesir menjadi Mesir Atas dan Bawah; dan Palestina menjadi Illiya dan Ramala. Selain itu beliau membagi wilayah Persia menjadi Khurasân, Azerbaijan dan Farsi; Suriah sebagai provinsi tersendiri, serta saat kekuasaan beliau meluas hingga Tigris dan Eufrat, Jazira beliau jadikan sebagai provinsi tersendiri. Beliau lahir pada tahun 583 dan wafat pada tahun 644 atau 23 Dzulhijjah thn 23 H.]

    2⃣ Siapa yang menaklukkan negeri Sindh [Mehran, Tenggara Pakistan] dan India serta sebagian Mesopotamia?
    ? Muhammad bin al-Qâsim (Sunnî)
    ? [Beliau adalah ‘Imâduddîn Muhammad bin Qâsim ats-Tsaqafî, salah satu Jenderal Dinasti Umayyah yang menaklukkan wilayah Sindh dan Multan, sepanjang alur sungai Indus yang sekarang adalah Pakistan. Lahir tahun 695 M dan wafat tahun 715 M.]

    3⃣ Siapakah yang menaklukkan Afrika Utara [meliputi Aljazair, Libya, Tunisia dan Maroko] ?
    ? ‘Uqbah bin Nâfi’ al-Fihrî (Sunnî)
    ? [Beliau adalah Jenderal Dinasti Umayyah di zaman Mu’awiyah radhiyallâhu ‘anhu dan Yazîd bin Mu’awiyah. Al-Fihrî adalah salah satu Bani Quraisy. Lahir tahun 622 M dan wafat tahun 683 M]

    4⃣ Siapa yang menaklukkan Andalusia (Spanyol)
    ? Thâriq bin Ziyâd (Sunnî) dan Mûsâ bin Nushair (Sunnî)
    ? [Thâriq bin Ziyâd adalah Jendral Bani Umayyah yang menaklukkan wilayah Hispanik Spanyol di bawah pemerintahan Khalifah al-Walid I. Beliau memimpin pasukan besar dari pantai utara Maroko, dan membawa pasukannya melewati bebukitan besar yang disebut Gibraltar (Arab : Jabâl Thâriq). Lahir pada tahun 670 dan wafat tahun 720 pada usia 50 tahun di Damaskus.
    Sedangkan Mûsâ bin Nushair adalah Gubernur Afrika Utara dan juga jenderal Bani Umayyah pada era Khalifah al-Walid 1. Beliau lah yang memimpin penalukkan Kerajaan Visigot (Barat daya Perancis dan Jazirah Iberia) di Hispania (meliputi Spanyol, Portugal, Andorra dan sebagian Perancis). Lahir tahun 640 dan wafat tahun 716.]

    5⃣ Siapakah yang menaklukkan Konstantinopel?
    ? Muhammad al-Fatih (Sunnî).
    ? [Beliau dikenal oleh orang Eropa sebagai Sultan Muhammad bin Murâd atau Sultan Mehmed II. Beliau adalah panglima dan sultan Daulah ‘Utsmâniyah yang berhasil menaklukkan Konstantinopel (Istanbul) dan menghancurkan Emparium Bizantium. Wilayah kekuasaan beliau sampai ke Anatolia dan Eropa Tenggara sampai Barat Jauh seperti Bosnia. Lahir pada tahun 1432 dan wafat di usia muda, 49 tahun pada 1481 M.]

    6⃣ Siapa yang menaklukkan Sisilia (Selatan Italia)?
    ? Asad bin al-Furât (Sunnî)
    ? [Beliau berasal dari Tunisia dan salah seorang murid Abû Hanîfah dan Mâlik bin Anas. Asad diutus oleh Amir Ziyâdatullâh (Amir Afrika dari Bani ‘Abbâsiyah) untuk memimpin penaklukan Sisilia Bizantium. Beliau lahir pada tahun 759 dan wafat tahun 828]

    7⃣ Siapakah yang menghidupkan peradaban Andalusia dan menjadikannya sebagai Menara ilmu?
    ? Yaitu para penguasa Ahlus Sunnah
    ? [Yaitu semenjak Thâriq bin Ziyâd pada tahun 711 berhasil menaklukkan Hispania, maka Daulah ‘Umayyah telah melebarkan kekuasaannya di Andalusia. Pada Era Kekusaan Islam di Andalusia, peradaban semakin maju sehingga Kordoba sebagai ibukota Andalusia menjadi pusat Ekonomi dunia saat itu dan pusat keilmuan. Para khalifah Umayyah yang paling berpengaruh di Andalusia diantaranya adalah Khalifah Abdurrahman III (912-961) dan Khalifah al-Hakam II (961-976)]

    8⃣ Siapakah yang memimpin kaum muslimin (saat perang salib) di Hittin?
    ? Sholâhuddîn al-Ayyubî (Sunnî)
    ? [Orang Eropa mengenalnya dengan sebutan Saladin. Beliau adalah Sholâhuddîn Yûsuf bin Ayyub berasal dari suku Kurdi. Beliau adalah sultan pertama Mesir dan Suriah, dan pendiri Dinasti Ayyubîyah. Beliau adalah pemimpin perang terkenal dan ditakuti oleh pasukan salib, dan berhasil meluluhlantakkan tentara salib di peperangan Hittin (sebuah desa Palestina yang berlokasi sekitar 8 km dari Tiberias). Beliau lahir tahun 1137 dan wafat pada Maret 1193.]

    9⃣ Siapa yang memimpin kaum muslimin di ‘Ain Jalut (Harod Spring) dan menghancurkan bangsa Tatar (Mongolia)?
    ? Saifuddîn Quthuz (Sunnî) dan Ruknuddîn Baibars (Sunnî)
    ? [Saifuddîn Quthuz adalah Sultan Mamluk di Mesir yang paling berpengaruh. Beliau berdarah Turki dan di bawah kekuasaannya berhasil menghalau pasukan Tatar (Mongol) di peperangan ‘Ain Jalut. Raja Quthuz wafat dibunuh tahun 1260.
    Ruknuddîn Baibars al-Jashnakir Abul Fath, adalah Sultan Qalawun dari Dinasti Mamluk. Di bawah kepemimpinannya, pasukan Mongolia berhasil dikalahkan di peperangan Shaqhab (Marj as-Saffar), dan ini adalah kekalahan terbesar Mongolia dan mengakhiri kekuasaan Ghazan Khan di Suriah. Dia wafat tahun 1310 di Kairo, Mesir.]

    ? Siapakah yang berhasil mematahkan arogansi Hispania (Spanyol) di wilayah pedesaan Maroko?
    ? ‘Abdul Karîm al-Khaththâbî (Sunnî)
    ? [‘Abdul Karîm al-Khaththâbî adalah pemimpin militer dan politik suku Rif (Maroko Utara). Beliau yang memimpin persatuan dan koalisi suku Rif untuk mengusir colonial Perancis dan Spanyol dengan taktik perang Gerilya. Lahir tahun 1882 dan wafat tahun 1963, tepat saat keinginan dia tercapai, yaitu Maroko merdeka.]

    1⃣1⃣ Siapakah yang berhasil memaksa Italia untuk menarik mundur kekuasaannya di Libya?
    ? ‘Umar al-Mukhtar (Sunnî)
    ? [Umar Mukhtâr adalah pahlawan nasional Libya. Lahir tahun 1862 di Desa Janzour, Timur Barqa di Libya. Berawal sebagai seorang pengajar al-Qur’ân, namun menjadi ahli alat perang gurun pasir dan strategi perang gerilya. Selama lebih dari 20 tahun beliau memimpin perlawanan kepada penjajah Italia. Tahun 1931, beliau ditangkap dan digantung oleh tentara Italia.]

    1⃣2⃣ Kejadian baru ini, yaitu siapa yang bisa menaklukkan Rusia di Chechnya dan membebaskan kota Grozny?
    ? Ibnul Khaththâb (Sunnî)
    ? [Beliau adalah Tsâmir Shâlih ‘Abdullâh, yang lebih popular dengan sebutan Ibnul Khaththâb. Kelahiran Saudi pejuang Chechnya ini lahir pada 14 April 1969. Sebelumnya, pada usia 18 tahun beliau turut berjihad memerangi Uni Soviet di Afghanistan. Tahun 1995, saat mendengar kekejaman Rusia di Chechnya, maka beliau berangkat dan turut berperang di sana. Perjuangannya di sana banyak menyebabkan kekalahan tentara Rusia.]

    1⃣3⃣ Siapakah yang menginjak-injak wajah NATO di tanah Afghanistan?
    ? Tentara sunnî.

    1⃣4⃣ Siapakah yang menantang Amerika dan Inggris di Iraq?
    ? Mujahidin Sunnî.

    1⃣5⃣ Siapakah yang memberikan pil pahit kepada tentara Afrika di Somalia?
    ? Mujadihin Sunnî.

    1⃣6⃣ Siapakah yang menyebabkan Yahudi beberapa kali jatuh tersungkur di Palestina?
    ? Ahmad Yâsîn (Sunnî)
    ? [Beliau adalah Syaikh Ahmad bin Ismâ’îl Hasan Yasîn. Pendiri HAMAS ini dilahirkan di al-Jura, Palestina. Lahir tahun 1929 dan mengalami kecelakaan pada usia 12 yang menyebabkan beliau harus duduk di kursi roda dan mengalami paralisis. Beliau dibunuh Israel pada 22 Maret 2004 ba’da sholat shubuh di Gaza. Semoga Allâh merahmati dan mengampuni segala kesalahan beliau.]

    ? SEBALIKNYA, APA YANG DILAKUKAN OLEH KAUM RÂFIDHAH ??!!

    1⃣ Siapa yang mengkhianati al-Husain radhiyallâhu ‘anhu?
    ? Al-Mukhtâr ats-Tsaqofî (Râfidhî)
    ? [Dia adalah al-Mukhtâr bin Abî ‘Ubaidah ats-Tsaqafî. Lahir tahun 622 dan wafat tahun 687 di Kufah. Dia adalah pemimpin pemberontakan yang menentang kekhalifahan Umayah sebagai tuntut balas kematian Husain di Karbala, padahal dirinya yang melakukan pengkhianatan terhadap Husain sehingga Husain radhiyallâhu ‘anhu menjemput syahidnya. Dia disebut oleh para ulama sebagai pendusta besar].

    2⃣ Siapa yang mengkhianati khalifah Abbâsiyah, ar-Râdhî billâh :
    ? Al-Bûhiyûn (Sekte Râfidhah)
    ? [Al-Bûhiyûn adalah sebutan untuk Banû Buwaihi, kekuasaan di wilayah Dailam (Selatan Lautan Kaspian), yang menguasai Iran dan Iraq dari tahun 932-1056. Mereka adalah kaum râfidhah yang mengkhianati khilâfah ‘Abbâsiyah dan menelikung dari belakang.]

    3⃣ Siapa yang membantu bangsa Mongol (Tatar) bisa memasuki Baghdad?
    ? Ibnul ‘Alqomî (Râfidhî)
    ? [Dia adalah Mu’ayyiddîn bin al-Alqamî, salah seorang menteri kekhalifahan ‘Abbasî, al-Mustaqîm Billâh. Dia seorang Syiah tulen dan dirinya yang mengatur agar Holago Khân dapat masuk ke Baghdad dan membunuh khalifah. Az-Ziriklî mengatakan bahwa Ibnu al-Alqamî ini adalah seorang pengkhianat besar .]

    4⃣ Siapakah yang menganggap keji perbuatan Holago sebagai perbuatan baik?
    ? Nâshir ath-Thûsî (Râfidhî)
    ? [Dialah adalah Abû Ja’far Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan ath-Thûsî, pakar ilmu Astronomi, Biologi, Kimia dan Filsafat, salah satu marja’ (ulama referensi) kaum Syiah Persia. Awalnya dia berpemahaman Syiah Ismâ’iliyah, lalu ia menjadi semakin ekstrem dengan meyakini aqidah al-Itsnâ ‘Asyariyah. Dia bersama dengan Ibnul ‘Alqomî turut mendukung masuknya bangsa Mongol masuk ke Baghdad dan melakukan perusakan di dalamnya.]

    5⃣ Siapakah yang menolong bangsa Tatar menyerang Syam?
    ? Al-‘Alawiyûn (Sekte Râfidhah)
    ? [Al-‘Alawîyûn adalah sekte Syiah Ja’fariyah Itsnâ ‘Asyariyah di Syam. Mereka juga disebut dengan Nushairiyah. Mereka termasuk syiah ultra ekstrem karena keyakinan mereka bâthiniyah.]

    6⃣ Siapakah yang membantu tentara salib melawan kaum muslimin?
    ? Ath-Thawâsyî dan Fâthimiyûn (sekte Râfidhah)
    ? [Keduanya sama-sama sekte Syiah Ismâ’iliyah]

    7⃣ Siapa yang mengkhianati Sultan Saljuk Tughril Bek :
    ? Al-Basasiri (Râfidhî)
    ? [Tughril Bek adalah pendiri dinasti Seljuk yang mempersatukan pejuang Turki. Dia yang memimpin perang melawan Imperium Bizantium dan Dinasti Fathimiyah Ubaidiyah Syiah.
    Sedangkan al-Basasiri adalah mantan budak yang menjadi jendral di Iraq, dan didaulat untuk memerangi kerajaan Seljuk. Al-Basasiri adalah salah satu orang kesayangan al-Malik ar-Rahim, salah satu Amir Buwaihi. Al-Basasiri membantu Dinasti Fathimiyah dan mengkhianati Seljuk.]

    8⃣ Siapakah yang membantu tentara salib menguasai Baitul Maqdis?
    ? Ahmad bin ‘Athô (Râfidhî)

    9⃣ Siapa yang diam-diam bermaksud membunuh Shalâhuddîn al-Ayyûbî?
    ? Pegawai kerajaan [dari Râfidhî yang menyusup]

    ? Siapakah yang menyambut Holago Khân di Syam?
    ? Kamâluddîn ‘Umar bin Badr at-Tiflisî (Râfidhî)

    1⃣1⃣ Siapakah yang mencuri Hajar Aswad dan membunuh jamaah haji di tanah suci?
    ? Abû Thâhir Qaramithî (Râfidhî)
    ? [Dia adalah Abû Thâhir Sulaimân bin Hasan al-Jinânî, seorang hakim daulah Qarâmithah di Bahrain. Tahun 930 M, dia menginvasi Makkah dan berupaya mencuri Hajar Aswad. Lalu mereka membunuhi jamaah haji dan membuang mayatnya ke jalan-jalan, dan sebagiannya dilempar ke sungai zamzam. Korban haji yang wafat saat itu sampai 30 ribu orang.]

    1⃣2⃣ Siapakah yang menolong Muhammad Ali Pasya menyerang negeri Syam?
    ? Basyîr asy-Syihâbî (Râfidhî).
    ? [Muhammad Ali Pasya al-Mas’ûd bin Agha, adalah panglima perang daulah Utsmâniyah asal Albania berdarah Turki, yang akhirnya mendirikan negara sendiri di Mesir dan Sudan. Ia seorang sekular tulen yang banyak terpengaruh dengan pemikiran Eropa, terutama Perancis. Ambisi Muhammad Ali adalah mendirikan negara modern yang kuat, dengan gaya Eropa yang sekuler. Dia melakukan ekspansi ke negara Arab untuk memperluas visinya dan melepaskan diri dari Dinasti Utsmâniyah.
    Sedangkan Basyîr asy-Syihâbî adalah penguasa Lebanon. Dia bersekutu dengan Muhammad Ali, dan membantunya untuk menguasai negeri Syam dan mengambil alih kekuasaan dari Dinatis ‘Utsmâniyah.]

    1⃣3⃣ Siapakah yang membantu Napoleon menyerang Syam?
    ? Druz (sekte Râfidhah)
    ? [Druz adalah salah satu sekte kafir yang menghimpun filsafat Plato, Aristoteles, Sokrates, Akhenaten, Hamza dan Hakim. Ajarannya mencampur antara Filsafat Neoplatonisme dengan ajaran Judaisme, Kristianisme, Hinduisme dan Syiah Ismailiyah. Mereka meyakini adanya reinkarnasi dan siklus kehidupan.]

    ? KEJADIAN BARU-BARU INI …

    1⃣ Siapakah yang membunuh rakyat Palestina di perkemahan Shobro dan Syatila?
    ? Harokah Amal (Kelompok Râfidhah)
    ? [Harokah Amal adalah partai politik kaum Syiah Lebanon, yang didirikan oleh Musa as-Sadr dan Husain al-Husaini pada tahun 1974.]

    2⃣ Siapakah yang telah menyokong penyerangan kaum Zionis terhadap Lebanon Selatan?
    ? Harokah Amal
    3⃣ Siapakah yang menyerang markaz-markaz dakwah Islam di Yaman?
    ? Kaum Hûtsîyûn (Houthi Râfidhah)
    ? [Hutsî adalah sekte Zaidiyah di Sa’adah Yaman yang didirikan oleh Husain Badruddîn al-Hutsî. Mereka mulai melakukan pemberontakan terhadap presiden Ali Abdullah Shalih semenjak tahun 2004. Mereka secara sadis menghancurkan ma’had-ma’had dan markiz-markiz Sunnah di Yaman, serta membunuh sunnî di Yaman.]

    4⃣ Siapakah yang menyambut bahagia penyerangan Amerike ke negara Iraq?
    ? As-Sîstânî dan al-Hakîm (Râfidhah)
    ? [Ali Husaini as-Sistânî, lahir pada 4 Agustus 1930. Dia adalah marja’ utama kaum Syiah di Iraq dan pemimpin Hauza Syiah di Nejef.
    Sedangkan Muhammad Sa’id al-Hakim, yang disebut sebagai Ayatullâh Kubrâ ath-Thabathaba’î, lahir di Nejef pada 1 Februari 1934. Dia adalah salah satu marja’ Syiah dan anggota Hauza Nejef].

    5⃣ Siapakah yang menyambut bahagia penyerangan tentara salib di negara Afghanistan?
    ? Iran (negara Râfidhah)

    6⃣ Siapakah yang sedang memerangai kaum muslimin di negeri Syam saat ini?
    ? Al-‘Alawiyûn dan Hizbul Lâta (Râfidhah)
    ? [yaitu Rezim Bashar al-Asad, penganut aqidah kafir an-Nushairîyah al-Alawiyah, dengan bala tentaranya Hizbullâh (baca : Hizbul Lât = tentara Lata)]

    7⃣ Siapakah yang mengatakan, “kami bersama pemerintah Burma di dalam memerangi terorisme”?
    ? Ahmadinejad (Râfidhah).

    حقائق تاريخية يجب أن لا تنسى..!!! * من الذي فتح الشام و العراق و فارس عمر بن الخطاب رضي الله عنه ( سني ) * من الذي فتح بلاد السند والهند وما وراء النهرين محمد بن القاسم ( سني ) * من الذي فتح شمال إفريقا عقبة بن نافع الفهري ( سني ) * من الذي فتح الأندلس طارق بن زياد (سني) وموسى بن نصير ( سني ) * من الذي فتح القسطنطينيه محمد الفاتح ( سني) * من الذي فتح صقلية أسد ابن الفرات (سني ) * من الذي أنشا حضارة الأندلس وجعلها منارة علم ( حكام من أهل السنة ) * من الذي قاد المسلمين في حطين صلاح الدين الايوبي ( سني) * من الذي قاد المسلمين في عين جالوت وهزم التتار سيف الدين قطز ( سني )و ركن الدين بيبرس(سني) * من الذي كسر غرور اسبانيا بالريف المغربي عبد الكريم الخطابي(سني) * من الذي اجبر ايطاليا على اعادة حساباتها في ليبيا عمر المختار(سني) *حديثا من الذي قهر الروس في الشيشان وفتح مدينة غروزني خطاب ( سني) *من الذي مرغ وجه الناتو في التراب بافغانستان(قادة من السنة) * من الذي نكل بالامريكان والانجليز بالعراق(مجاهدون سنة) * من الذي اذاق العلقم للجيوش الافريقية بالصومال(مجاهدون سنة) * من الذي أقض مضاجع اليهود في فلسطين أحمد ياسين ( سني) ماذا تركنا للروافض بالمقابل..؟؟!!! * من الذي غدر بالحسين رضي الله عنه : المختار الثقفي (رافضي) * من الذي غدر بالخليفة العباسي الراضي بالله : البوهيون (رافضة) *من الذي مكن للتار دخول بغداد : ابن العلقمي (رافضي) * من الذي كان يزين لهولاكو سوء اعماله : نصير الطوسي(رافضي) * من الذي أعان التتار في هجومهم على الشام : العلويون (رافضة) * من الذي حالف الفرنجة ضد المسلمين: الطواشي والفاطميون (رافضة) * من الذي غدر بالسلطان السلجوقي : طغرلبك البساسيري (رافضي) *من الذي أعان الصليبيين على الاستيلاء على بيت المقدس أحمدبن عطاء (رافضي) * من الذي دبر لقتل صلاح الدين : كنز الدولة (رافضي) * من الذي استقبل هولاكو بالشام : كمال الدين عمر بن بدر التفليسي (رافضي) * من الذي سرق الحجر الاسود وقتل الحجيج في الحرم : ابو طاهر قرمطي (رافضي) * من الذي ساعد محمد علي في هجومه على الشام : بشير الشهابي (رافضي) * من الذي ساعد نابليون في هجومه على الشام : دروز (رافضة) ** حديثا.. *من الذي قتل الفلسطينيين بمخيمات صبرا وشاتيلا : حركة امل (رافضة) * من الذي ساند الهجوم الصهيوني على الجنوب اللبناني : حركة امل (رافضة) * من الذي يهاجم المراكز الاسلامية باليمن : حوثيون (رافضة) *من الذي بارك الغزو الامريكي لبلاد العراق: السيستاني والحكيم (رافضة) * من الذي بارك الغزو الصليبي لبلاد افغانستان : إيران (رافضة) من الذي يحارب المسلمين ببلاد الشام : العلويون وحزب اللات (رافضة) * من الذي قال نحن مع بورما في حربها على الإرهاب نجاد (رافضي)

     

    ? Redaksi Arab dishare oleh Ustadz Ali Bawazîr di Grup Multaqô ad-Du’ât ilallâh.
    ✒️ Dialihbahasakan dengan sekelumit penambahan keterangan oleh Abû Salmâ Muhammad
    ?@abinyasalma | abusalma.net 2015

     

    sumber: Group Whatsapp Alwasithiyah wal I’tidaal Ust Abu Salma

  • Apa yang mau kita sombongkan

    Apa yang mau kita sombongkan

    1) Apa yang mau kita sombongkan; jika Imam An Nawawi menulis Syarh Shahih Muslim yang tebal itu sedang beliau tak punya Kitab Shahih Muslim?

    2) Beliau menulisnya berdasar hafalan atas Kitab Shahih Muslim yang diperoleh dari Gurunya; lengkap dengan sanad inti & sanad tambahannya.

    3) Sanad inti maksudnya; perawi antara Imam Muslim sampai RasuluLlah. Sanad tambahan yakni; mata-rantai dari An Nawawi hingga Imam Muslim.

    4) Jadi bayangkan; ketika menulis penjabarannya, An Nawawi menghafal 7000-an hadits sekaligus sanadnya dari beliau ke Imam Muslim sekira 9-13 tingkat Gurunya; ditambah hafal sanad inti sekira 4-7 tingkat Rawi.

    5) Yang menakjubkan lagi; penjabaran itu disertai perbandingan dengan hadits dari Kitab lain (yang jelas dari hafalan sebab beliau tak mendapati naskahnya), penjelasan kata maupun maksud dengan atsar sahabat, Tabi’in, & ‘Ulama; munasabatnya dengan Ayat & Tafsir, istinbath hukum yang diturunkan darinya; dan banyak hal lain lagi.

    7) Hari ini kita menepuk dada; dengan karya yang hanya pantas jadi ganjal meja beliau, dengan kesulitan telaah yang tak ada seujung kukunya.

    8) Hari ini kita jumawa; dengan alat menulis yang megah, dengan rujukan yang daring, & tak malu sedikit-sedikit bertanya pada Syaikh Google.

    9) Kita baru menyebut 1 karya dari seorang ‘Alim saja sudah bagai langit & bumi rasanya. Bagaimana dengan kesemua karyanya yang hingga umur kita tuntaspun takkan habis dibaca?

    10) Bagaimana kita mengerti kepayahan pada zaman mendapat 1 hadits harus berjalan berbulan-bulan?

    11) Bagaimana kita mencerna; bahwa dari nyaris 1.000.000 hadits yang dikumpulkan & dihafal seumur hidup; Al Bukhari memilih 6000-an saja?

    12) Atas ratusan ribu hadits yang digugurkan Al Bukhari; tidakkah kita renungi; mungkin semua ucap & tulisan kita jauh lebih layak dibuang?

    13) Kita baru melihat 1 sisi saja bagaimana mereka berkarya; belum terhayati bahwa mereka juga bermandi darah & berhias luka di medan jihad.

    14) Mereka kadang harus berhadapan dengan penguasa zhalim & siksaan pedihnya, si jahil yang dengki & gangguan kejinya. Betapa menyesakkan.

    15) Kita mengeluh listrik mati atau data terhapus; Imam Asy Syafi’i tersenyum kala difitnah, dibelenggu, & dipaksa berjalan Shan’a-Baghdad.

    16) Kita menyedihkan laptop yang ngadat & deadline yang gawat; punggung Imam Ahmad berbilur dipukuli pagi & petang hanya karena 1 kalimat.

    17) Kita berduka atas agal terbitnya karya; Imam Al Mawardi berjuang menyembunyikan tulisan hingga menjelang ajal agar terhindar dari puja.

    18) Mari kembali pada An Nawawi & tak usah bicara tentang Majmu’-nya yang dahsyat & Riyadhush Shalihin-nya yang permata; mari perhatikan karya tipisnya; Al Arba’in. Betapa barakah; disyarah berratus, dihafal berribu, dikaji berjuta manusia & tetap menakjubkan susunannya.

    19) Maka tiap kali kita bangga dengan “best seller”, “nomor satu”, “juara”, “dahsyat”, & “terhebat”; liriklah kitab kecil itu. Lirik saja.

    20) Agar kita tahu; bahwa kita belum apa-apa, belum ke mana-mana, & bukan siapa-siapa. Lalu belajar, berkarya, bersahaja.
    (Ustadz. Salim A. Fillah)

    sumber: group WA

  • Seruan Untuk Rakyat Mesir dari Masjid Imam Ahmad bin Hambal di Iskandariah, Mesir

    SERUAN UNTUK RAKYAT MESIR DARI MESJID IMAM AHMAD BIN HANBAL DI ISKANDARIAH MESIR

    WAHAI RAKYAT MESIR .. TAKUTLAH KALIAN KEPADA FITNAH YANG AKAN MENGHANCURKAN NEGERI KALIAN!

    Pemuda-pemuda Mesir sang Pahlawan yang gagah berani!

    Tokoh-tokoh Mesir  yang kokok laksana gunung menjulang!

    Wanita-wanita Mesir yang merdeka!

    Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakaatuh

    Di waktu berjalannya penghancuran negeri kita di tangan sekelompok orang yang melampui batas, dan pembunuhan yang dilakukan oleh para pencuri dan pelaku kejahatan yang menumpahkan darah. Tidak ada lagi yang dapat diperbuat oleh seorang muslim yang bersaksi An Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadur Rasulullah kecuali kembali kepada Kitab Robbnya dan kepada Sunnah NabiNya shollallahu ‘alaihi wa sallama. Memetik nasehat dan pelajaran dari keduanya tentang fitnah dan huru-hara yang sedang melanda kita. Tidak ada yang tahu kecuali Allah kemana bahtera negeri ini membawa kita, apakah menuju keselamatan atau akan karam Laa Haw laa wa laa Quwwata Illa billah.

    Sesungguhnya penghancuran Mesir adalah cita-cita setiap orang yang zholim, angan-angan semua orang yang iri dan dengki serta kesempatan yang dinanti-nanti oleh musuh islam.

    Mesirnya Amru bin ‘Ash,

    Mesirnya Sholaahuddin Al-Ayyubi,

    Mesirnya Saifud Din Quthuz, Azh-Zhohr Baibers dan Najmud Din Ayyub,

    Mesirnya Al-Laits bin Sa’ad, Asy-Syafi’I, Ath-Thohawy, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, Ibnu Daqiq Al-‘Id dan lain-lainnya dari para pemimpin kita yang gagah berani serta ulama-ulama yang mulia.

    Wahai rakyat Mesir .. jagalah negeri kalian. Bertakwalah kepada Allah di rumah-rumah kalian, mesjid-mesjid kalian dan tempat-tempat ibadah kalian.

    Wahai rakyat Mesir .. sesungguhnya musuh-musuh kalian ingin menghancurkan rumah kalian dengan  tangan kalian sendiri dan membunuh anak-anak kalian dengan pedang kalian sendiri. mereka tidak menembakkan satu pelurupun kepada kalian, akan tetapi kalianlah yangmenembakkan peluru-peluru kepada diri kalian sendiri dan menghancurkan rumah-rumah kalian dengan tangan kalian sendiri.

    Tidakkah orang-orang yang mengajak manusia keluar berdemo mengetahui bahwasanya akan di antara mereka para pelaku tindak criminal yang menyusup dan mencuri kesempatan untuk menghancurkan bangunan dan merusak harta milik manusia sedangkan mereka tidak mampu menangkap, atau menahan atau menghalangi orang-orang tersebut.

    Apakah kalian ingin para tentaran kita meninggalkan tugasnya untuk menjaga perbatasan negeri kita diluar agar kita berperang melawannya di dalam sehingga darah mengalir deras di jalanan kita, dan rumah-rumah dihancurkan serta kehormatan dirusak? Dan kita beralih dari kondisi yang buruk kepada yang lebih buruh darinya? Wal ‘iyadz billah – inilah dia ciri-ciri fitnah.

    Sesungguhnya para pendemo – sekalipun hari ini mereka sepakat – atas kepergian fulan, maka mereka tidak akan sepakat esok untuk memilih siapa yang akan mengatur urusan umat ini. karena mereka adalah kelompok yang banyak, dan hawa nafsu yang beragam. Sesama mereka ada perselisihan dan pertentangan yang Allah lebih mengetahui hal itu. Dan setiap mereka berharap mendapatkan kekuasaan, keburukan mereka tidak lebih sedikit dari orang-orang yang berkuasa sekarang.

    Dan negeri ini akan terus berada dalam kekacauan tidak ada kendalinya serta tidak ada yang mengetahui kapan akan berakhir kecuali Allah.

    Maka janganlah kalian menta’ati mereka wahai penduduk Mesir!

    Janganlah keluar bersama mereka! Kembalilah kepada Allah Ta’ala dalam rangka memperbaiki kondisi kalian, dan Dialah sebaik-baik wali dan penolong.

    Wahai rakyat Mesir .. ingatlah firman Allah Ta’ala,

    وإنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئاً إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

    “Dan jika kalian bersabar dan bertakwa tidak akan membahayakan kalian tipu-daya mereka sedikitpun, sesungguhnya Allah maha meliputi apa yang mereka perbuat”.

    Wahai rakyat Mesir ..ingatlah hadits Nabi kalian di dalam Ash-Shohihain dari Abu Hurairah beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda,

    ” ستكون فتن ، القاعد فيها خير من القائم ، والقائم فيها خير من الماشي ، الماشي فيها خير من الساعي ، من تشرف لها تستشرفه ”

    “Akan terjadi fitnah-fitnah, orang yang duduk padanya lebih baik dari pada orang yang berdiri. Dan orang yang berdiri padanya lebih baik dari pada orang yang berjalan. Dan orang yang berjalan padanya lebih baik dari pada orang yang berlari barangsiapa  mengikuti atau menginginkannya fitnah akan membinasakannya”.

    Barangsiapa yang menginginkannya dan ikut serta di dalamnya maka fitnah itu akan membinasakannya .. akan membinasakannya.

    Maka tetaplah dirumah kalian .. ta’atilah Robb kalian, tahanlah lidah kalian dan laksanakanlah apa yang difardhukan atas kalian.

    Alangkah agungnya apa yang ditunjukkan syara’ kepada kita dan alangkah buruknya ajakan orang-orang jahil dan para demonstran dan pelaku keonaran.

    (http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=28349)

    sumber: http:// abu zubair net

  • Sekali lagi, berlemah lembutlah wahai ahlussunnah kepada ahlus sunnah

    و مرة أخرى رفقاً أهل السنة بأهل السنة

    Sekali lagi, berlemah lembutlah wahai ahlussunnah kepada ahlus sunnah

    Oleh :
    Al-Muhaddits al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd

    Alih Bahasa:
    Abu Salmâ Muhammad bin Burhan

    Editor Bahasa dan Pengayaan Isi :
    Ustadz Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
    (Mudir Ma’had Abu Hurairoh Lombok)

    Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Alloh semata, dan tidak ada kemampuan dan kekuatan melainkan atas izin Alloh. Semoga shalawat, salam dan keberkahan senantiasa tercurahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, juga terhadap keluarga, sahabat dan siapa saja
    yang mencintai beliau.

    Wa ba’d : sesungguhnya, orang-orang dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah yang menyibukkan diri dengan ilmu syar’i dan meniti di atas jalan salaful ummah, mereka di zaman ini lebih butuh untuk saling bersatu dan menasehati diantara mereka, terlebih lagi mereka adalah golongan yang terhitung minoritas jika dibandingkan dengan firqoh-firqoh dan kelompokkelompok yang menyimpang dari manhaj salaful ummah.

    Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, di penghujung masa hidup dua orang syaikh yang mulia, yaitu syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz dan Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimîn rahimahumallâhu, sekelompok kecil yang sangat minoritas dari kalangan ahlus sunnah, masih menyibukkan diri untuk memperingatkan (ummat) dari kelompok-kelompok yang menyeleweng dari manhaj salaful ummah, dan ini adalah tindakan yang patut dipuji dan disyukuri. Namun yang amat disayangkan, pasca wafatnya kedua syaikh tersebut, sebagian dari kelompok kecil ini mulai sibuk mencela sebagian saudara-saudara mereka sesama ahlus sunnah yang menyeru untuk berpegang teguh kepada manhaj salaful ummah, baik di dalam ataupun luar negeri.

    Padahal, termasuk hak mereka yang harus ditunaikan, adalah wajib menerima kebaikan-kebaikan mereka, mendukung dan meluruskan mereka apabila didapati suatu kesalahan yang apabila memang itu suatu kesalahan. Kemudian hendaknya tidak menyibukkan diri di dalam majelis menyebutkan kesalahan saudara-saudaranya dan mentahdzir mereka. Namun hendaknya mereka sibuk dengan ilmu, mempelajari, mengajarkan dan mendakwahkannya. Inilah manhaj yang lurus di dalam mencapai kebaikan dan perbaikan yang dipegang oleh syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, imam ahlus sunnah wal jama’ah di zaman ini, semoga Alloh merahmati beliau.

    Ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan ilmu di zaman ini sangat sedikit jumlahnya, mereka lebih butuh untuk ditambah bukan dikurang-kurangi, lebih butuh untuk saling bersatu bukan malah saling memutuskan hubungan. Mungkin keadaan ini seperti yang dikatakan oleh ahli Nahwu:

    المصغَّر لا يصغَّر

    “al-Mushoghghor laa yushoghghor”1 (1).

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmû’ al- Fatâwâ (51/27) :

    “Kalian ketahui bahwa termasuk kaidah yang agung yang menghimpun agama adalah menarik simpati, mempersatukan kalimat dan memperbaiki hubungan diantara sesama, karena sesungguhnya Alloh Ta’ala berfirman :

    “Bertakwalah dan perbaikilah hubungan diantara kalian”,

    dan firman-Nya :

    “dan berpegangteguhlah kalian dengan tali (agama) Alloh semuanya dan janganlah kalian berpecah belah”

    dan firman-Nya :
    “dan janganlah kalian berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada kalian keterangan yang jelas dan bagi mereka ada siksa yang besar”

    dan ayat-ayat semisal yang memerintahkan untuk bersatu serta melarang dari berpecah belah dan berselisih. Mereka yang berpegang dengan pokok inilah yang disebut ahlul jama’ah dan yang keluar dari pokok/landasan ini disebut dengan ahlul furqoh”

    Saya telah menulis pembahasan seperti ini sebelumnya dalam risalah yang berjudul “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah”, yang dicetak pertama kali tahun 1424 kemudian dicetak lagi pada tahun 1426, lalu dicetak kembali di dalam kumpulan buku dan risalah saya (Majmû’ al-Kutub war Rosâ’il Syaikh al-Abbâd) juz VI hal. 327-381 pada tahun 1428. Saya paparkan di dalamnya sejumlah besar teks ayat al-Qur’an, sunnah dan ucapan ulama muhaqqiq (peneliti) dari kalangan ahlus sunnah. Di dalam risalah ini, setelah muqoddimah terkandung beberapa bab pembahasan sebagai berikut :

    • Nikmat berbicara dan lisan
    • Menjaga lisan di dalam berbicara kecuali dalam hal kebaikan Prasangka dan tajassus (mencari-cari kesalahan)
    • Ramah dan lemah lembut
    • Sikap ahlus sunnah terhadap seorang alim yang jatuh kepada kesalahan maka beliau diberikan udzur tidak malah dibid’ahkan dan dihajr (diboikot)
    • Fitnah tajrih (mencela) dan hajr pada sebagian ahli sunnah di zaman ini dan jalan keluarnya
    • Bid’ah menguji manusia dengan perseorangan
    • Peringatan dari fitnah tajrih dan tabdi’ (vonis bid’ah) pada sebagian ahli sunnah di zaman ini.

    Namun amat disayangkan, akhir-akhir ini malah keadaannya semakin runyam dengan adanya sebagian ahlus sunnah yang sibuk dengan celaan, vonis bid’ah hingga muncul sikap saling menghajr. Pertanyaan seperti ini senantiasa berulang-berulang ditanyakan : “Apa pendapatmu terhadap fulan yang menvonis bid’ah fulan”, “apakah saya membaca buku si fulan yang dibid’ahkan oleh Fulan?”

    Bahkan sampai-sampai ada sebagian penuntut ilmu junior berkata terhadap sesama mereka : “apa sikapmu terhadap fulan yang dinvonis bid’ah fulan? Kamu harus punya sikap
    terhadap hal ini, jika tidak kamu akan kami tinggalkan!!!” Hal ini semakin diperburuk dengan terjadinya hal seperti ini di sebagian negara Eropa dan semisalnya yang para penuntut ilmu ahlis sunnah di dalamnya memiliki perbendaharaan ilmu yang masih sangat minim, padahal mereka lebih sangat membutuhkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan melepaskan diri dari fitnah saling menghajr yang disebabkan oleh sikap taklid di dalam tajrih (mencela).

    Manhaj seperti ini serupa dengan thoriqoh Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya mengatakan tentang jama’ahnya :

    “Dakwah kalian lebih utama untuk didatangi manusia bukan mendatangi seseorang… Karena jama’ah ini mengumpulkan semua kebaikan, sedangkan selain (jama’ah ini) tidak lepas dari kekurangan” (Mudzakkarât ad-Da’wah wad Dâ’iyah hal 232 cet. Dâr asy-Syihâb karya Syaikh Hasan al-Bannâ)

    Beliau juga berkata :

    “Sikap kita terhadap dakwah-dakwah yang beraneka ragam yang memampoi batas di zaman ini, yang memecah belah hati dan memporakporandakan fikiran, adalah kita timbang dengan timbangan dakwah kita, apabila selaras dengan dakwah kita maka marhaban (kita sambut), dan apabila menyelisihinya, maka kita berlepas diri darinya!!!” (Majmû’ah ar-Rosâ’il Hasan al-Bannâ hal. 240 cet. Dar ad-Da’wah th. 1411)

    Termasuk kebaikan bagi mereka, para penuntut ilmu, ketimbang sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka sibukkan diri dengan membaca buku-buku yang bermanfaat karya ahlus sunnah, terutama buku-buku ulama zaman ini seperti fatwa-fatwa syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, fatwa-fatwa Lajnah ad-Dâimah lil Iftâ`, karya tulis Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn dan selainnya. Karena dengan demikian mereka akan memperoleh ilmu yang bermanfaat dan selamat dari “qîla wa qôla” (desas-desus) dan memakan daging saudaranya sesama ahlus sunnah.

    Ibnul Qoyyim berkata di dalam “al-Jawâbul Kâfi” (hal. 203) :

    “Sungguh aneh, ada orang yang mudah di dalam menjaga dan memelihara dirinya dari memakan yang haram, berbuat aniaya, berzina, mencuri, minum khamr, memandang suatu yang haram dan perbuatan haram lainnya, namun ia berat di dalam menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai dapat anda lihat, ada seorang lelaki yang dipuji agamanya, zuhudnya dan ibadahnya, namun ia berbicara dengan suatu ucapan yang dimurkai Alloh, yang ia anggap remeh. Dengan satu kata dari ucapan tersebut derajatnya turun sejauh timur dan barat. Betapa banyak orang yang anda lihat, menjaga diri dari perbuatan keji dan aniaya, namun lisannya gemar berbuat fitnah terhadap kehormatan manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dan ia tidak mempedulikan apa yang diucapkannya.”

    Apabila didapati ada ucapan seorang ahli sunnah yang masih global dan terperinci, maka hendaknya berbaik sangka dengannya dan membawa ucapannya yang global kepada yang
    terperinci, sebagaimana ucapan ‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu :

    “Janganlah sekali-sekali kamu berprasangka terhadap ucapan yang disampaikan saudara mukminmu melainkan dengan persangkaan yang baik dan kamu dapati ucapannya memang bisa dibawa kepada kemungkinan yang baik”,

    Ucapan ini disebutkan oleh Ibnu Katsîr dalam menafsirkan Surat al-Hujurât.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab ar-Radd ‘alal Bakri (hal 324) :

    “Suatu hal yang sudah diketahui bersama bahwa ucapan yang terperinci itu menentukan ucapan yang global, dan ucapan yang jelas (shârih) itu lebih didahulukan daripada ucapan yang bersifat samar (kinayah).”

    Beliau rahimahullâhu juga berkata di dalam kitab ash-Shôrimul Maslûl (2/512) :

    “Mengambil pendapat yang masih bersifat umum dari madzhabmadzhab ahli fikih tanpa kembali kepada apa yang bisa menafsirkan perkataan merka dan yang dikehendaki oleh ushul madzhab mereka, akan menghantarkan kepada madzhab yang buruk”

    Beliau juga berkata dalam kitab al-Jawâbush Shahîh liman Baddala Dînal Masîh (4/44) :

    “Wajib menafsirkan ucapan seseorang dengan ucapannya yang lain dan mengambil perkataannya dari sana dan sini, sehingga bisa diketahui dari kebiasaannya apa yang dimaksudkan dan dikehendaki dari lafal yang ia kemukakan itu.”

    Orang yang mengkritik dan dikritik itu tidak ma’shum dan tidak ada seorangpun dari mereka yang lepas dari kekurangan dan kesalahan. Mencari kesempurnaan itu memang yang diinginkan, namun jangan sampai hal ini mengecilkan bahkan menghilangkan kebaikan pada selainnya. Karena itu tidak layak mengatakan : “Kalau tidak sempurna berarti tidak ada”, atau “Kalau bukan cahaya sempurna berarti kegelapan”, bahkan seharusnya menjaga cahaya yang kurang tersebut dan berupaya untuk menambahnya. Apabila tidak bisa mendapatkan dua lentera atau lebih, maka satu lentera cahaya itu lebih baik daripada kegelapan.

    Semoga Alloh merahmati syaikh kami, asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz yang menghabiskan hidupnya dengan ilmu syar’i, mempelajarinya, mengamalkan, mengajarkan dan mendakwahkannya. Beliau adalah orang yang paling menganjurkan masyaikh dan para penuntut ilmu agar (sibuk) mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau
    menasehati salah satu masyaikh tentang hal ini, dan syaikh tersebut mengemukakan alasan yang tidak diridhai oleh syaikh Ibnu Baz, beliau rahimahullâhu mengatakan : “rabun tidaklah (sama dengan) buta”. Maksudnya adalah, sesuatu yang tidak bisa diperoleh seluruhnya tidaklah ditinggalkan sebagiannya. Apabila tidak ada penglihatan yang kuat dan hanya ada pengelihatan yang lemah yaitu rabun, maka sesungguhnya rabun itu masih lebih baik daripada kebutaan.

    Syaikh (Ibnu Bâz) kehilangan pengelihatannya semenjak usia 20 tahun, akan tetapi Alloh menganugerahkan kepada beliau cahaya bashirah, yang orang khusus (para ulama) dan awam pun sudah mengetahui hal ini.

    Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ Fatawa (10/364) :

    “Apabila tidak ada cahaya yang bersih/murni dan hanya ada cahaya yang masih belum bersih sedangkan manusia masih dalam kegelapan, maka tidak sepatutnya mencela seseorang dan mencegah dari cahaya yang masih tercampur kegelapan tersebut kecuali apabila sudah ada cahaya yang tidak tercampur lagi dengan kegelapan. Jika tidak, betapa banyak orang yang menyimpang darinya akan keluar dari cahaya keseluruhannya.”

    Dan yang juga semisal dengan ini adalah ucapan sebagian orang: “Kebenaran itu seluruhnya tidak bertingkat/bercabang, ambillah seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya”, jadi jika mengambil seluruhnya adalah haq dan meninggalkan seluruhnya adalah bathil. Barang siapa yang ada padanya kebenaran maka dinasehati untuk tetap pada kebenaran tersebut dan berupaya untuk memperoleh kebenaran yang belum ada padanya.

    Hajr yang terpuji adalah yang bermaslahat bukannya malah menyebabkan mafsadat.
    Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ al-Fatâwâ (28/173) :

    “Jikalau setiap kali dua orang muslim berselisih pendapat terhadap suatu hal dan langsung saling menghajr, niscaya tidak ada ada lagi keterpeliharaan dan persaudaraan di antara kaum muslimin.”

    Beliau juga berkata (28/206) :

    “Syariat hajr itu berbeda-beda dilihat dari fihak yang menghajr, dari sisi kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, dan tujuannya adalah untuk membuat jera dan mendidik orang yang dihajr serta agar masyarakat tidak melakukan perbuatannya. Apabila maslahat dari hajr itu lebih kuat, menyebabkan keburukan semakin lemah dan memudar, maka hajrnya disyariatkan. Namun jika baik yang dihajr ataupun orang lain tidak mendapatkan manfaat dari hajr dan bahkan malah semakin menambah keburukan, sedangkan fihak yang menghajr dalam posisi lemah dan mafsadat dari hajr lebih besar daripada maslahatnya, maka hajr tidak disyariatkan…” Sampai ucapan, “jika hal ini telah diketahui, maka hajr yang syar’i itu termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Alloh dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ketaatan itu haruslah ikhlas karena Alloh dan haruslah sesuai dengan perintah-Nya. Sehingga ketaatan itu murni untuk Allah dan benar pelaksanaannya. Maka barangsiapa yang melakukan hajr karena hawa nafsunya, atau melakukan hajr yang
    tidak diperintahkan, maka ia telah keluar dari syariat. Betapa banyak perbuatan dilakukan karena mempertutkan hawa nafsu, namun acapkali dikira karena ketaatan kepada Alloh.”

    Para ulama menyebutkan bahwa jika seorang alim melakukan kekeliruan, tidak diikuti kesalahannya dan tidak pula berlepas diri darinya (dari alim tersebut), kesalahannya diampuni karena masih banyaknya kebenaran padanya. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmû’ Fatawa” (3/349) setelah perkataan sebelumnya :

    “Orang-orang seperti mereka jika ucapan bid’ah dari para ulama tidak dijadikan sebagai pemecah belah jama’ah kaum muslimin, dan dasar menerapkan kecintaan dan permusuhan, maka mereka anggap termasuk bentuk kesalahan, padahal Alloh Subhânahu wa Ta’âlâ mengampuni kesalahan orang-orang mukmin dalam hal seperti ini. Karena itulah, banyak para imam salaful ummah, mereka berpendapat dengan ijtihadnya, namun menyelisihi al- Qur’an as as-Sunnah,( tetapi mereka tidak berwala’ kepada yang menyepakatinya, memusuhi orang yang menyelisihinya). Berbeda dengan orang yang loyal karena sepakat dengannya, benci karena menyelisihinya dan memecah belah jama’ah kaum muslimin…”

    Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’ (14/39) :

    “Sekiranya setiap imam yang keliru di dalam ijtihadnya pada suatu masalah yang seharusnya mereka dimaafkan atasnya, namun kita malah membid’ahkan dan menghajr mereka, niscaya tidak akan ada seorang alim pun yang selamat, baik itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah dan ulama selain mereka yang lebih senior. Dan Alloh, Dia-lah yang memberi petunjuk makhluk-Nya kepada kebenaran dan Dia-lah yang paling maha pemurah. Kita memohon perlindungan kepada Alloh dari hawa nafsu dan sikap keras.”

    Beliau juga berkata (14/376) :

    “Sekiranya setiap ulama yang bersalah di dalam ijtihadnya, dengan keimanan yang benar dan bermaksud untuk mengikuti kebenaran, kita tinggalkan dan kita vonis bid’ah, niscaya akan sangat sedikit para imam yang selamat darinya. Semoga Alloh merahmati mereka semua dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.”

    Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa terkadang tajrih (mencela kredibilitas perawi) itu didorong oleh hawa nafsu. Beliau berkata di dalam bukunya, “Shayidul Khâthir” (hal. 143) :

    “Saya menjumpai banyak masyaikh, dan keadaan mereka berbeda-beda tingkatan keilmuannya. Yang paling bermanfaat diantara mereka yang kusertai adalah mereka yang mengamalkan ilmunya walaupun ada dari selain mereka lebih alim darinya. Saya juga menjumpai segolongan ulama hadits yang menghafal dan mengenal (ilmu hadits), akan tetapi mereka memperbolehkan ghibah dan menganggapnya bagian dari cakupan Jarh wa Ta’dil… Saya pernah bertemu dengan ‘Abdul Wahhab al-Anmâthi dan beliau berada di atas pokok salaf, namun tidak pernah didengar di dalam majlisnya beliau melakukan ghibah…”

    Beliau juga berkata di dalam bukunya “Talbîs Iblîs” (2/689) :

    “Termasuk perangkap Iblis terhadap ahli hadits adalah, mereka saling mencela satu sama lainnya untuk menuntut balas, dan mereka menganggap hal ini dari cakupan jarh wa ta’dil, yang mana para ulama sebelumnya menggunakannya sebagai pembelaan terhadap syariat, dan hanya Allohlah yang mengetahui maksud tujuan mereka”

    Apabila ini terjadi di zaman Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 atau sekitar itu, lantas bagaimana kiranya dengan orangorang di abad ke-15?!

    Baru-baru ini ada sebuah risalah bermutu berjudul “al-Ibânah ‘an Kaifiyatit Ta’âmul ma’al Khilâf baina Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah” karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdillâh al-Imâm dari
    Yaman, dan risalah ini dipuji oleh lima ulama Yaman. Di dalamnya terkandung banyak nukilan dari ulama ahli sunnah baik terdahulu maupun sekarang, terutama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim rohimahumâllâh, tentang nasehat bagi ahlus sunnah untuk saling berbuat baik diantara mereka.

    Saya telah menelaah sebagian besar isi risalah ini, dan memetik faidah darinya berupa sumber rujukan sebagian penukilan yang dipaparkan di dalam risalah ini, dari dua imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim. Oleh karena itu saya menasehatkan untuk membaca risalah ini dan mengambil manfaat darinya. Alangkah bagusnya apa yang beliau (Syaikh Muhammad al- Imâm) katakan di dalam risalah ini (hal 170) :

    “Terkadang seorang ulama mu’tabar (yang diakui) menjarh sebagian ahlis sunnah yang mengakibatkan merebaknya fitnah hajr, mengoyak (barisan) dan kekacauan, terkadang juga menyebabkan peperangan diantara ahli sunnah sendiri, apabila konsekuensi (jarh tersebut) seperti ini, maka diketahui bahwa jarh ini menghantarkan kepada fitnah, oleh karena itu wajib mengevaluasi kembali cara tajrih dan melihat kepada maslahat, kerusakannya dan apa yang bisa membuat persaudaraan tetap terjaga, dakwah tetap terpelihara dan kesalahan bisa terobati. Tidak benar tetap bersikeras menggunakan cara jarh yang secara nyata lebih menimbulkan madharat.”

    Tidak ada keraguan bahwa para masyaikh dan penuntut ilmu lainnya dari ahli sunnah juga turut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara dari Yaman ini, mereka mengeluhkan terjadinya perpecahan dan perselisihan ini, dan mengharapkan untuk lebih mengedepankan nasehat kepada saudara-saudara mereka, dan saudara-saudara kita dari Yaman telah mendahului dalam hal ini, semoga Alloh membalas mereka dengan kebaikan.

    Semoga nasehat ini merupakan bagian dari sabda Nabi SAW :

    “Keimanan dan hikmah dari arah kanan (dari arah negeri Yaman) ” (HR Bukhari (3499) dan Muslim (188).

    Diharapkan nasehat dari saudara kita di Yaman ini dapat memberikan kontribusi positif dari penulisan dan penyebarannya. Saya tidaklah mengira akan ada seseorang dari ahli sunnah yang mendukung bentuk tajrih seperti ini (yang menyebabkan mafsadat, pent) dan berkonsentrasi mengikutinya, dimana hal ini tidak akan membuahkan sesuatu melainkan sikap permusuhan dan kebencian diantara ahli sunnah serta kerasnya hati.

    Keheranan orang yang berakal tidak berhenti sampai di sini, di saat kaum westernis lagi giat-giatnya merusak negeri Haramain setelah Allah memperbaikinya. Terutama bencana moral di forum-forum mereka yang diadakan di Jeddah, yang mereka sebut secara dusta dengan nama “Forum Khadijah binti Khuwailid”, yang saya menulis tentang hal ini sebuah risalah berjudul “Laa Yalîqu ittikhâdza Ism Khadîjah binti Khuwailid ‘Unwânan Linfilâtin Nisâ’” (Tidaklah layak menjadikan nama Khadijah Binti Khuwailid sebagai nama untuk kebebasan wanita). Saya katakan, di saat seperti ini, ada ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan saling mencela satu dengan lainnya dan mentahdzir mereka.

    Saya memohon kepada Alloh Azza wa Jalla agar memberikan taufiq kepada Ahlus sunnah di setiap tempat, agar tetap berpegang teguh dengan sunnah, saling menyatu dan bekerjasama di dalam kebaikan dan takwa, dan menghilangkan segala bentuk perpecahan dan perselisihan diantara mereka.

    Saya juga memohon kepada Alloh agar memberi taufiq kepada seluruh kaum muslimin agar mau memahami agama dan tetap di atas kebenaran. Semoga shalawat, salam dan keberkahan senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
    beliau dan sahabatnya.

    16 Muharam 1432 H.
    ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badri

    Footnote

    (1) Al-Mushoghghor laa yushoghghor rasanya sulit untuk diterjemahkan. Secara maksud adalah : sesuatu yang sudah berbentuk tasghir tidak dapat lagi ditasghir. Di dalam bahasa arab kita mengenal yang namanya ism tasghir, yang fungsinya untuk menganggap lebih kecil. Seperti contohnya :
    ‘Utsmân menjadi ‘Utsaimîn (‘Utsmân kecil)
    ‘Umar menjadi Umair (Umar kecil)
    Thullab menjadi Thuwailib (penuntut ilmu kecil)
    Maksud syaikh di sini adalah, ahlus sunnah itu sudah kecil, maka janganlah diperkecil lagi dengan tindakan-tindakan saling mencela, menghujat, dls. Jadi, sesuatu yang sdh kecil, jangan dikecilkan lagi. Jadi rasanya tepat jika kaidah nahwu ini dianalogikan untuk menggambarkan hal ini. Wallohu a’lam.

    sumber:  abusalma.net

  • Hukum shalat tanpa memakai penutup kepala

    Ketika ditanya tentang hukum shalat tanpa memakai penutup kepala, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah– menjawab:

    لا حرج في ذلك؛ لأن الرأس ليس من العورة، وإنما الواجب أن يصلي بالإزار والرداء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء))؛ لكن إذا أخذ زينته واستكمل لباسه كان ذلك أفضل؛ لقول الله جل وعلا: يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ[1]، أما إن كان في بلاد ليس من عادتهم تغطية الرأس فلا بأس عليه في كشفه

    “Tidak mengapa, karena kepala tidak termasuk aurat. Yang wajib ketika shalat adalah mengenakan kain yang menutupi pusar ke bawah dan kain yang menutupi pundak hingga pusar. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء

    Janganlah kalian shalat dengan satu kain saja sehingga pundak kalian tidak tertutup

    Namun jika seseorang memperbagus pakaiannya (dengan penutup kepala) itu lebih afdhal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

    Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31)

    Adapun jika seseorang berada di suatu daerah yang di sana tidak biasa memakai penutup kepada, maka tidak mengapa shalat tanpa penutup kepala”
    http://www.binbaz.org.sa/mat/2472 ]

    Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah– juga menyatakan hal yang sama:

    وقد سبق في أثر ابن عمر أنه قال لمولاه نافع: «أتخرجُ إلى النَّاس حاسرَ الرَّأس؟ قال: لا، قال: فالله أحقُّ أن يُستحى منه» وهو يدلُّ على أن الأفضل ستر الرأس، ولكن إذا طبَّقنا هذه المسألة على قوله تعالى:)يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ )(لأعراف: من الآية31) تبيَّن لنا أن ستر الرأس أفضل في قوم يعتبر ستر الرأس عندهم من أخذ الزِّينة، أما إذا كُنَّا في قوم لا يُعتبر ذلك من أخذ الزينة، فإنَّا لا نقول: إنَّ ستره أفضل، ولا إنَّ كشفه أفضل

    “Telah kami sampaikan sebuah atsar dari Ibnu Umar, beliau berkata kepada maula-nya, Nafi’:

    Apakah engkau keluar menemui orang-orang dengan tanpa penutup kepala? Nafi’ berkata: Tidak. Ibnu Umar berkata: Sungguh malu kepada Allah adalah lebih layak daripada kepada yang lain

    Hal ini menunjukkan bahwa menutup kepada itu lebih afdhal. Namun jika kita terapkan hal ini pada firman Allah Ta’ala:

    يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

    Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31)

    Akan jelas bagi kita bahwa menutup kepala itu lebih afdhal bagi kaum yang menganggap penutup kepala itu sebagai penghias penampilan. Namun jika kita berada di suatu kaum yang tidak menganggap demikian maka tidak kita katakan bahwa memakai penutup kepala itu afdhal, dan juga tidak dikatakan bahwa tidak memakainya itu afdhal.” (Syarhul Mumthi’, 2/137)

    Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah– berpandangan berbeda:

    والذي أراه في هذه المسألة أن الصلاة حاسر الرأس مكروهة ذلك أنه من المسلم به استحباب دخول المسلم في الصلاة في أكمل هيئة إسلامية للحديث المتقدم في الكتاب : ” . . فإن الله أحق أن يتزين له ” وليس من الهيئة الحسنة في عرف السلف اعتياد حسر الرأس والسير كذلك في الطرقات والدخول كذلك في أماكن العبادات بل هذه عادة أجنبية تسربت إلى كثير من البلاد الإسلامية حينما دخلها الكفار وجلبوا إليها عاداتهم الفاسدة فقلدهم المسلمون فيها فأضاعوا بها وبأمثالها من التقاليد شخصيتهم الإسلامية فهذا العرض الطارئ لا يصلح أن يكون مسوغا لمخالفة العرف الإسلامي السابق ولا اتخاذه حجة لجواز الدخول في الصلاة حاسر الرأس

    “Hemat saya dalam permasalahan ini, shalat tanpa memakai penutup kepala itu makruh. Karena setiap muslim dianjurkan ketika hendak shalat untuk berpenampilan sebagus dan seislami mungkin, berdasarkan hadits yang kami bawakan di awal kitab ini:

    فإن الله أحق أن يتزين له

    Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih layak daripada untuk yang lain

    Dan tidak memakai penutup kepala bukan termasuk penampilan yang bagus menurut kebiasaan para salaf, baik dalam perjalanan, di dalam dan di luar rumah, juga di tempat-tempat ibadah. Bahkan kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya merupakan tradisi dari orang-orang di luar Islam. Ide ini sengaja disusupkan ketika mereka mulai memasuki negara-negara muslim. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk ini lalu diikuti oleh umat Islam yang telah mengenyahkan jatidiri mereka dan tradisi Islam yan ada pada diri mereka. Inilah sebenarnya tujuan buruk yang dipoles dengan sangat halus untuk merusak tradisi Islami yang ada sejak dahulu. Sehingga hal ini tentu tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala”. (Tamaamul Minnah Fii Ta’liq Ala Fiqhis Sunnah, 164)

    Dengan demikian, yang lebih baik adalah memakai penutup kepala ketika shalat, karena beberapa alasan:

    • Mengamalkan firman Allah Ta’ala surat Al A’raf ayat 31.
    • Mengamalkan hadits:فإن الله أحق أن يتزين له

      Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih layak daripada untuk yang lain‘ (HR. Ath Thabrani 7262 dalam Al Ausath, sanadnya dishahihkan Al Albani dalam Ats Tsamar Al Mustathab 286)

    • Juga mengamalkan hadits:فالله أحق أن يستحى منه

      Sungguh malu kepada Allah adalah lebih layak daripada kepada yang lain‘ (HR. Ibnu Majah 1920, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah)

    • Keluar dari khilaf
    • Memakai penutup kepala pada asalnya adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, para ulama dan orang-orang shalih, baik di luar atau di dalam shalat. Beberapa riwayat menunjukkan hal ini, diantaranya:أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ، فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ ، وَعَلَى الْخُفَّيْنِ

      Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berwudhu, beliau mengusap ubun-ubunnya, mengusap imamahnya, dan mengusap khufnya” (HR. Bukhari 182, Muslim 274)

      أنه كان يُصلِّي في العِمامة

      Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat dengan memakai imamah” (HR. Bukhari 205, Muslim 1359)
      Dan juga atsar dari Ibnu ‘Umar yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin di atas

    oleh Yulian Purnama
    http://kangaswad.wordpress.com