“Fit, tolong bantu Ibu mengemasi piring-piring ya,” kata Ibu suatu pagi. Saat itu Fitri sedang melihat seorang lelaki dengan berpakaian rapi membawa laptop dan berjalan menuju mobil. Laki-laki itu adalah bapak dari gadis kecil yang setiap pagi memandanginya, Fitri. Begitu mobil berjalan, Fitripun membalikan badan menuju Ibu.
“Fitri, sebentar lagi mandi ya, sekarang sudah jam 06.00,” sambung Ibu. Belum sempat menjawab perintah mandi, Fitri sudah mendengar perintah berikutnya: “Fit, jadwal pelajaran dibaca ya, buku-buku kamu tata sendiri”. Fitri melihat ibunya begitu sibuk. Sepintas Fitri melihat wajah ibu yang kepayahan.
Sore hari Fitri menyambut kepulangan bapak setelah bekerja. Tidak lupa orangtua Fitri membawa oleh-oleh buah kesukaannya, apel. “Fit ini buah kesukaanmu, apel,” kata bapak. “Terima kasih bapak,” ucap Fitri sambil menerima sebungkus buah apel.
Fitri terus memandangi langkah bapak, hingga akhimya menyelinap masuk kamar mandi. Fitri pun menunggu apalagi yang akan dikerjakan bapak setelah mandi.
Sebagaimana biasanya, Fitri melihat ibu membuatkan secangkir teh panas. Diletakkannya secangkir teh di atas meja belakang bersama pisang goreng kesukaan bapak.
Selepas mandi Fitri melihat bapak membawa koran menuju meja yang telah tersedia secangkir teh dan pisang goreng. Bapak kelihatan asyik membaca koran sambil sesekali menyeruput teh panas buatan Ibu. Sambil terus membaca koran, pisang goreng kesukaannya dimakan oleh bapak.
“Bu, nanti setelah Isya bapak ada undangan, rapat di kampung, tolong anak-anak didampingi belajar ya,” kata bapak kepada kepada Ibu.
Malampun berjalan. Setelah shalat Isya bapak berangkat menghadiri rapat, ibu pun mendampingi Fitri dan Farhan, kakak Fitri, untuk belajar.
“Bu, ibu capek ya,” kata Farhan.”Iya nak, ibu capek. Ini jari-jari ibu memar terkena muntu saat nguleg lombok, kuku ibu juga tergores saat mengiris bawang, kaki ibu kutu airnya juga kambuh karena berlama-lama mencuci piring, dan badan ibu juga terasa pegal-pegal karena hari ini listrik mati sehingga ibu tidak bisa mencuci dengan mesin cuci.” Begitu banyak keluhan ibu.
Seakan Fitri membaca buku, namun sesungguhnya ia konsentrasi mendengarkan keluhan Ibu. “Tidak enak ya jadi ibu, seharian bekerja mengurus rumah, capek,” celetuk Fitri spontan, “besok saya mau jadi bapak saja.”
Fitri anak berusia tujuh tahun yang duduk di bangku kelas dua Seko]ah Dasar merasakan ketidaknyamanannya menjadi Ibu, pagi kerja menyiapkan sarapan untuk semua keluarga dan siang membereskan seisi rumah. Fitri juga melihat enaknya menjadi bapak, pagi telah disiapkan makan dan sepulang kerja bisa santai membaca sambil minum dan makan-makan.
Pemandangan sehari-hari atas bapaknya yang tidak kelihatan bekerja dipandang oleh anak menyenangkan.
Persoalan juga muncul dari ibu, ibu tidak menunjukan antusiasme kepada anak atas pekerjaan yang dilakukannya. Anak terus-menerus mendengar keluhan yang mengakibatkan ingin menghindari pekerjaan sebagaimana yang ibu kerjakan. Lain ceritanya jika ibu mengkomunikasikan atas pekerjaan harian dengan penuh antusias, semangat, dan energik, tentu anakpun akan terobsesi.
Sebagai bapak, mesti menunjukan kebersamaannya dengan keluarga. Sesekali bapak mesti mencuci, mengiris bawang, merebus air, dan mengelap kaca. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pekerjaan rurnah merupakan tanggung jawab bersama. Sesekali anak perlu diajak ke tempat kerja bapak, agar anak melihat apa yang dilakukan bapak di tempat kerja.
Insya Allah, jika demikian kondisinya, Fitri akan berkata: ‘Hebat ya, ibu! Bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik, pasti ibu pahalanya banyak. Enak ya jadi ibu, bisa beramal shalih tanpa harus keluar rumah. Terhadap bapakpun akan punya persepsi positif, “Wah ternyata bapak di kantor pekerjaannya banyak juga ya.”
Ummu Asma Ulunnuha; Fahma vol 5 no.4 – April 2009, hal 18-19
sumber: www.jilbab.or.id
Leave a Reply