Berhari raya lebaran sesuai sunnah Nabi

Berhari raya sesuai sunnah

Idul Fithri dan Idul Adh-ha adalah pengganti hari raya yang pernah dirayakan oleh masyarakat jahiliyyah dahulu, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Dahulu masyarakat jahiliyyah memiliki dua hari  dalam setiap tahunnya, di mana mereka bersuka-ria di hari itu, maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, Beliau bersabda:

كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى * (النسائي)

“Dahulu kamu memiliki dua hari untuk bersuka-ria, dan Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha.”[i] (Shahih, diriwayatkan oleh Nasa’i)

Dalam berhari raya ada beberapa hal yang perlu kita ketahui:

Hukum shalat ‘Ied

Para ulama berselisih tentang hukum shalat Ied, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah mu’akkadah, karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seorang Arab baduwi, “Apakah ada kewajiban lain selain shalat lima waktu?” Beliau menjawab:

لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ

“Tidak ada, kecuali jika kamu mau melakukan yang sunat.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ada pula ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat ‘Ied adalah fardhu kifayah.

Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakannya, bahkan menyuruh para sahabat untuk mendatanginya sampai-sampai menyuruh semua wanita keluar baik yang gadis, yang dipingit maupun yang haidh, anyasaja bagi wanita yang  haidh diperintahkan menyingkir dari tempat shalat (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari). Di samping itu, shalat Jum’at sampai bisa menjadi gugur jika bertepatan dengan hari raya.

Dari ketiga pendapat ini yang rajih -insya Allah- pendapat yang terakhir, yakni hukumnya fardhu ‘ain, hal itu karena awal-awal pembelajaran (yakni jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang Arab baduwi) tidak bisa dijadikan alasan untuk memalingkan perintah yang datang setelahnya, jika demikian berarti membatasi kewajiban syari’at hanya lima itu saja, wallahu a’lam.

Waktu pelaksanaan shalat ‘Ied

Waktu pelaksanaan shalat ‘Ied dimulai dari terbitnya matahari setinggi satu tombak[ii] sampai tergelincirnya matahari, sebaiknya untuk shalat Idul Fitri ditunda (sampai kira-kira setinggi dua tombak) sehingga orang-orang yang belum sempat berzakat bisa berzakat. Sedangkan untuk shalat ‘Idul Adha sebaiknya di awal waktu (ketika matahari setinggi satu tombak) agar orang-orang bisa berqurban lebih pagi.

Tatacara pelaksanaan shalat ‘Ied

Shalat ‘Ied lebih utama dilaksanakan di tanah lapang tidak di masjid kecuali jika memang ada ‘udzur seperti hujan[iii], dsb.

Menurut Imam Nawawi, jika di Makkah, maka di Masjidil Haram lebih utama.

Dalam shalat ‘Ied tidak ada azan dan iqamat, demikian juga tidak ada ucapan “Ash Shalaatu Jaami’ah”. Jumlah shalat ‘Ied 2 rak’at; pada rak’at pertama bertakbir sebanyak 7 kali[iv] sebelum membaca Al Fatihah, sedangkan pada rak’at kedua bertakbir sebanyak 5 kali selain takbir intiqal (berpindah gerakan), hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fitri dan Adh-ha; pada rak’at pertama tujuh kali takbir dan pada rak’at kedua lima kali takbir. (hadits hasan, HR. Abu Dawud no. 1149).

Ibnul Qayyim berkata, “Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memulai shalat (‘Ied) sebelum berkhutbah[v]. Beliau shalat sejumlah 2 rak’at, pada rak’at pertama bertakbir sebanyak 7 kali berturut-turut dengan takbiratul iftitah (takbiratul ihram), Beliau diam sebentar antara masing-masing takbir tetapi tidak dihapal dzikr khusus dari Beliau antara masing-masing takbir[vi], namun ada riwayat dari Ibnu Mas’ud bahwa ia -antara masing-masing takbir- memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan oleh Al Khallaal. Ibnu Umar seorang yang sangat kuat ittiba’nya (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir[vii].” (Zaadul Ma’aad 1/343)

Bacaan dalam Shalat ‘Ied setelah Al Fatihah

Dianjurkan dalam shalat ‘Ied membaca surat Qaaf pada rak’at pertama dan surat Al Qamar pada rak’at kedua setelah membaca Al Fatihah atau membaca surat Al A’la pada rak’at pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rak’at kedua (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim).

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah ‘ied

Sunnah yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa khutbah ‘Ied itu dilakukan setelah shalat, demikian juga dalam berkhutbah khatib berdiri[viii] menghadap jama’ah tanpa memakai mimbar (berdasarkan riwayat Ibnu Khuzaimah).

Jika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at

Jika hari hari raya bertepatan dengan hari jum’at maka kewajiban shalat jum’at menjadi gugur, namun bagi imam sebaiknya mengadakan shalat Jum’at, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Pada harimu ini berkumpul dua hari raya, maka barang siapa saja yang mau, ia boleh tidak shalat Jum’at, namun kami melaksanakannya.” (Shahih Ibnu Majah 1083)

Dan bagi yang tidak shalat Jum’at, wajib menggantinya dengan shalat Zhuhur, ‘Atha’ bin Abi Ribaah mengatakan, “Ibnuz Zubair shalat bersama kami pada pagi hari Ied di hari Jum’at, lalu kami kembali lagi untuk (shalat) Jum’at, namun ia tidak hadir, maka kami pun shalat (Zhuhur) sendiri-sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas masih di Thaa’if, saat datang, maka kami memberitahukan hal tersebut kepadanya, ia pun mengatakan, “(Ibnuz Zubair) telah sesuai dengan Sunnah.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud).

Masalah yang berkaitan dengan shalat ‘Ied

– Jika seseorang luput (tertinggal) shalat ‘Ied, maka ia mengerjakan shalat ‘Ied meskipun sendiri, dan bisa melakukannya berjama’ah dengan keluarga.

Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas berkata, “Anas -radhiyallahu ‘anhu- apabila tertinggal shalat ‘Ied bersama imam, ia mengumpulkan keluarganya lalu shalat bersama mereka seperti shalatnya imam di hari raya.” (Hasan lighairih, HR. Baihaqi)

– Untuk shalat ‘Idul Adha jika terhalang (tidak dapat melakukan shalat ‘Idul Adha pada hari nahr atau10 Dzulhijjah) maka di hari tasyriq pun bisa (yakni tanggal 11, 12 atau 13 Dzulhijjah) sebagaimana dalam berqurban. Tentunya dilakukan setelah terbit matahari setinggi satu tombak dan berakhir sampai matahari tergelincir. Hal ini, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari tasyriq dengan hari raya.

– Jika seseorang mengetahui hari ‘Ied ketika matahari sudah tergelincir (sudah tiba waktu Zhuhur), di mana ketika ini waktu shalat ‘Ied sudah habis, maka shalat ‘Ied bisa dilakukan besoknya, hal ini berlaku untuk ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha. Alasannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari  Abu Umair bin Anas.

– Dalam safar (perjalanan) tidak disyari’atkan mengadakan shalat ‘Ied, karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau melakukan shalat ‘Ied ketika safarnya. Namun jika seseorang berada di negeri orang lain, di mana penduduknya melakukan shalat ‘Ied maka ia harus ikut bersama mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh keluar semua yang ada di rumah baik laki-laki maupun wanita tanpa membeda-bedakan.

– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sampai ke tanah lapang untuk shalat ‘Ied, tidak melakukan shalat apa-apa sebelum shalat ‘Ied maupun setelahnya (sebagaimana dalam hadits riwayat tujuh orang ahli hadits), dan jika sampai di rumahnya Beliau shalat dua rak’at (berdasarkan riwayat Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani).

Namun bila ada ‘udzur seperti hujan, lalu shalat ‘Ied di masjid, maka tetap berlaku shalat tahiyatul masjid –Wallahu a’lam-.

Adab-adab di hari raya

Adab-adab apabila kita di hari raya adalah sbb.:

– Mandi

‘Ali radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang mandi yang disyari’atkan, ia menjawab, “Mandi hari Jum’at, mandi hari ‘Arafah, mandi Idul Fithri dan Idul Adhha.” (HR. Baihaqi melalui jalan Syaafi’i dari Zaadzaan)

– Berhias (tajammul)[ix] dan memakai baju yang bagus.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai burdah berwarna merah pada hari raya.” (Silsilah Ash Shahiihah 1278)

Ibnu Abid Dunyaa dan Baihaqi meriwayatkan dengan isnad yang shahih bahwa Ibnu Umar memakai baju yang bagus di dua hari raya.” (Fat-hul Bariy 2/51)

– Jika ‘Idul Fitri dianjurkan makan terlebih dahulu[x] sebelum berangkat menuju lapangan. Sedangkan jika idul Adh-ha dianjurkan makannya setelah shalat Idul Adh-ha.

Abdullah bin Buraidah meriwayatkan dari bapaknya, bahwa ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar (menuju lapangan) pada Idul Fithri sehingga Beliau makan, dan pada Idul Adh-ha tidak makan sampai Beliau melaksanakan shalat.” (Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi)

– Dianjurkan berangkat menuju tanah lapang dengan berjalan kaki.

Abu Raafi’ berkata:

كَانَ يَخْرُجُ إِلىَ الْعِيْدَيْنِ مَاشِيًا وَ يُصَليِّ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَ لاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ يَرْجِعُ مَاشِياً فِي طَرِيْقٍ آخَرَ

“Beliau keluar menuju ‘Iedain dengan berjalan kaki, shalat tanpa azan dan iqamat, dan pulang berjalan kaki melewati jalan yang lain. “ (Ibnu Majah, Shahihul Jaami’: 4933)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:

إِذَا أَتَيْتمُ ُالصَّلاَةَ فَأْتُوْهَا وَأَنْتمُ ْتَمْشُوْنَ

“Apabila kalian pergi untuk shalat, maka datangilah sambil berjalan kaki.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Syaukani mengatakan, “Hal ini adalah umum untuk setiap shalat yang disyari’atkan berjama’ah seperti shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat ‘Ied, shalat Kusuf (gerhana) dan shalat istisqa’ (meminta turun hujan).”

– Dianjurkan menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulangnya, berdasarkan hadits di atas dan hadits-hadits yang lain.

– Dianjurkan bertakbir (dengan dijaharkan[xi]) pada hari raya[xii] di jalan-jalan dan di tanah lapang hingga shalat ditunaikan.

Lafaz takbirnya dalam hal ini adalah  waasi’ (bisa yang mana saja) di antaranya:

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, untuk-Nyalah segala puji.” (Ini adalah takbir Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, tidak mengapa ucapan takbirnya 3 kali)[xiii].

Ditulis oleh Marwan bin Musa. Disebarkan melalui www.arabic.web.id


[i] Hadits ini menunjukkan bolehnya bersuka-ria, bersenang-senang dan melakukan permainan mubah di hari raya.

[ii] Jaraknya antara terbit matahari (syuruq) kira-kira ¼ jam.

[iii] Hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ied di masjid ketika hujan adalah dha’if, dalam isnadnya ada Isa bin Abdul A’laa, ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal).

[iv] Caranya dengan bertakbiratul ihram, lalu membaca do’a istiftah, kemudian bertakbir sebanyak 6 kali. Namun menurut DR. As Sayyid Al ‘Arabiy bin Kamal bahwa takbir pada rak’at pertama dihitung tujuh kali selain takbiratul ihram, wallahu a’lam.

[v] Khutbah ‘Ied ini hukumnya sunnah, demikian juga mendengarkannya, oleh karena itu makmum boleh langsung pulang, namun lebih utama tidak pulang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Sesungguhnya kami berkhutbah, barang siapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, maka silahkan duduk dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan pergi.” (Isnadnya shahih, HR. Abu Dawud).

[vi] Yang rajih menurut DR. As Sayyid Al ‘Arabiy adalah bahwa takbirnya disambung (tanpa di sela-selahi dzikr tertentu). Wallahu a’lam.

[vii] Syaikh Al Albani berkata, “Tidak disunatkan mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir, karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun jika beralasan dengan riwayat Umar dan anaknya, maka tetap tidak menjadikannya suatu Sunnah…apalagi riwayat Umar dan anaknya itu tidak shahih; dari Umar diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang dha’if, sedangkan dari anaknya (Ibnu Umar) saya belum menemukannya sampai sekarang. Di samping itu, Imam Malik berkata, “Saya tidak mendengar sedikit pun tentang hal itu.” (Tamaamul Minnah/349)

[viii] Semua riwayat yang menjelaskan bahwa dalam berkhutbah imam duduk di sela-selanya adalah dha’if (lih. Fiqhus Sunnah).

[ix] Berhiasnya adalah sesuai syari’at, tidak dengan mencukur janggut, memakai kain melewati mata kaki, tidak juga dengan mencukur rambutnya dengan model qaza’ (mencukur sebagian rambut dan meninggalkan bagian yang lain) ini adalah haram. Dan bagi wanita dilarang bertabarruj (bersolek) ketika keluar dari rumah, juga tidak boleh memakai wewangian apalagi sampai melepas jilbab, atau memakai pakaian yang tipis dan tembus pandang.

[x] Lebih utama makan beberapa kurma dalam jumlah ganjil (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari). Al Haafizh mengatakan, “Hikmah dianjurkan makan kurma adalah karena adanya rasa manis, di mana hal itu memperkuat penglihatan yang sebelumnya dibuat lemah oleh puasa.” Ia melanjutkan, “Dari sinilah mengapa sebagian tabi’in menganjurkan makan yang manis secara mutlak misalnya madu.” (sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Mu’awiyah bin Qurrah, Ibnu Sirin dan lainnya).”

[xi] Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Ibnu Umar berangkat pada hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha dengan mengeraskan takbirnya, sampai tiba di lapangan, iapun tetap terus bertakbir sampai imam datang.

Dan untuk wanita cukup dengan mensirr(pelan)kan suaranya ketika takbir.

[xii] Berdasarkan surat  Al Baqarah: 185 (Wa litukmilul ‘iddata..dst). Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa takbir pada ‘Idul Fitri dimulai dari keluarnya menuju tempat shalat hingga ditunaikan shalat ‘Idul Fithri.

[xiii] HR. Baihaqi dari Yahya bin Sa’id dari Al Hakam yaitu Ibnu Farwah Abu Bakkaar dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa takbirnya tiga kali dan sanadnya shahih.

sumber:
Arabic.web.id

About admin

hamba Allah yang selalu mengharapkan ampunannya