Sekali lagi, berlemah lembutlah wahai ahlussunnah kepada ahlus sunnah

و مرة أخرى رفقاً أهل السنة بأهل السنة

Sekali lagi, berlemah lembutlah wahai ahlussunnah kepada ahlus sunnah

Oleh :
Al-Muhaddits al-‘Allâmah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd

Alih Bahasa:
Abu Salmâ Muhammad bin Burhan

Editor Bahasa dan Pengayaan Isi :
Ustadz Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
(Mudir Ma’had Abu Hurairoh Lombok)

Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Alloh semata, dan tidak ada kemampuan dan kekuatan melainkan atas izin Alloh. Semoga shalawat, salam dan keberkahan senantiasa tercurahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad, juga terhadap keluarga, sahabat dan siapa saja
yang mencintai beliau.

Wa ba’d : sesungguhnya, orang-orang dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah yang menyibukkan diri dengan ilmu syar’i dan meniti di atas jalan salaful ummah, mereka di zaman ini lebih butuh untuk saling bersatu dan menasehati diantara mereka, terlebih lagi mereka adalah golongan yang terhitung minoritas jika dibandingkan dengan firqoh-firqoh dan kelompokkelompok yang menyimpang dari manhaj salaful ummah.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, di penghujung masa hidup dua orang syaikh yang mulia, yaitu syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz dan Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimîn rahimahumallâhu, sekelompok kecil yang sangat minoritas dari kalangan ahlus sunnah, masih menyibukkan diri untuk memperingatkan (ummat) dari kelompok-kelompok yang menyeleweng dari manhaj salaful ummah, dan ini adalah tindakan yang patut dipuji dan disyukuri. Namun yang amat disayangkan, pasca wafatnya kedua syaikh tersebut, sebagian dari kelompok kecil ini mulai sibuk mencela sebagian saudara-saudara mereka sesama ahlus sunnah yang menyeru untuk berpegang teguh kepada manhaj salaful ummah, baik di dalam ataupun luar negeri.

Padahal, termasuk hak mereka yang harus ditunaikan, adalah wajib menerima kebaikan-kebaikan mereka, mendukung dan meluruskan mereka apabila didapati suatu kesalahan yang apabila memang itu suatu kesalahan. Kemudian hendaknya tidak menyibukkan diri di dalam majelis menyebutkan kesalahan saudara-saudaranya dan mentahdzir mereka. Namun hendaknya mereka sibuk dengan ilmu, mempelajari, mengajarkan dan mendakwahkannya. Inilah manhaj yang lurus di dalam mencapai kebaikan dan perbaikan yang dipegang oleh syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, imam ahlus sunnah wal jama’ah di zaman ini, semoga Alloh merahmati beliau.

Ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan ilmu di zaman ini sangat sedikit jumlahnya, mereka lebih butuh untuk ditambah bukan dikurang-kurangi, lebih butuh untuk saling bersatu bukan malah saling memutuskan hubungan. Mungkin keadaan ini seperti yang dikatakan oleh ahli Nahwu:

المصغَّر لا يصغَّر

“al-Mushoghghor laa yushoghghor”1 (1).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmû’ al- Fatâwâ (51/27) :

“Kalian ketahui bahwa termasuk kaidah yang agung yang menghimpun agama adalah menarik simpati, mempersatukan kalimat dan memperbaiki hubungan diantara sesama, karena sesungguhnya Alloh Ta’ala berfirman :

“Bertakwalah dan perbaikilah hubungan diantara kalian”,

dan firman-Nya :

“dan berpegangteguhlah kalian dengan tali (agama) Alloh semuanya dan janganlah kalian berpecah belah”

dan firman-Nya :
“dan janganlah kalian berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada kalian keterangan yang jelas dan bagi mereka ada siksa yang besar”

dan ayat-ayat semisal yang memerintahkan untuk bersatu serta melarang dari berpecah belah dan berselisih. Mereka yang berpegang dengan pokok inilah yang disebut ahlul jama’ah dan yang keluar dari pokok/landasan ini disebut dengan ahlul furqoh”

Saya telah menulis pembahasan seperti ini sebelumnya dalam risalah yang berjudul “Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah”, yang dicetak pertama kali tahun 1424 kemudian dicetak lagi pada tahun 1426, lalu dicetak kembali di dalam kumpulan buku dan risalah saya (Majmû’ al-Kutub war Rosâ’il Syaikh al-Abbâd) juz VI hal. 327-381 pada tahun 1428. Saya paparkan di dalamnya sejumlah besar teks ayat al-Qur’an, sunnah dan ucapan ulama muhaqqiq (peneliti) dari kalangan ahlus sunnah. Di dalam risalah ini, setelah muqoddimah terkandung beberapa bab pembahasan sebagai berikut :

  • Nikmat berbicara dan lisan
  • Menjaga lisan di dalam berbicara kecuali dalam hal kebaikan Prasangka dan tajassus (mencari-cari kesalahan)
  • Ramah dan lemah lembut
  • Sikap ahlus sunnah terhadap seorang alim yang jatuh kepada kesalahan maka beliau diberikan udzur tidak malah dibid’ahkan dan dihajr (diboikot)
  • Fitnah tajrih (mencela) dan hajr pada sebagian ahli sunnah di zaman ini dan jalan keluarnya
  • Bid’ah menguji manusia dengan perseorangan
  • Peringatan dari fitnah tajrih dan tabdi’ (vonis bid’ah) pada sebagian ahli sunnah di zaman ini.

Namun amat disayangkan, akhir-akhir ini malah keadaannya semakin runyam dengan adanya sebagian ahlus sunnah yang sibuk dengan celaan, vonis bid’ah hingga muncul sikap saling menghajr. Pertanyaan seperti ini senantiasa berulang-berulang ditanyakan : “Apa pendapatmu terhadap fulan yang menvonis bid’ah fulan”, “apakah saya membaca buku si fulan yang dibid’ahkan oleh Fulan?”

Bahkan sampai-sampai ada sebagian penuntut ilmu junior berkata terhadap sesama mereka : “apa sikapmu terhadap fulan yang dinvonis bid’ah fulan? Kamu harus punya sikap
terhadap hal ini, jika tidak kamu akan kami tinggalkan!!!” Hal ini semakin diperburuk dengan terjadinya hal seperti ini di sebagian negara Eropa dan semisalnya yang para penuntut ilmu ahlis sunnah di dalamnya memiliki perbendaharaan ilmu yang masih sangat minim, padahal mereka lebih sangat membutuhkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat dan melepaskan diri dari fitnah saling menghajr yang disebabkan oleh sikap taklid di dalam tajrih (mencela).

Manhaj seperti ini serupa dengan thoriqoh Ikhwanul Muslimin, yang mana pendirinya mengatakan tentang jama’ahnya :

“Dakwah kalian lebih utama untuk didatangi manusia bukan mendatangi seseorang… Karena jama’ah ini mengumpulkan semua kebaikan, sedangkan selain (jama’ah ini) tidak lepas dari kekurangan” (Mudzakkarât ad-Da’wah wad Dâ’iyah hal 232 cet. Dâr asy-Syihâb karya Syaikh Hasan al-Bannâ)

Beliau juga berkata :

“Sikap kita terhadap dakwah-dakwah yang beraneka ragam yang memampoi batas di zaman ini, yang memecah belah hati dan memporakporandakan fikiran, adalah kita timbang dengan timbangan dakwah kita, apabila selaras dengan dakwah kita maka marhaban (kita sambut), dan apabila menyelisihinya, maka kita berlepas diri darinya!!!” (Majmû’ah ar-Rosâ’il Hasan al-Bannâ hal. 240 cet. Dar ad-Da’wah th. 1411)

Termasuk kebaikan bagi mereka, para penuntut ilmu, ketimbang sibuk dengan fitnah ini, lebih baik mereka sibukkan diri dengan membaca buku-buku yang bermanfaat karya ahlus sunnah, terutama buku-buku ulama zaman ini seperti fatwa-fatwa syaikh kami ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, fatwa-fatwa Lajnah ad-Dâimah lil Iftâ`, karya tulis Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn dan selainnya. Karena dengan demikian mereka akan memperoleh ilmu yang bermanfaat dan selamat dari “qîla wa qôla” (desas-desus) dan memakan daging saudaranya sesama ahlus sunnah.

Ibnul Qoyyim berkata di dalam “al-Jawâbul Kâfi” (hal. 203) :

“Sungguh aneh, ada orang yang mudah di dalam menjaga dan memelihara dirinya dari memakan yang haram, berbuat aniaya, berzina, mencuri, minum khamr, memandang suatu yang haram dan perbuatan haram lainnya, namun ia berat di dalam menjaga gerakan lisannya. Sampai-sampai dapat anda lihat, ada seorang lelaki yang dipuji agamanya, zuhudnya dan ibadahnya, namun ia berbicara dengan suatu ucapan yang dimurkai Alloh, yang ia anggap remeh. Dengan satu kata dari ucapan tersebut derajatnya turun sejauh timur dan barat. Betapa banyak orang yang anda lihat, menjaga diri dari perbuatan keji dan aniaya, namun lisannya gemar berbuat fitnah terhadap kehormatan manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dan ia tidak mempedulikan apa yang diucapkannya.”

Apabila didapati ada ucapan seorang ahli sunnah yang masih global dan terperinci, maka hendaknya berbaik sangka dengannya dan membawa ucapannya yang global kepada yang
terperinci, sebagaimana ucapan ‘Umar Radhiyallâhu ‘anhu :

“Janganlah sekali-sekali kamu berprasangka terhadap ucapan yang disampaikan saudara mukminmu melainkan dengan persangkaan yang baik dan kamu dapati ucapannya memang bisa dibawa kepada kemungkinan yang baik”,

Ucapan ini disebutkan oleh Ibnu Katsîr dalam menafsirkan Surat al-Hujurât.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab ar-Radd ‘alal Bakri (hal 324) :

“Suatu hal yang sudah diketahui bersama bahwa ucapan yang terperinci itu menentukan ucapan yang global, dan ucapan yang jelas (shârih) itu lebih didahulukan daripada ucapan yang bersifat samar (kinayah).”

Beliau rahimahullâhu juga berkata di dalam kitab ash-Shôrimul Maslûl (2/512) :

“Mengambil pendapat yang masih bersifat umum dari madzhabmadzhab ahli fikih tanpa kembali kepada apa yang bisa menafsirkan perkataan merka dan yang dikehendaki oleh ushul madzhab mereka, akan menghantarkan kepada madzhab yang buruk”

Beliau juga berkata dalam kitab al-Jawâbush Shahîh liman Baddala Dînal Masîh (4/44) :

“Wajib menafsirkan ucapan seseorang dengan ucapannya yang lain dan mengambil perkataannya dari sana dan sini, sehingga bisa diketahui dari kebiasaannya apa yang dimaksudkan dan dikehendaki dari lafal yang ia kemukakan itu.”

Orang yang mengkritik dan dikritik itu tidak ma’shum dan tidak ada seorangpun dari mereka yang lepas dari kekurangan dan kesalahan. Mencari kesempurnaan itu memang yang diinginkan, namun jangan sampai hal ini mengecilkan bahkan menghilangkan kebaikan pada selainnya. Karena itu tidak layak mengatakan : “Kalau tidak sempurna berarti tidak ada”, atau “Kalau bukan cahaya sempurna berarti kegelapan”, bahkan seharusnya menjaga cahaya yang kurang tersebut dan berupaya untuk menambahnya. Apabila tidak bisa mendapatkan dua lentera atau lebih, maka satu lentera cahaya itu lebih baik daripada kegelapan.

Semoga Alloh merahmati syaikh kami, asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz yang menghabiskan hidupnya dengan ilmu syar’i, mempelajarinya, mengamalkan, mengajarkan dan mendakwahkannya. Beliau adalah orang yang paling menganjurkan masyaikh dan para penuntut ilmu agar (sibuk) mengajar dan berdakwah. Saya pernah mendengar beliau
menasehati salah satu masyaikh tentang hal ini, dan syaikh tersebut mengemukakan alasan yang tidak diridhai oleh syaikh Ibnu Baz, beliau rahimahullâhu mengatakan : “rabun tidaklah (sama dengan) buta”. Maksudnya adalah, sesuatu yang tidak bisa diperoleh seluruhnya tidaklah ditinggalkan sebagiannya. Apabila tidak ada penglihatan yang kuat dan hanya ada pengelihatan yang lemah yaitu rabun, maka sesungguhnya rabun itu masih lebih baik daripada kebutaan.

Syaikh (Ibnu Bâz) kehilangan pengelihatannya semenjak usia 20 tahun, akan tetapi Alloh menganugerahkan kepada beliau cahaya bashirah, yang orang khusus (para ulama) dan awam pun sudah mengetahui hal ini.

Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ Fatawa (10/364) :

“Apabila tidak ada cahaya yang bersih/murni dan hanya ada cahaya yang masih belum bersih sedangkan manusia masih dalam kegelapan, maka tidak sepatutnya mencela seseorang dan mencegah dari cahaya yang masih tercampur kegelapan tersebut kecuali apabila sudah ada cahaya yang tidak tercampur lagi dengan kegelapan. Jika tidak, betapa banyak orang yang menyimpang darinya akan keluar dari cahaya keseluruhannya.”

Dan yang juga semisal dengan ini adalah ucapan sebagian orang: “Kebenaran itu seluruhnya tidak bertingkat/bercabang, ambillah seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya”, jadi jika mengambil seluruhnya adalah haq dan meninggalkan seluruhnya adalah bathil. Barang siapa yang ada padanya kebenaran maka dinasehati untuk tetap pada kebenaran tersebut dan berupaya untuk memperoleh kebenaran yang belum ada padanya.

Hajr yang terpuji adalah yang bermaslahat bukannya malah menyebabkan mafsadat.
Syaikhul Islam berkata di dalam Majmû’ al-Fatâwâ (28/173) :

“Jikalau setiap kali dua orang muslim berselisih pendapat terhadap suatu hal dan langsung saling menghajr, niscaya tidak ada ada lagi keterpeliharaan dan persaudaraan di antara kaum muslimin.”

Beliau juga berkata (28/206) :

“Syariat hajr itu berbeda-beda dilihat dari fihak yang menghajr, dari sisi kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, dan tujuannya adalah untuk membuat jera dan mendidik orang yang dihajr serta agar masyarakat tidak melakukan perbuatannya. Apabila maslahat dari hajr itu lebih kuat, menyebabkan keburukan semakin lemah dan memudar, maka hajrnya disyariatkan. Namun jika baik yang dihajr ataupun orang lain tidak mendapatkan manfaat dari hajr dan bahkan malah semakin menambah keburukan, sedangkan fihak yang menghajr dalam posisi lemah dan mafsadat dari hajr lebih besar daripada maslahatnya, maka hajr tidak disyariatkan…” Sampai ucapan, “jika hal ini telah diketahui, maka hajr yang syar’i itu termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Alloh dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ketaatan itu haruslah ikhlas karena Alloh dan haruslah sesuai dengan perintah-Nya. Sehingga ketaatan itu murni untuk Allah dan benar pelaksanaannya. Maka barangsiapa yang melakukan hajr karena hawa nafsunya, atau melakukan hajr yang
tidak diperintahkan, maka ia telah keluar dari syariat. Betapa banyak perbuatan dilakukan karena mempertutkan hawa nafsu, namun acapkali dikira karena ketaatan kepada Alloh.”

Para ulama menyebutkan bahwa jika seorang alim melakukan kekeliruan, tidak diikuti kesalahannya dan tidak pula berlepas diri darinya (dari alim tersebut), kesalahannya diampuni karena masih banyaknya kebenaran padanya. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmû’ Fatawa” (3/349) setelah perkataan sebelumnya :

“Orang-orang seperti mereka jika ucapan bid’ah dari para ulama tidak dijadikan sebagai pemecah belah jama’ah kaum muslimin, dan dasar menerapkan kecintaan dan permusuhan, maka mereka anggap termasuk bentuk kesalahan, padahal Alloh Subhânahu wa Ta’âlâ mengampuni kesalahan orang-orang mukmin dalam hal seperti ini. Karena itulah, banyak para imam salaful ummah, mereka berpendapat dengan ijtihadnya, namun menyelisihi al- Qur’an as as-Sunnah,( tetapi mereka tidak berwala’ kepada yang menyepakatinya, memusuhi orang yang menyelisihinya). Berbeda dengan orang yang loyal karena sepakat dengannya, benci karena menyelisihinya dan memecah belah jama’ah kaum muslimin…”

Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’ (14/39) :

“Sekiranya setiap imam yang keliru di dalam ijtihadnya pada suatu masalah yang seharusnya mereka dimaafkan atasnya, namun kita malah membid’ahkan dan menghajr mereka, niscaya tidak akan ada seorang alim pun yang selamat, baik itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah dan ulama selain mereka yang lebih senior. Dan Alloh, Dia-lah yang memberi petunjuk makhluk-Nya kepada kebenaran dan Dia-lah yang paling maha pemurah. Kita memohon perlindungan kepada Alloh dari hawa nafsu dan sikap keras.”

Beliau juga berkata (14/376) :

“Sekiranya setiap ulama yang bersalah di dalam ijtihadnya, dengan keimanan yang benar dan bermaksud untuk mengikuti kebenaran, kita tinggalkan dan kita vonis bid’ah, niscaya akan sangat sedikit para imam yang selamat darinya. Semoga Alloh merahmati mereka semua dengan anugerah dan kemuliaan-Nya.”

Ibnul Jauzi menyebutkan bahwa terkadang tajrih (mencela kredibilitas perawi) itu didorong oleh hawa nafsu. Beliau berkata di dalam bukunya, “Shayidul Khâthir” (hal. 143) :

“Saya menjumpai banyak masyaikh, dan keadaan mereka berbeda-beda tingkatan keilmuannya. Yang paling bermanfaat diantara mereka yang kusertai adalah mereka yang mengamalkan ilmunya walaupun ada dari selain mereka lebih alim darinya. Saya juga menjumpai segolongan ulama hadits yang menghafal dan mengenal (ilmu hadits), akan tetapi mereka memperbolehkan ghibah dan menganggapnya bagian dari cakupan Jarh wa Ta’dil… Saya pernah bertemu dengan ‘Abdul Wahhab al-Anmâthi dan beliau berada di atas pokok salaf, namun tidak pernah didengar di dalam majlisnya beliau melakukan ghibah…”

Beliau juga berkata di dalam bukunya “Talbîs Iblîs” (2/689) :

“Termasuk perangkap Iblis terhadap ahli hadits adalah, mereka saling mencela satu sama lainnya untuk menuntut balas, dan mereka menganggap hal ini dari cakupan jarh wa ta’dil, yang mana para ulama sebelumnya menggunakannya sebagai pembelaan terhadap syariat, dan hanya Allohlah yang mengetahui maksud tujuan mereka”

Apabila ini terjadi di zaman Ibnu Jauzi yang wafat pada tahun 597 atau sekitar itu, lantas bagaimana kiranya dengan orangorang di abad ke-15?!

Baru-baru ini ada sebuah risalah bermutu berjudul “al-Ibânah ‘an Kaifiyatit Ta’âmul ma’al Khilâf baina Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah” karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdillâh al-Imâm dari
Yaman, dan risalah ini dipuji oleh lima ulama Yaman. Di dalamnya terkandung banyak nukilan dari ulama ahli sunnah baik terdahulu maupun sekarang, terutama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim rohimahumâllâh, tentang nasehat bagi ahlus sunnah untuk saling berbuat baik diantara mereka.

Saya telah menelaah sebagian besar isi risalah ini, dan memetik faidah darinya berupa sumber rujukan sebagian penukilan yang dipaparkan di dalam risalah ini, dari dua imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim. Oleh karena itu saya menasehatkan untuk membaca risalah ini dan mengambil manfaat darinya. Alangkah bagusnya apa yang beliau (Syaikh Muhammad al- Imâm) katakan di dalam risalah ini (hal 170) :

“Terkadang seorang ulama mu’tabar (yang diakui) menjarh sebagian ahlis sunnah yang mengakibatkan merebaknya fitnah hajr, mengoyak (barisan) dan kekacauan, terkadang juga menyebabkan peperangan diantara ahli sunnah sendiri, apabila konsekuensi (jarh tersebut) seperti ini, maka diketahui bahwa jarh ini menghantarkan kepada fitnah, oleh karena itu wajib mengevaluasi kembali cara tajrih dan melihat kepada maslahat, kerusakannya dan apa yang bisa membuat persaudaraan tetap terjaga, dakwah tetap terpelihara dan kesalahan bisa terobati. Tidak benar tetap bersikeras menggunakan cara jarh yang secara nyata lebih menimbulkan madharat.”

Tidak ada keraguan bahwa para masyaikh dan penuntut ilmu lainnya dari ahli sunnah juga turut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara dari Yaman ini, mereka mengeluhkan terjadinya perpecahan dan perselisihan ini, dan mengharapkan untuk lebih mengedepankan nasehat kepada saudara-saudara mereka, dan saudara-saudara kita dari Yaman telah mendahului dalam hal ini, semoga Alloh membalas mereka dengan kebaikan.

Semoga nasehat ini merupakan bagian dari sabda Nabi SAW :

“Keimanan dan hikmah dari arah kanan (dari arah negeri Yaman) ” (HR Bukhari (3499) dan Muslim (188).

Diharapkan nasehat dari saudara kita di Yaman ini dapat memberikan kontribusi positif dari penulisan dan penyebarannya. Saya tidaklah mengira akan ada seseorang dari ahli sunnah yang mendukung bentuk tajrih seperti ini (yang menyebabkan mafsadat, pent) dan berkonsentrasi mengikutinya, dimana hal ini tidak akan membuahkan sesuatu melainkan sikap permusuhan dan kebencian diantara ahli sunnah serta kerasnya hati.

Keheranan orang yang berakal tidak berhenti sampai di sini, di saat kaum westernis lagi giat-giatnya merusak negeri Haramain setelah Allah memperbaikinya. Terutama bencana moral di forum-forum mereka yang diadakan di Jeddah, yang mereka sebut secara dusta dengan nama “Forum Khadijah binti Khuwailid”, yang saya menulis tentang hal ini sebuah risalah berjudul “Laa Yalîqu ittikhâdza Ism Khadîjah binti Khuwailid ‘Unwânan Linfilâtin Nisâ'” (Tidaklah layak menjadikan nama Khadijah Binti Khuwailid sebagai nama untuk kebebasan wanita). Saya katakan, di saat seperti ini, ada ahlus sunnah yang menyibukkan diri dengan saling mencela satu dengan lainnya dan mentahdzir mereka.

Saya memohon kepada Alloh Azza wa Jalla agar memberikan taufiq kepada Ahlus sunnah di setiap tempat, agar tetap berpegang teguh dengan sunnah, saling menyatu dan bekerjasama di dalam kebaikan dan takwa, dan menghilangkan segala bentuk perpecahan dan perselisihan diantara mereka.

Saya juga memohon kepada Alloh agar memberi taufiq kepada seluruh kaum muslimin agar mau memahami agama dan tetap di atas kebenaran. Semoga shalawat, salam dan keberkahan senantiasa terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga
beliau dan sahabatnya.

16 Muharam 1432 H.
‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badri

Footnote

(1) Al-Mushoghghor laa yushoghghor rasanya sulit untuk diterjemahkan. Secara maksud adalah : sesuatu yang sudah berbentuk tasghir tidak dapat lagi ditasghir. Di dalam bahasa arab kita mengenal yang namanya ism tasghir, yang fungsinya untuk menganggap lebih kecil. Seperti contohnya :
‘Utsmân menjadi ‘Utsaimîn (‘Utsmân kecil)
‘Umar menjadi Umair (Umar kecil)
Thullab menjadi Thuwailib (penuntut ilmu kecil)
Maksud syaikh di sini adalah, ahlus sunnah itu sudah kecil, maka janganlah diperkecil lagi dengan tindakan-tindakan saling mencela, menghujat, dls. Jadi, sesuatu yang sdh kecil, jangan dikecilkan lagi. Jadi rasanya tepat jika kaidah nahwu ini dianalogikan untuk menggambarkan hal ini. Wallohu a’lam.

sumber:  abusalma.net

About