Category: Artikel

  • Jangan Sebut Yahudi dengan Israel !

    Di antara fenomena ganjil yang tersebar di tengah kaum muslimin adalah menamai dan menyebut negeri Yahudi yang dimurkai oleh Allah dengan sebutan Israel. Kemudian Israel dan negeri Israel-lah yang dicela dan dicerca. Apakah tepat kita mencela Israel? Simaklah pembahasan berikut untuk menjawab pertanyaan ini.

    Ketahuilah bahwa Israel sebenarnya adalah Nabi Ya’qub ‘alaihis salam

    Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

    « حضرت عصابة من اليهود نبي الله صلى الله عليه وسلم فقال لهم : » هل تعلمون أن إسرائيل يعقوب ؟ « فقالوا : اللهم نعم ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : » أشهد عليهم «

    “Suatu saat sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu beliau bertanya pada mereka: “Apakah kalian mengetahui bahwa Israel adalah Ya’qub?” Orang-orang Yahudi itu pun menjawab, “Itu betul.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Ya Allah saksikanlah perkataan mereka’.”

    Jadi, sangat jelas dalam hadits ini bahwa Israel adalah Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.

    Kedudukan Ya’qub ‘alaihis salam dalam Islam

    Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut,

    وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ (45) إِنَّا أَخْلَصْنَاهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِ (46) وَإِنَّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْأَخْيَارِ (47)

    “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS. Shad: 45-47)

    Lihatlah dalam ayat ini, Allah betul-betul memuji Nabi Allah Ya’qub, begitu pula kakeknya Nabi Ibrahim dan bapaknya Nabi Ishaq.

    Ibnul Jauzi mengatakan bahwa mereka memiliki ulil aydi yaitu kekuatan dalam melakukan ketaatan dan memiliki ‘al abshor’ yaitu kepandaian dalam agama dan ilmu. Dalam tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa mereka memiliki kekuatan dalam beribadah dan kepandaian dalam agama. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menyimpulkan bahwa Allah menyifati mereka dengan ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat) dan amal sholeh yang banyak. Itulah pujian Allah kepada Ya’qub dan sangat mulianya kedudukan beliau ‘alaihis salam dalam agama ini.

    Sebaliknya Allah Mencela Orang Yahudi

    Berkebalikan dengan Nabi Ya’qub ‘alaihis salam, Allah sangat sering mencela orang Yahudi di dalam Al Qur’an dan melaknat mereka serta Allah sangat murka pada mereka. Namun Allah murka dan mencela demikian dengan menggunakan nama Yahudi dan nama orang kafir dari Bani Isroil, bukan dengan nama Israel/Isroil yang merupakan nabi yang mulia, putra dari Nabi yang mulia yaitu Ishaq dan keturunan kholilullah (kekasih Allah) yaitu Ibrahim ‘alaihimus salam.

    Perhatikanlah ayat berikut, Allah Ta’ala melaknat Yahudi disebabkan perkataan mereka,

    وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا

    “Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu” , sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.” (QS. Al Ma’idah: 64)

    Perhatikanlah pula ayat berikut, Allah Ta’ala telah melaknat orang kafir dari Bani Isroil,

    لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

    “Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 78)

    Yang Paling Dekat dengan Agama Nabi Ya’qub bukan Orang Yahudi

    Yang mewarisi agama Nabi Ya’qub dan kakeknya Ibrahim ‘alaihimas salam adalah orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman,

    إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

    “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68)

    Perhatikan pula dalam ayat berikut diceritakan bahwa Ibrahim ‘alaihis salam berlepas diri dari orang Yahudi, Nashrani dan orang musyrik. Allah Ta’ala berfirman,

    مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

    “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

    Walaupun orang Yahudi berasal dari keturunan Ibrahim dan Israel (Ya’qub), namun kita umat Islam harus meyakini bahwa mereka adalah musuh-musuh Allah dan musuh para Rasul yaitu Muhammad, Ibrahim dan Israel (Ya’qub). Kedekatan orang Yahudi denga Ibrahim dan Israel (Ya’qub) tidaklah bermanfaat sama sekali karena mereka tidak beriman pada wahyu yang diturunkan oleh Allah. Jadi, orang yang paling dekat dengan Ibrahim dan Ya’qub adalah orang yang beriman dan bukanlah orang Yahudi yang merupakan musuh Allah.

    Janganlah Mengarahkan Celaan Pada Seorang Nabi

    Setelah kita tahu bahwa Yahudi bukanlah Israel, lantas pantaskah kita mengarahkan cercaan dan celaan pada Israel atau negeri Israel? Yang lebih tepat adalah cercaan tersebut diarahkan pada mereka orang Yahudi yang merupakan musuh Allah, bukan kepada Israel yakni Nabi Ya’qub yang penuh dengan kemuliaan. Semoga hal ini bisa jadi perenungan bagi kita semua.

    Ketahuilah bahwa celaan kepada Nabi yang mulia ini yaitu dengan mencela Israel (Ya’qub) tidaklah akan berpengaruh padanya sama sekali sebagaimana pula dahulu orang Quraisy mencela Nabi yang mulia yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun celaan tersebut tidak berpengaruh dan dipalingkan dari beliau. Marilah kita merenungkan hadits yang mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    أَلاَ تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّى شَتْمَ قُرَيْشٍ وَلَعْنَهُمْ يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا وَأَنَا مُحَمَّدٌ

    “Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah bisa memalingkan celaan dan laknat kaum Quraisy padaku. Mereka ingin mencaci dan melaknat orang yang tercela, padahal aku adalah Muhammad (nabi yang mulia).” (HR. Bukhari no. 3533).

    Kesimpulan:

    Janganlah kita menyebut orang Yahudi dengan Israel. Dan juga janganlah kita mencela Israel karena dia adalah seorang Nabi yang mulia. Yang lebih pantas dicela dan dicerca adalah orang Yahudi yang merupakan musuh Allah. Inilah yang harus kita renungkan.

    Faedah dari: ‘Ain Salsabil min Ma’ini Imamil Jarhi wa Ta’dil, Syaikh Robi’ bin Hadi Al Madkholi.

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

    Artikel Rumaysho.com

    Diselesaikan setahun silam di Pangukan-Sleman, 5 Muharram 1430 H

  • Tanda-tanda Ahlul Bidah

    Ahlul bidah memiliki tanda-tanda yang lengkap dan nampak sehingga mereka mudah dikenal. Dalam al-Quran dan haditsnya Allah dan Rasul-Nya telah mengabarkan tentang sebagian tanda-tanda mereka untuk dijadikan peringatan bagi umat dari bahaya mereka dan larangan mengambil jalan hidup mereka. Para Salaf pun telah menerangkan masalah ini.

    Saya akan menyampaikan sebagian dari tanda itu yang dengan tanda itu mereka membedakan diri. Sebagai jembatan penolong supaya mengerti tentang mereka Insaya Allah. Termasuk tanda-tanda mereka adalah:

    1. BERPECAH-BELAH
    Sesungguhnya Allah taala telah mengabarkan tentang mereka dalam al-Quran. Ia berkata ,Janganlah kalian menjadi orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan. Dan mereka mendapatkan adzab yang besar. Ia berfirman,Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka (terpecah-belah menjadi beberapa golongan) tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini,Ayat ini secara umum menerangkan orang yang memecah-belah agama Allah dan mereka berselisih. Sesungguhnya Allah mengutus nabi-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar memenangkannya atas semua agama. Syariatnya adalah satu yang tidak ada perselisihan dan perpecahan padanya. Barang siapa yang berselish padanya maka merekalah golongan yang memecah belah agama seperti halnya pengikut hawa nafsu dan orang-orang sesat. Sesungguhnya Allah taala berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.

    Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa syiar ahli bidah adalah perpecahan,Oleh karena itu al-Firqatun Najiah disfati dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka adalah jumhur dan kelompok terbesar umat ini. Adapun kelompok lainnya maka mereka adalah orang-orang yang nyleneh, berpecah belah, bidah dan pengikut hawa nafsu. Bahkan terkadang di antara firqah-firqah itu amat sedikit dan syiar firqah-firqah ini ialah menyelisihi al-Quan, as-Sunnah serta ijma.

    2. MENGIKUTI HAWA NAFSU
    Dialah sifat mereka yang paling kentara. Allah taala berkata mensifati mereka, Maka kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.

    Ibnu Katsir berkata, Yakni ia berjalan dengan hawa nafsunya. Apa yang dilihat baik oleh hawa nafsunya maka ia lakukan dan apa yang dilihatnya jelek maka ia tinggalkan. Inilah manhaj Mutazilah dalam menganggap baik dan jelak denga logika mereka.

    Nabi telah mengabarkan bahwa hawa nafsu tidak akan terlepas dari ahli bidah dalam hadits perpecahan di mana beliau mengatakan,Sesungguhnya ahli kitab terpecah dalam agama mereka menjadi tujuh dua puluh millah dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menadi tujuh puluh tiga millah -yakni hawa nafsu- semuanya di neraka kecuali satu millah yaitu al-Jamaah.

    Sesunguhnya akan muncul pada umatku beberapa kaum hawa nafsu mengalir pada mereka sabaimana mengalirnya penyakit anjing dalam tubuh mangsanya. Tidak tersiksa darinya satu urat dan persendian pun kecuali diamasukinya.

    3. MENGIKUTI AYAT-AYAT YANG SAMAR
    Sifat mereka ini telah Allah kabarkan dalam firman-Nya,…Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang samar untuk menimbukan fitanh dan untuk mencari-cari takwilnya.

    Bukhari meriwayatkan hadits dari Aisyah katanya,Rasulullah membaca ayat ini,Dialah yang menurunkan al-quran kepada kamu di antara isinya ada aya-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pkok isi ajaran al-Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya …sampai ayat … orang-orang yang berakal. Ia berkata, Rasulullah, berkata, Bila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutashyabihat maka merekalah yang Allah namakan sebagai orang-orang yang harus dijauhi.

    Dari Amiril Mukminin Umar bin Al-Khathab katanya,Akan datang manusia mendebat kalian dengan ayat-ayat mutaysabihat maka balaslah mereka dengan sunah-sunnah karena Ahlus Sunnah lebih mengetahui akan kitabullah.

    4. MEMPERTENTANGKAN SUNNAH DENGAN AL-QURAN
    Termasuk tanda ahli bidah adalah mempertentangkan al-Quran dengan sunnah dan merasa cukup mengambil al-quran dalam pelaksanaan hukum-hukum syara sebagaimana yang diberitakan Nabi: Seorang laki-laki hampir bersandar di atas ranjangnya dibacakan haditsku lalu mengatakan,Antara kami dan kalian adalah kitabullah. Perkara halal yang kita temukan padanya maka kita halalkan dan perkara haram yang kita temukan padanya maka kita haramkan. Ketahuilah apa-apa yang Rasulullah haramkam adalah sama dengan apa yang Allah haramkan.

    Al-Imam Al-Barbahari mengatakan :Bila kamu melihat seorang mencela hadits atau menolak atsar /hadits atau menginginkan selain hadits, maka curigailah keislamnnya dan jangan ragu-ragu bahwa dia adalah ahli bidah(pengikut hawa nafsu) Beliau berkata:Bila kamu mendengar seorang dibacakan hadits di hadapannya tetapi ia tidak menginginkannya dan ia hanya mengingnkan al-Quran maka janganlah kamu ragu bahwa dia seorang yang telah dikuasai oleh kezindikan. Berdirilah dari sisinya dan tinggalkanlah ia!

    Mempertentangkan sunnah dengan al-Quran dan menolaknya bila belum ditemukan pada al-Quran apa-apa yang menguatkan sunnah, termasuk tanda ahli bidah yang paling kentara. Nabi telah mengabarkannya sebelum terjadi dan benarlah beliau. Sekarang apa yang beliau kabarkan telah terjadi. Sungguh kita mendengar dan membaca peristiwa semisal itu dari sebagian ahli bidah pada jaman dulu. Hingga kita melihat salah satu dari ahli bidah dan orang sesat jaman sekarang menghujat kitab shahih Bukhari yang telah disepakati oleh umat ini keshahihannya.Ia yakin bahwa padanya terdapat seratus dua puluh hadits yang tidak shahih yang ia sebut sebagai hadits Israiliat. Ia menghilangkannya dan mempertentangkannya dengan al-Quran kemudian ia bantah dan ingkari. Tampillah seorang tokoh ulama sekarang menentang, meruntuhkan sybuhatnya (kerancuannya), menolak kebatilannya, menampakkan penyimpangan dan kepalsuannya dengan karyanya untuk membantahnya dan orang yang menempuh jalanya, ahli bidah. Semoga Allah membalas amalnya dengan sebaik-baik pembalasan.

    5. MEMBENCI AHLI HADITS
    Termasuk tanda ahli bidah adalah membenci dan mencela ahli hadits dan atsar. Dari Ahamad bin Sinan al-Qaththan katanya: Dan tidaklah ada di dunia ini seorang mubtadi pun kecuali membenci ahli hadits.

    Abu Hatim ar-Razi berkata,Tanda ahli bidah adalah mencela ahli hadits dan tanda orang zindik adalah menamakan Ahlus Sunnah bengis. Dengan sebutan itu mereka menghendaki hilangnya hadits.

    6. MENGGELARI AHLUS SUNNAH DENGAN TUJUAN MERENDAHKAN MEREKA
    Termasuk tanda mereka adalah menggelari Ahlus Sunnah(yang bertolak belakang dengan sifat mereka) dengan tujuan merendahkan mereka.

    Abu Hatim ar-Razi berkata:Tanda Jahmiah adalah menamakan Ahlus Sunnah musyabbahah(menyerupakan Allah dengan mahluk). Ciri-ciri Qadariah adalah menamakan Ahlus Sunnah mujabbirah(mahluk tidak mempunyai kehendak.) Ciri-ciri Murjiaah adalah menamakan Ahlus Sunnah menyimpang dan mengurangi.Ciri-ciri Rafidhah adalah menamakan Ahlus Sunnah nashibah(mencela Ali). Ahlus Sunnah tidak digabungkan kecuali kepada satu nama dan mustahil nama-nama ini mengumpulkan mereka.

    Al-Barbahari berkata,Dan orang yang tertutup(kejelekannya) adalah yang jelas ia tertutup(kejelekannya) dan orang yang terbuka kejelekannya adalah orang yang jelas aibnya. Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan Nashibi, ketahuilah bahwa ia adalah Rafidly. Bila kamu mendengar seorang mengatakan fulan musyabbihah atau fulan menyerupakan Allah dengan makhluk, ketahuilah bahwa ia adalah Jahmy. Bila kamu mendengar seorang berkata tentang tauhid dan mengatakan,Terangkan padaku tauhid!, ketahuilah bahwa ia adalah Kharijy dan Mutazily. Atau mengatakan, fulan Mujabbirah atau mengatakan, dengan ijbar atau berkata dengan adilm ketahuilah bahwa ia adalah Qadari karena nam-nama ini bidah yang dibuat-buat oleh ahli bidah.

    Syaikh Ismail as-Shabuni mengatakan,Ciri-ciri ahli bidah amat jelas dan terang Sedang tanda-tanda mereka yang paling jelas adalah sangat keras memusuhi para pemilkul hadits, dan menghinakan mereka dan mengelari mereka kaku,bodoh,dhahiri,(tekstual) musyabbihah(golongan yang menyerupakan Allah dengan mahluk). Semua itu didasari keyakinan mereka bahwa hadits-hadts itu masih berupa benda mentah (bukan ilmu). Dan yang dinamakna ilmu adalah ilham yang dijejalkan setan kepada mereka, hasil dari olah akal mereka yang rusak, intuisi hati nurani mereka yang gelap….

    7. TIDAK BERPEGANG DENGAN MADZHAB SALAF
    Syaikhul Islam berkata,Kelompok-kelompok bidah yang terkenal di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tidak menganut madzhab salaf antara lain kelompok: Rafidhah, sampai orang awam tidak mengetahui syiar-syiar bidah kecuali rafdl(menolak kepemimpinan khulafaur rasyidin selain Ali). Dan sunni menurut istilah orang awam adalah orang yang bukan rafidhi ….Sehinga diketahui syiar ahli bidah menolak madzhab Salaf. Oleh karena itu dalam risalah yang ditujukan kepada Abdus bin Malik Imam Ahamad berkata,Asas sunnah menurut kami adalah berpegang dengan apa yang dijalani sahabat Muhammad….

    8. MEMVONIS KAFIR ORANG YANG MENYELISIHI MEREKA TANPA DALIL
    Dalam banyak tempat Syaikhul Islam menyebutkan tentang bantahan terhadap orang yang menvonis orang yang masih belum jelas kekafirannya,Pendapat ini tidak diketahui dari seorang sahabat, tabiin, yang mengikuti mereka dengan baik dan tidak pula dari salah satu imam tetapi ini termasuk salah satu pokok dari pokok-pokok ahli bidah yang membuat bidah dan menvonis kafir orang yang menyelisihi mereka semisal Khawarij, Mutazilah dan Jahmiah.

    Beliau berkata,Khawarij,Mutazilah, dan Rafidhah, menvonis kafir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Golongan yang belum mereka vonis kafir maka mereka vonis fasik. Demikian juga mayoritas ahlul ahwa menvonis bidah dan kafir golongan yang menyelisihi mereka berdasarkan logika semata.

    Akan tetapi Ahlus Sunnah adalah golongan yang mengikuti kebenaran dari rab mereka yang dibawa oleh rasul-Nya,tidak menvonis kafir golongan yang menyelisihi mereka. Mereka golongan yang paling tahu tentang kebenaran dan kondisi manusia.

    Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman Alu Syaikh ditanya tentang orang yang menvonis kafir sebagian golongan yang menyelisihinya. Beliau menjawab,Jawabannya, Saya tidak mengetahui sandaran ucapan itu. Berani menvonis kafir golongan lain yang menampakkan keislaman tanpa dasar syari dan keterangan yang akurat menyeilisihi manhaj para pakar ilmu agama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jalan ini adalah jalannya ahlul bidah dan orang-orang sesat.

    Diambil dari Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa wal Bid’ah karya Dr. Ibrahim Ruhaily

    http://www.perpustakaan-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=253:tanda-tanda-ahlul-bidah&catid=38:manhaj

    dikutip dari Abul Yazhir Al Parepareiy pada group FB Jauhilah BId’ah dan Syubhat dalam Hidupmu

  • Jawablah saudaraku

    1. Apakah anda setiap hari selalu shalat shubuh berjamaah di masjid ? (bagi ikhwan)

    2. Apakah anda selalu menjaga shalat yang 5 waktu berjamaah di masjid? (bagi ikhwan)

    3. Apakah anda hari ini membaca Al-Qur’an?

    4. Apakah anda rutin membaca dzikir setelah selesai melaksanakan shalat wajib?

    5. Apakah anda selalu menjaga shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat wajib?

    6. Apakah anda hari ini khusyu’ dalam shalat, menghayati apa yang anda baca?

    7. Apakah anda hari ini mengingat mati dan kubur?

    8. Apakah anda hari ini mengingat hari kiamat, segala peristiwa dan kedahsyatannya?

    9. Apakah anda telah memohon kepada Allah sebanyak 3 kali agar dimasukkan ke dalam syurga?

    10. Apakah anda telah meminta perlindungan kepada Allah sebanyak 3 kali agar diselamatkan dari api neraka? Karena: “Barang siapa yang memohon syurga kepada Allah sebanyak 3 kali, Syurga berkata, “Wahai Allah! Masukkanlah ia ke dalam syurga”, dan barang siapa yang meminta perlindungan kepada Allah agar diselamatkan dari api neraka sebanyak 3 kali, Neraka berkata, “Wahai Allah! Selamatkan ia dari api neraka”.” (Shahih Al-Jami’ No. 6151 Jilid 6)

    11. Apakah anda hari ini membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

    12. Apakah anda pernah berfikir untuk menjauhi teman-teman yang tidak baik?

    13. Apakah anda telah berusaha untuk menghindari banyak tertawa dan bergurau?

    14. Apakah anda hari ini menangis karena takut kepada Allah?

    15. Apakah anda selalu membaca dzikir pagi dan sore hari?

    16. Apakah anda hari ini telah memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosa yang telah anda perbuat?

    17. Apakah anda telah memohon kepada Allah dengan benar untuk mati syahid? Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang memohon kepada Allah dengan benar untuk mati syahid, maka Allah akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya.” (HR. Muslim)

    18. Apakah anda telah berdo’a kepada Allah agar Ia menetapkan hati anda di atas agama-Nya?

    19. Apakah anda telah mengambil kesempatan untuk berdo’a kepada Allah di waktu –waktu yang mustajab?

    20.Apakah anda telah membeli buku-buku islam untuk memahami islam? (Tentu dengan memilih buku-buku yang sesuai dengan pemahaman yang diikuti oleh para sahabat Nabi, karena banyak juga buku-buku Islam yang tersebar di pasaran justru merusak pemahaman Islam yang benar).

    21. Apakah anda memintakan ampun kepada Allah untuk saudara-saudara mukminin dan mukminah? Karena dengan mendo’akan mereka anda mendapat kebaikan pula. (Shahih Al-Jami’ No. 5902)

    22. Apakah anda telah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat Islam?

    23. Apakah anda telah memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat mata, telinga, hati dan segala nikmat lainnya?

    24. Apakah hari ini anda telah bersedekah kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan?

    25. Apakah anda dapat menahan amarah yang disebabkan karena urusan pribadi dan berusaha untuk marah karena Allah semata?

    26. Apakah anda telah berusaha untuk selalu menjauhkan diri dari sikap sombong dan membanggakan diri?

    27. Apakah anda telah mengunjungi saudara –saudara seiman dan seagama (ikhlas karena Allah semata)?

    28. Apakah anda telah berdakwah untuk keluarga, saudara-saudara, tetangga, dan siapa saja yang yang ada hubungannya dengan diri anda?

    29. Apakah anda termasuk orang yang berbakti kepada orang tua?

    30. Apakah anda selalu mengucapkan “Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’uun – Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kami kembali kepada-Nya” jika anda mendapat musibah dari Allah? Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaklah masing-masing kalian melakukan istirja’ (mengucapkan Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raaji’uun) pada setiap hal meskipun ketika tali sandalnya putus karena hal itu termasuk musibah.” (Hadits hasan, lihat Shahih Al-Kalimut Thayyib No. 140)

    31. Apakah anda hari ini mengucapkan do’a: “Allahumma Innii A’uudzubika an Usyrikabika wa Anaa A’lam wa Astaghfiruka Limaa laa A’lam – Ya allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahui dan aku memohon ampunan-Mu terhadap apa-apa yang tidak aku ketahui.” (Shahih Al-Jami’ No. 3625). Barang siapa yang mengucapkannya maka Allah akan menjauhkan darinya dari syirik besar dan syirik kecil.

    32. Apakah anda selalu berbuat baik kepada tetangga?

    33. Apakah anda telah membersihkan hati dari sombong, riya, hasad dan dengki?

    34. Apakah anda telah membersihkan lisan anda dari perkataan dusta, mengumpat, mengadu domba, berdebat kusir dan berbuat serta berkata yang tidak ada manfaatnya?

    35. Apakah anda selalu takut kepada Allah dalam hal penghasilan, makanan, minuman dan pakaian?

    36. Apakah anda selalu bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya di segala waktu atas segala dosa dan kesalahan?

    “Saudaraku kaum muslimin, jawablah pertanyaan-pertanyaan di atas dengan PERBUATAN NYATA, agar engkau mendapat ridla Allah dan menjadi orang-orang yang beruntung di dunia dan di akherat, Insya Allah.”

    Sumber:
    – Zaadul Muslim Al-Yaumi , Syaikh Abdullah bin Jaarullah bin Ibrahim Al-Jaarullah .
    – Al-Qabru ‘Adzaabuhu wa Na’iimuhu, Syaikh Husain Al-‘Awaisyah

    dikutip dari Ummu Yahya ‘Hendrita N’ dari Grup Facebook ilmu sebelum beramal dan berkata II

  • Fitri: Besok Saya Mau Jadi Bapak Aja

    “Fit, tolong bantu Ibu mengemasi piring-piring ya,” kata Ibu suatu pagi. Saat itu Fitri sedang melihat seorang lelaki dengan berpakaian rapi membawa laptop dan berjalan menuju mobil. Laki-laki itu adalah bapak dari gadis kecil yang setiap pagi memandanginya, Fitri.   Begitu mobil berjalan, Fitripun membalikan badan menuju Ibu.

    “Fitri, sebentar lagi mandi ya, sekarang sudah jam 06.00,” sambung Ibu. Belum sempat menjawab perintah mandi, Fitri sudah mendengar perintah berikutnya: “Fit, jadwal pelajaran dibaca ya, buku-buku kamu tata sendiri”. Fitri melihat ibunya begitu sibuk.  Sepintas Fitri melihat wajah ibu yang kepayahan.

    Sore hari Fitri menyambut kepulangan bapak setelah bekerja. Tidak lupa orangtua Fitri membawa oleh-oleh buah kesukaannya, apel. “Fit ini buah kesukaanmu, apel,” kata bapak. “Terima kasih bapak,” ucap Fitri sambil menerima sebungkus buah apel.

    Fitri terus memandangi langkah bapak, hingga akhimya menyelinap masuk kamar mandi. Fitri pun menunggu apalagi yang akan dikerjakan bapak setelah mandi.

    Sebagaimana biasanya, Fitri melihat ibu membuatkan secangkir teh panas. Diletakkannya secangkir teh di atas meja belakang bersama pisang goreng kesukaan bapak.

    Selepas mandi Fitri melihat bapak membawa koran menuju meja yang telah tersedia secangkir teh dan pisang goreng.  Bapak kelihatan asyik membaca koran sambil sesekali menyeruput teh panas buatan Ibu.  Sambil terus membaca koran, pisang goreng kesukaannya dimakan oleh bapak.

    “Bu, nanti setelah Isya bapak ada undangan,  rapat di kampung, tolong anak-anak didampingi belajar ya,” kata bapak kepada kepada Ibu.

    Malampun berjalan. Setelah shalat Isya bapak berangkat menghadiri rapat, ibu pun mendampingi Fitri dan Farhan, kakak Fitri, untuk belajar.

    “Bu, ibu capek ya,” kata Farhan.”Iya nak, ibu capek. Ini jari-jari ibu memar terkena muntu saat nguleg lombok, kuku ibu juga tergores saat mengiris bawang,  kaki ibu kutu airnya juga kambuh karena berlama-lama mencuci piring, dan badan ibu juga terasa pegal-pegal karena hari ini listrik mati sehingga ibu tidak bisa mencuci dengan mesin cuci.”  Begitu banyak keluhan ibu.

    Seakan Fitri membaca buku, namun sesungguhnya ia konsentrasi mendengarkan keluhan Ibu.  “Tidak enak ya jadi ibu, seharian bekerja mengurus rumah, capek,” celetuk Fitri spontan, “besok saya mau jadi bapak saja.”

    Fitri anak berusia tujuh tahun yang duduk di bangku kelas dua Seko]ah Dasar merasakan ketidaknyamanannya menjadi Ibu, pagi kerja menyiapkan sarapan untuk semua keluarga dan siang membereskan seisi rumah. Fitri juga melihat enaknya menjadi bapak, pagi telah disiapkan makan dan sepulang kerja bisa santai membaca sambil minum dan makan-makan.
    Pemandangan sehari-hari atas bapaknya yang tidak kelihatan bekerja dipandang oleh anak menyenangkan.

    Persoalan juga muncul dari ibu, ibu tidak menunjukan antusiasme kepada anak atas pekerjaan yang dilakukannya. Anak terus-menerus mendengar keluhan yang mengakibatkan ingin menghindari pekerjaan sebagaimana yang ibu kerjakan. Lain ceritanya jika ibu mengkomunikasikan atas pekerjaan harian dengan penuh antusias, semangat, dan energik, tentu anakpun akan terobsesi.

    Sebagai bapak, mesti menunjukan kebersamaannya dengan keluarga. Sesekali bapak mesti mencuci, mengiris bawang, merebus air, dan mengelap kaca. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pekerjaan rurnah merupakan tanggung jawab bersama. Sesekali anak perlu diajak ke tempat kerja bapak, agar anak melihat apa yang dilakukan bapak di tempat kerja.

    Insya Allah, jika demikian kondisinya, Fitri akan berkata: ‘Hebat ya, ibu! Bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik, pasti ibu pahalanya banyak. Enak ya jadi ibu, bisa beramal shalih tanpa harus keluar rumah. Terhadap bapakpun akan punya persepsi positif, “Wah ternyata bapak di kantor pekerjaannya banyak juga ya.”

    Ummu Asma Ulunnuha; Fahma vol 5 no.4 – April 2009, hal 18-19

    sumber: www.jilbab.or.id

  • Benarkah kiamat terjadi tanggal 21-12-2012?

    Artikel berikut adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya “Hancurnya Dunia Semakin Dekat”. Tulisan ini akan membongkar kekeliruan prediksi kiamat yang akan terjadi 21-12-2012. Isu ini sudah beredar di dunia maya sejak setahun yang lalu. Semoga tulisan ini bisa membentengi setiap muslim dari isu yang keliru semacam ini. Hanya Allah yang memberi taufik.

    Beberapa kelompok dari seluruh dunia sedang berkumpul dan mulai menghitung mundur tanggal misterius yang telah dinanti-nanti ratusan tahun: 21 Desember 2012. Berbagai kelompok dari Amerika, Kanada dan Eropa, para pengikut sekte apokaliptis (kiamat) dan beberapa individu mengatakan bahwa hari tersebut adalah hari terakhir dunia ini.

    Mereka yang percaya bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012, mendasarkan kepercayaan mereka pada kalender yang dibuat oleh suku Maya, yang ditemukan di reruntuhan di Meksiko. Masyarakat Maya Kuno, yang dikenal maju ilmu matematika dan astronominya, mengikuti “perhitungan panjang” kalender yang mencapai 5126 tahun. Ketika peta astronomi mereka dipindahkan ke kalender Gregorian, yang digunakan secara standar sekarang, waktu perhitungan bangsa Maya berhenti pada 21 Desember 2012. Mereka yang percaya juga mengatakan adanya hubungan lain selain antara kalender maya dan kehancuran yang akan datang. Matahari akan terhubung lurus dengan pusat Tata Surya pertama kalinya semenjak 26000 tahun yang lalu, yang menandai puncak musim dingin. Beberapa orang mengatakan hal ini akan mempengaruhi aliran energi ke bumi, atau karena adanya sunspot dan sunflare yang jumlahnya membengkak, menyebabkan adanya efek terhadap medan magnet bumi.

    Tukang ramal Indonesia, Mama Lauren pun sempat angkat bicara di transTV bahwa paranormal tidak bisa menembus tahun 2013 (hanya mentok di 2012).

    Apakah betul prediksi kiamat 2012? Semoga ajaran Islam yang haq bisa mengungkapkannya. Hanya Allah yang memberi kemudahan dan taufik.

    Tidak Ada yang Mengetahui Kapan Datangnya Hari Kiamat

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh malaikat Jibril yang datang dalam wujud seorang Arab Badui, beliau ditanya mengenai kapan hari kiamat terjadi. Lantas beliau menjawab,

    مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

    “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”[1]

    Sungguh sangat mengherankan yang terjadi saat ini. Beberapa kelompok atau tukang ramal yang sudah pasti suka berdusta, ada yang mengetahui kapan terjadinya kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mengetahui terjadinya hari kiamat, padahal beliau adalah orang yang paling dekat dengan Allah. Begitu pula malaikat Jibril selaku penyampai wahyu dari Allah juga tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Jika Nabi yang paling mulia dan malaikat yang mulia saja tidak mengetahui tanggal, bulan atau tahun terjadinya hari kiamat, sudah sepantasnya orang selain keduanya tidak mengetahui hal tersebut.

    Perlu ditegaskan pula bahwa waktu terjadinya hari kiamat termasuk perkara ghoib dan menjadi kekhususan Allah yang mengetahuinya. Sehingga sungguh sangat dusta jika beberapa paranormal (yang sebenarnya tidak normal) bisa menentukan waktu tersebut, baik Mama Laurent, suku Maya di Meksiko atau pun yang lainnya. Ingatlah, hanya Allah yang mengetahui terjadinya kiamat.

    يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا تَأْتِيكُمْ إِلا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

    “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Kapan terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.” (QS. Al A’raf: 187)

    يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

    “Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al Ahzab: 63)

    يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا, فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا, إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا

    “(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya?. Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya). Kepada Rabbmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).” (QS. An Naazi’at: 42-44)

    Ayat-ayat di atas dengan sangat jelas menunjukkan bahwa tidak satu pun makhluk yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat, tidak ada yang mengetahui waktunya selain Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengetahui karena waktu tersebut termasuk di antara mafaatihul ghoib (kunci-kunci ilmu ghoib) yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Mengenai mafaatihul ghoib yang dimaksudkan dapat dilihat pada firman Allah,

    إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

    “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)

    Disebutkan pula dalam kitab Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

    مَفَاتِحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ

    “Kunci ilmu ghoib itu ada lima.”[2] Kemudian beliau pun membaca firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat, … dst”.

    Sebelum Terjadinya Kiamat, Akan Muncul Tanda-Tanda Terlebih Dahulu

    Ketika menjelaskan tentang hadits Jibril yang datang dengan penambilan Arab Badui dan bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan terjadinya hari kiamat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

    “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa beliau sendiri tidak mengetahui tentang kapan terjadinya kiamat dibanding dengan yang bertanya. Orang yang bertanya tersebut nampak seperti orang Arab Badui dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui bahwa dia adalah Jibril setelah dia pergi. Ketika menjawab pertanyaan kapankah kiamat terjadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangka bahwa bahwa orang itu adalah Arab Badui. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja mengatakan tentang dirinya bahwa beliau tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat dibanding Arab Badui tadi, maka lebih-lebih lagi dengan orang-orang selain beliau tidak pantas untuk mengetahui hal itu. Anehnya lagi, Al Qur’an dan hadits Nabi menyatakan bahwa kiamat itu memiliki tanda-tanda sebelumnya dan itu amatlah banyak yang datang satu demi satu. Namun ketika waktu sesuai dengan prediksi mereka datang, anehnya tidak ada satu pun tanda-tanda kiamat yang muncul.”[3] Itulah anehnya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kiamat itu akan datang setelah muncul beberapa tanda sebagaimana disebutkan dalam hadits Hudzaifah bin Asid Al Ghifariy,

    اطَّلَعَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ « مَا تَذَاكَرُونَ ».قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ. قَالَ « إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ ». فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ -صلى الله عليه وسلم- وَيَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ.

    “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kami ketika berbincang-bincang. Beliau berkata, ‘Apa yang sedang kalian perbincangkan?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang berbincang-bincang tentang hari kiamat.’ Beliau berkata, ‘Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda.’ Beliau menyebutkan, ’[1] Dukhan (asap), [2] Dajjal, [3] Daabah, [4] terbitnya matahari dari barat, [5] turunnya Isa ‘alaihis salam, [6] keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, [7,8,9] terjadinya tiga gerhana yaitu di timur, barat dan di jazirah Arab, yang terakhir adalah [10] keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka’.”[4]

    Nabi ‘Isa sendiri turun kembali ke muka bumi dan beliau tinggal selama 40 tahun lamanya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita mengenai Nabi ‘Isa,

    فَيَمْكُثُ أَرْبَعِينَ سَنَةً ثُمَّ يُتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ

    “Nabi ‘Isa tinggal di muka bumi selama 40 tahun kemudian meninggal dan dishalatkan oleh kaum muslimin.”[5] Dari sini, mungkinkah kiamat terjadi tahun 2012?!

    Perlu diketahui bahwa berdasarkan berbagai dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, para ulama membagi tanda hari kiamat menjadi dua macam yaitu tanda shughro (kecil) dan tanda kubro (besar). Tanda kiamat shughro sendiri ada yang telah terjadi dan ada yang belum terjadi, ada pula yang berlangsung bukan sekali bahkan terus menerus dan lama kelamaan tanda tersebut lebih banyak terjadi dari waktu-waktu sebelumnya.

    Secara lebih lengkap, tanda-tanda kiamat dapat dibagi menjadi empat macam:

    Pertama, tanda shughro yang pernah terjadi dan telah berakhir. Contohnya adalah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terbelahnya bulan.

    Kedua, tanda shughro yang terus menerus terjadi dan berulang. Contohnya adalah menyerahkan amanah kepada orang yang bukan ahlinya, muncul para pendusta yang mengaku sebagai nabi, muncul wanita-wanita yang berpakaian namun hakekatnya telanjang dan merebaknya perzinaan.

    Ketiga, tanda shughro yang belum terjadi. Contohnya adalah tanah Arab akan menjadi subur dan penuh pengairan.

    Keempat, tanda kubro, artinya bila tanda-tanda ini muncul, maka kiamat sebentar lagi akan tiba. Di antara tanda tersebut adalah munculnya Dajjal. Akhirnya Dajjal pun dibunuh oleh Nabi ‘Isa. Kemudian muncul pula Ya’juj dan Ma’juj di zaman Nabi ‘Isa. Ya’juj dan Ma’juj juga dimusnahkan oleh Nabi ‘Isa.

    Prediksi Kiamat dengan Cara Apapun Tidaklah Tepat

    Sudah sejak dulu banyak orang yang mengklaim terjadinya kiamat pada tanggal-tanggal tertentu. Anehnya lagi yang dipilih adalah angka-angka cantik layaknya memilih angka menarik ketika beli voucher perdana. Ada yang mengatakan bahwa kiamat akan terjadi tanggal 19 September 1990 (19-9-1990), sebagaimana yang pernah kami dengar ketika duduk di bangku SD. Ada yang memprediksi tanggal 9 September 1999 (9-9-1990). Ada pula yang memprediksi 1 Januari 2000 (1-1-2000). Namun prediksi-prediksi dengan angka cantik ini semuanya meleset. Entah mereka membuat alasan apa lagi untuk mengelak jika kiamat benar-benar tidak terjadi tanggal 21 Desember 2012 (21-12-2012). Atau mereka mau membuat tanggal cantik lainnya. Mungkin saja bisa diprediksikan bahwa kiamat terjadi tanggal 10 Oktober 2010 (10-10-2010) atau 21 Desember 2112 (21-12-2112). Setiap orang mungkin bisa saja mengarang-ngarang hal ini sekehendaknya, sesuai dengan angka mana yang ia sukai. Namun ingatlah, janganlah sampai kita membicarakan tentang ilmu Allah tanpa dasar sama sekali. Perkara kapan kiamat itu terjadi adalah perkara ghoib, tidak perlu sibuk-sibuk membahasnya. Sibuk-sibuk mencari-cari waktu tersebut sangat bertentangan sekali dengan metode Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk tidak membahasnya.

    Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor mengatakan, “Semestinya yang dilakukan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan para ulama umat ini dalam sejarah. Seandainya membicarakan kapan terjadinya kiamat adalah suatu kebaikan untuk manusia, tentu Allah Ta’ala akan memberitahukannya kepada mereka. Akan tetapi, Allah sendiri tidak memberitahukan hal tersebut. Maka inilah yang terbaik bagi mereka.”[6]

    Selain itu pula para sahabat tidaklah pernah membicarakan hal ini, maka barangsiapa yang sibuk-sibuk mencari-cari waktu tersebut dan membicarakannya atau dengan memprediksi melalui perhitungan-perhitungan yang dianggap ilmiah, atau memprediksi melalui gejala-gejala alam, berarti dia telah melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya sama sekali (baca: bid’ah). Para ulama salaf seringkali mengatakan,

    لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

    “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

    Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.[7]

    Beberapa ulama masa silam, memang ada yang sempat membicarakan waktu kapan terjadinya kiamat bahkan mereka memiliki kitab tersendiri yang membahas hal itu. Sampai-sampai ada di antara mereka mengatakan bahwa dunia ini akan fana (binasa) setelah 500 tahun dari masa diutusnya Nabi Muhammad. Namun setelah 500 Hijriyah, kiamat pun tidak terjadi dan ini sebagai bukti kelirunya sangkaan mereka.

    Di antaranya pula ada ulama besar yang memprediksikan waktu tersebut, yaitu Imam As Suyuthi –semoga Allah merahmati beliau-. Beliau bahkan membahas pada juz tersendiri yang dinamakan “Al Kasyfu (Mengungkap Terjadinya Hari Kiamat)”. Beliau menentukan tahun tertentu. Namun waktu yang ia perkirakan ternyata telah berlalu dan tidak terjadi kiamat sama sekali, bahkan belum juga muncul tanda-tandanya.

    Begitu pula As Suhailiy memprediksi datangnya hari kiamat dengan menghitung-hitung huruf muqoto’ah (seperti alif laam miim dan haamiim) yang berada di awal-awal surat dalam Al Qur’an. Beliau memprediksikan bahwa kiamat akan terjadi 703 tahun setelah diutusnya Nabi, atau setelah Nabi berhijrah atau dihitung setelah Nabi wafat.[8] Hasil prediksi As Suhailiy pun meleset jauh. Sudah ratusan tahun, belum juga terjadi kiamat.

    Begitu pula yang belakangan meneliti hal serupa adalah Dr. Baha’i. Beliau mengklaim bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 1710 H. Beliau melakukan perhitungan dari huruf-huruf muqotho’ah yang terdapat di awal-awal surat sebagaimana yang dilakukan sebelumnya oleh As Suhailiy. Anehnya walaupun dari cara yang sama, hasil perhitungan keduanya berbeda jauh. Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor pun membantah pernyataannya, “Ini adalah suatu metode yang benar-benar keliru. Orang-orang sebelum dia ada yang menggunakan metode yang sama melalui hitungan huruf-huruf muqhoto’ah. Namun hasil perhitungan orang-orang sebelum Dr. Baha’i tidaklah sama dengannya. Mereka memiliki cara perhitungan yang sama, tetapi hasil perhitungannya jauh berbeda. Inilah yang menunjukkan kelirunya cara mereka dan menunjukkan pula tidak terbuktinya penelitian mereka.”

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun memiliki bantahan terhadap orang-orang semacam Dr. Baha’i dan yang sepemikiran dengannya. Beliau mengatakan,

    “Siapa saja yang menyibukkan diri memprediksikan terjadinya kiamat pada tahun tertentu; di antaranya yang menulis kitab “Ad Durro Al Munazzom Fii Ma’rifati Al A’zhom” (dalam kitab tersebut disebutkan sepuluh dalil yang menunjukkan kapan terjadinya kiamat), begitu pula ada yang memprediksi dalam kitab “Huruful Mu’jam”, atau dalam kitab ‘Anqo’ Mughrib, atau orang-orang lain yang melakukan prediksi yang sama; walaupun itu dianggap suatu hal yang menakjubkan oleh pengikutnya, namun perlu diketahui bahwa mayoritas mereka adalah pendusta, yang telah tertipu, dan telah terbukti bahwa mereka hanya berbicara tanpa dasar ilmu. Sungguh mereka telah mengklaim dan mengungkap suatu yang ghoib tanpa dasar ilmu sama sekali. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

    قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

    “Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS.Al A’rof: 33)”[9]

    Ibnul Qayyim ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.”[10]

    Oleh karena itu, hati-hatilah berbicara tentang kapan terjadinya kiamat tanpa dasar ilmu. Yang mengetahui hal tersebut hanyalah Allah. Prediksi apapun baik dengan penelitian ilmiah ataupun melalui perhitungan-perhitungan akurat, tidak bisa memastikan kapan terjadinya kiamat. Cukuplah kita menutup mulut dan menjaga lisan dari berbicara mengenai perkara ghoib semacam ini.

    Kenapa Allah Menyembunyikan Kapan Terjadinya Kiamat?

    Di antara alasannya adalah,

    Alasan pertama: agar kiamat masih tetap jadi perkara yang ghoib. Seandainya kapan terjadinya kiamat itu diberitahu kepada makhluk, maka perkara tersebut tidaklah menjadi ghoib lagi. Padahal ciri orang beriman yang membedakannya dengan orang kafir adalah beriman pada yang ghoib. Allah Ta’ala berfirman,

    الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

    “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al Baqarah: 3)

    Alasan kedua: agar manusia tidak mengulur-ulur waktu untuk beriman dan beramal sholih. Seandainya kita diberitahu tanggal pasti terjadinya hari kiamat –misalnya tanggal 21 Desember 2012- , maka orang pun akan menunda-nunda untuk beramal dan terus bersantai ria. Paling yang terbetik dalam benaknya, “Ah, masih ada waktu untuk menikmati hidup, kiamat masih dua tahun lagi. Tunggu sampai bulan Oktober 2012 saja, barulah kita mulai beramal.” Lihatlah ada sikap menunda-nunda. Hal ini berbeda apabila kiamat disembunyikan waktunya. Karena setiap orang sudah mengetahui bahwa kiamat sudah dekat, tentu mulai saat ini juga dia banyak bertaubat pada Allah dan melakukan banyak ketaatan karena waktu yang tersisa cukup singkat. Oleh karena itu, janganlah menunda-nunda waktu selama masih diberi kehidupan dan janganlah terlalu panjang angan-angan. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

    إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

    “Apabila engkau berada pada sore hari, janganlah menunggu waktu pagi. Apabila engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Ambillah masa sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum datang matimu.”[11]

    Yang Mesti Dipersiapkan

    Setelah pembahasan di atas, jelaslah bahwa berbagai klaim terjadinya hari kiamat pada tanggal, bulan dan tahun tertentu sungguh suatu kekeliruan karena hal ini sama saja telah berbicara tentang ilmu Allah tanpa dasar ilmu sama sekali. Sibuk-sibuk mencari-cari waktu tersebut sangat bertentangan sekali dengan metode Al Qur’an yang memerintahkan kita untuk tidak membahasnya. Yang semestinya dipersiapkan adalah bekal untuk menghadapi masa tersebut yaitu bekal iman dan amal sholih.

    ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu memberi petuah kepada kita,

    ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ

    “Dunia itu akan ditinggalkan di belakang. Sedangkan akhirat akan berada di hadapan kita. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.”[12]

    Meskipun Kiamat Belum Terjadi, Namun Masih Ada Kematian

    Satu lagi yang mesti diperhatikan. Meskipun belum muncul beberapa tanda kubro, namun ada kematian yang pasti akan menghampiri setiap insan. Walaupun dia tidak menemui tanda kiamat kubro, setiap orang akan merasakan kematian cepat ataupun lambat. Tidak ada seorang pun yang bisa lari dari yang namanya maut. Allah Ta’ala berfirman,

    قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

    “Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.” (QS. Al Jumu’ah: 8)

    Kematian akan tetap menghampiri seseorang, walaupun dia berusaha bersembunyi di dalam benteng yang kokoh. Allah Ta’ala berfirman,

    أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ الموت وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ

    “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78)

    Jadi, kematian (maut) adalah benar adanya.

    وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ

    “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.” (QS. Qaaf: 19)

    Sehingga pantaskah terbetik untuk menunda-nunda beriman dan beramal sholih. Sungguh, hanya orang yang hatinya tertutup dengan kelamnya maksiat yang tidak mau memperhatikan hal ini.

    إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

    “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaaf: 37)

    Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mempersiapkan diri menghadapi hari kebangkitan dan menghadapi kematian yang setiap kita pasti menemuinya.

    Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

    Silakan download artikel terkait “Prediksi Kiamat 21-12-2012, Benarkah?” di sini.

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

    Artikel http://rumaysho.com

    Panggang, Gunung Kidul, 22 Syawwal 1430 H

    [1] HR. Bukhari no. 50 dan Muslim no. 9, 10.

    [2] HR. Bukhari no. 4778

    [3] Majmu’ Al Fatawa, 4/341-342.

    [4] HR. Muslim no. 2901

    [5] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shohih

    [6] Al Qiyamah Ash Shugro, hal. 122.

    [7] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11

    [8] Lihat ‘Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, Badaruddin Al ‘Ainiy Al Hanafiy, 7/424, Multaqo Ahlil Hadits, Asy Syamilah

    [9] Majmu’ Al Fatawa, 4/342

    [10] I’lamul Muwaqi’in, 1/38, Darul Jail Beirut

    [11] HR. Bukhari no. 6416

    [12] Diriwayatkan oleh Al Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-. Atsar ini adalah potongan dari perkataan ‘Ali, ada yang mauquf (sampai pada sahabat) dan marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lihat Fathul Baari, 18/225, Mawqi’ Al Islam Asy Syamilah.

    disalin dari situs http://rumaysho.com

  • Ketika Hari ‘Ied bertepatan dengan hari Jum’at

    Banyak yang menanyakan bagaimana jika Hari Raya atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied?

    Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.[1]

    Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.

    Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.

    Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

    Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

    “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

    Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

    “Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

    الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

    “Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”[3]

    Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.

    Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,

    قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

    “Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]

    Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.

    Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:

    Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

    أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

    “Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]

    Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.

    Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.

    Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]

    Kesimpulan:

    * Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.

    * Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.

    * Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.

    * Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]

    Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).

    * Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]

    Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

    Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 28 Dzulqo’dah 1430 H.

    [1] Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al Maktabah At Taufiqiyah.

    [2] HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.

    [3] HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

    [4] HR. Bukhari no. 5572.

    [5] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.

    [6] Dinukil dari http://dorar.net

    [7] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

    [8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.

    [9] HR. Muslim no. 878.

    [10] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.

    sumber: http://rumaysho.com

  • Keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan amalan yang disyariatkan


    Keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dan amalan yang disyariatkan

    Oleh
    Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

    Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah
    kepada Rasulullah, Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan segenap
    sahabatnya.

    Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu ‘Abbas
    Radhiyallahu ‘Anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    “Artinya : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih
    dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari
    bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi
    sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali
    orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak
    kembali dengan sesuatu apapun”.

    Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    “Artinya : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah
    untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah)
    ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid”.

    MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN

    [1]. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah
    Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits
    shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    “Artinya : Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang
    dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada
    lain adalah Surga”.

    [2].  Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
    Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling
    utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist
    Qudsi :

    “Artinya : Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan
    membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan
    minumannya semata-mata karena Aku”.

    Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    “Artinya : Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah
    melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api
    neraka selama tujuh puluh tahun”. [Hadits Muttafaq ‘Alaih].

    Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    “Artinya : Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya”.

    [3]. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.
    Sebagaimana firman Allah Ta’ala.

    “Artinya : …. dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan …”. [Al-Hajj : 28].

    Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan
    Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak
    dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar
    Radhiyallahu ‘Anhuma.

    “Artinya : Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid”. [Hadits Riwayat Ahmad].

    Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah
    Radhiyallahu ‘Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya
    mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan
    Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha’, tabiin bahwa pada
    hari-hari ini mengucapkan :

    “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu”

    “Artinya : Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah
    (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha
    Besar, segala puji hanya bagi Allah”.

    Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di
    pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.

    “Artinya : Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu …”. [Al-Baqarah : 185].

    Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan
    berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara
    (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut
    sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini
    berlaku pada semua dzikir dan do’a, kecuali karena tidak mengerti
    sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.

    Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do’a-do’a lainnya yang disyariatkan.

    [4].  Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.
    Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab
    terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta’atan adalah
    penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.

    Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

    “Artinya : Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu
    manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya”
    [Hadits Muttafaq ‘Alaihi].

    [5]. Banyak Beramal Shalih.
    Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca
    Al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab
    amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan
    amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi
    lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya
    meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang
    merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak
    kembali dengan harta dan jiwanya.

    [6]. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq
    Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan
    disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai
    shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah ; bagi selain jama’ah
    haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai
    sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar
    pada hari Tasyriq.

    [7]. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-hari Tasyriq.
    Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, yakni ketika Allah
    Ta’ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan
    bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    “Artinya : Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna
    putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut
    nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh
    domba itu”. [Muttafaq ‘Alaihi].

    [8]. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
    Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu ‘Anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

    “Artinya : Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang
    di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari
    (memotong) rambut dan kukunya”.

    Dalam riwayat lain :
    “Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban”.

    Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan  kurbannya. Firman Allah.

    “Artinya : ….. dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum
    kurban sampai di tempat penyembelihan…”. [Al-Baqarah : 196].

    Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang
    berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika
    masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut
    serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

    [9]. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.
    Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini.
    Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah
    dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan
    kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ;
    nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan
    menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh
    hari.

    [10]. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
    Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan
    melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala
    kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini
    dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.

    Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan
    yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
    Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

    [Artikel bahasa Arab dapat dilihat di
    http://www.saaid.net/mktarat/hajj/4.htm Disalin dari brosur yang
    dibagiakn secara cuma-cuma, tanpa no, bulan dan tahun]

    Sumber :http://www.almanhaj.or.id/content/2001/slash/0
    Disalin dari milis: [email protected]
    berlangganan: [email protected]

  • Bahaya Syiah Sebuah Realita

    Dewasa ini kebid’ahan telah merebak di dalam tubuh kaum muslimin sedemikian hebatnya sehingga banyak kaum muslimin yang tidak mengerti bahaya kebid’ahan padahal kebid’ahan tersebut dapat merusak mereka dan merusak keutuhan dan persatuan kaum muslimin bahkan banyak negara Islam yang hancur lantarannya seperti daulah bani Umayah yang jatuh disebabkan kebid’ahan Ja’d bin  Dirham (Jahmiyah) lihatlah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari sejarah keruntuhan bani Umayah: “Sesungguhnya daulah bani Umayah hancur disebabkan oleh Ja’ad Al Mu’athil.”[1] Dan berkata:”Jika muncul kebid’ahan-kebid’ahan yang menyelisihi Rasulullah maka Allah akan akan membalas (dengan kejelekan) pada orang yang menyelisihi Rasul dan memberi kemenangan kepada yang lainnya.”[2].

    Dan dalam tempat yang lain beliau berkata: “Maka iman kepada Rasul dan Jihad membela agamanya adalah sebab kebaikan dunia dan akhirat dan sebaliknya kebid’ahan dan penyimpangan agama serta penyelisihan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam adalah sebab kejelekan dunia dan akhirat.”[3]

    Bahaya syiah terhadap kaum muslimin merupakan satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap muslim lebih-lebih yang telah meneliti dan membaca sejarah mereka sejak masa awal pertumbuhan dan perkembangannya sampai saat ini, rentang waktu yang cukup panjang dengan segala peristiwa berdarah yang telah menumpahkan darah ribuan bahkan jutaan kaum muslimin.

    Mengenal dan meneliti bahaya dan implikasi syiah merupakan pembahasan yang cukup luas dan panjang lagi penting agar setiap muslim dapat mengambil pelajaran, kemudian tidak terperosok dalam satu lubang berkali-kali. Apalagi dimasa sekarang mereka telah berusaha dengan segala sarana dan prasarana yang mereka miliki untuk menyebarkan dakwah mereka di seluruh pelosok dunia dengan perlahan-lahan namun pasti yang pada akhirnya mereka akan menampakkan hakikatnya bila telah mencapai apa yang menjadi tujuan mereka. Oleh sebab itu memahamkan masyarakat Islam tentang bahaya mereka dalam ideologi, politik, ekonomi dan sosial kaum muslimin saat ini merupakan hal yang mendesak, karena besarnya bahaya syiah terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat dan Negara Islam, apalagi di Indonesia yang kebanyakan kaum muslimin belum mengenal siapa mereka dan bagaimana bahaya mereka terhadap kaum muslimin ditambah lagi dengan munculnya nama-nama baru perwujudan dari syiah ini seperti IJABI (Ikatan Jamaah Ahlil Bait Indonesia),[4] yang telah mulai menancapkan kuku-kuku beracunnya ke dalam tubuh kaum muslimin dengan tameng kecintaan ahlil bait. Mudah-mudahan dengan pembahasan ini dapat memberikan peringatan kepada segenap kaum muslimin dan menjadi teguran kepada sebagian kaum muslimin yang mencoba menganggap syiah sebagai kawan dan sahabat,  dan menganggap mereka tidak membahayakan dan merugikan kaum muslimin.

    Bahaya Syiah terhadap Ideologi dan Pemikiran Kaum Muslimin

    Bahaya mereka dalam bidang ini banyak sekali, diantaranya:

    1. Memasukkan kesyirikan kedalam masyarakat Islam bahkan sebagian Ahlil Ilmu menetapkan mereka sebagai orang yang pertama membuat kesyirikan dan penyembahan kubur pada umat Islam.

    Hal ini terjadi lantaran sikap ekstrim mereka dalam mencintai para imam Syiah, sehingga membawa mereka kepada sikap ekstrim terhadap kuburan, dan membuat riwayat-riwayat yang dijadikan oleh mereka sebagai dasar amalan tersebut.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Ar Rodd Alal Akhnaa’iy hal.47 : “Orang pertama yang memalsukan hadits-hadits pembolehan bepergian untuk menziarohi keramat-keramat yang ada diatas kuburan adalah ahlil bidah dari kalangan Rafidhah (Syiah) dan yang sejenisnya dari orang-orang yang meninggalkan masjid dan mengagungkan tempat keramat yang ada padanya kesyirikan, kedustaan dan kebid’ahan terhadap agama Islam yang tidak ada padanya hujjah dari Allah Ta’ala , karena Al kitab dan As Sunnah hanya menyebutkan ibadah di masjid-masjid dan tidak di tempat-tempat keramat.”

    Sekarang tempat-tempat keramat dan tempat-tempat ziaroh syiah menjadi tempat kesyirikan dan paganis, dan ini dapat dilihat di negeri-negeri Syiah seperti Iran demikian juga buku-buku mereka memperbolehkan bahkan menyeru kepada kesyirikan tersebut.

    Syaikh Musa Jaarullah berkata, setelah menziarohi negara Iran dan Irak dan tinggal disana beberapa bulan bahwa dia telah melihat tempat-tempat keramat dan kuburan-kuburan ditempat mereka disembah.

    Syaikh Abul Hasan Annadwiy berkata tentang bangunan keramat di kuburan Ali Ar Ridha dalam makalahnya Min Nahri Kaabul Ila Nahri Al Yarmuuk hal 93 majalah Al I’tishom, tahun (41) edisi ke-3 setelah menziarohi Iran : “Setiap orang asing yang menziarohi keramat Ali Ar Ridho akan merasa seakan-akan di dalam masjid Al Haram, dia mendengar teriakan, tangisan dan desis ratapan, dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan , dihiasi dengan hiasan-hiasan yang megah yang dibuat dengan harta benda yang sangat banyak sekali.”[5]

    Imam Al Aluusiy pengarang kitab At Tuhfah Al Itsba Asyariyah menyatakan, bahwa mereka (kaum syiah) selalu ekstrim menyembah dan menthawaf-i kuburan para imam mereka bahkan sampai shalat menghadapnya tidak menghadap Ka’bah dan masih banyak lagi yang lainnya yang pernah dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap berhala mereka. [6]

    Kemudian beliau berkata:  “Jika ada padamu keraguan tentang hal itu silahkan pergi ke sebagian tempat keramat-keramat mereka agar kamu melihat kenyataan ini dengan kedua matamu.”[7]

    Inilah persaksian mereka yang telah melihat langsung keadaan mereka akan tetapi amat disayangkan musibah dan bencana ini akhirnya terbawa dan masuk kenegeri-negeri Islam dan menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin sehingga merusak aqidah dan ideologi mereka.

    2. Merusak agama Islam dan menyesatkan kaum muslimin

    Demikianlah pemikiran syiah dengan segala keanehan dan kesesatannya terus didakwahkan dan disebarkan dengan segala sarana yang mereka miliki untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang yang akan mengikutinya dan semakin banyak orang yang meninggalkan agama Islam yang shahih dengan segala provokasi para syaikh mereka yang selalu berusaha memperbanyak jumlah pengikut mereka. Provokasi ini didasarkan diatas kedustaan dan penipuan yang mereka pakai dalam menipu pengikut mereka dan orang-orang awam dari kaum muslimin diantaranya adalah slogan tidak ada perbedaan antara Sunni dan Syiah dan pernyataan mereka bahwa keganjilan ajaran syiah sesungguhnya ada dasarnya di dalam riwayat-riwayat ahli sunnah.

    Tidak diragukan lagi dakwah dan penyebaran aqidah Syiah dan provokasi yang berisi ketetapan syiah merupakan bagian dari Islam adalah salah satu sebab penting dalam usaha merusak dan menyesatkan kaum muslimin, apalagi sekarang ada Negara Ayatullah di Iran yang mereka jadikan sarana untuk menghadapi kemunculan dan kebangkitan Islam karena munculnya Negara yang merusak citra keindahan dan kesempurnaan Islam, dan memberi gambaran yang berlawanan dengan keinginan dan kebangkitan Islam yang sejati akan menghapus dan mengendorkan semangat dan keinginan untuk bangkit mendirikan kekhilafahan yang berdasarkan kepada Al Quran dan As Sunnah.  Di dada para pemuda Islam, hal ini telah dimanfaatkan oleh para penjajah (kolonialis) dan mereka sangat bergembira dan memperhatikan kemunculan pemikiran dan ajaran-ajaran kebid’ahan melalui orang-orang yang dinamakan Orientalis yang memiliki kedudukan, seperti penasehat bagi kementrian luar negeri mereka dan mereka tidak pernah lupa dengan sejarah mereka terhadap kaum muslimin.

    Bagaimanapun juga, munculnya Syiah dengan ajaran-ajaran anehnya tanpa diragukan lagi menghambat manusia untuk berjalan dijalan Allah dan menyesatkan kaum muslimin dari agamanya yang lurus.

    3. Penyebab munculnya Golongan Zindiq

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan dasar kesesatan Ismailiyah dan Nusairiyah dan sekte-sekte lainnya dari orang-orang mulhid dan zindiq adalah pembenaran berita dan riwayat dusta Rafidhah Syiah yang mereka paparkan dalam menafsirkan Al Quran dan hadits, beliau berkata: “Para pemimpin Ubaidiyiin (bani Ubaid) hanya menegakkan dasar dakwahnya dengan kedustaan-kedustaan yang dibuat-buat oleh kaum Rafidhah, agar pengikut syiah yang sesat dapat menerimanya. Kemudian orang-orang tersebut berpindah dari mencela para sahabat kepada mencela Ali kemudian mencela Allah, oleh karena itu ajaran Syiah Rafidhah adalah pintu dan jalan yang menghantar kepada kekufuran dan penyimpanga.” [8]

    Bahkan Syaikh Muhibuddib Al khothib mencatat bahwa tasayu’ (ajaran Syiah) menjadi satu faktor pendukung tersebarnya ajaran komunis dan bahaiyah di Iran[9].

    4. Berusaha menyesatkan kaum muslimin dengan merusak sunnah Rasululloh shallalahu ‘alaihi wassalam.

    Ini merupakan usaha yang mereka lakukan untuk menyesatkan kaum muslimin, sehingga mereka masuk ke kalangan ahlil hadits dan setelah itu memasukkan riwayat-riwayat palsu mereka sehingga banyak para ulama Islam yang terkecoh dengannya, akan tetapi Alhamdulillah Allah tidak membiarkan begitu saja bahkan membangkitkan para imam ahlil hadits untuk membongkar makar busuk mereka itu. Syaikh As Suwaidiy berkata : “Sebagian Ulama mereka bergelut dengan ilmu hadits , mendengar hadits-hadits dari para ahli tsiqat dari ahli sunnah serta menghapal sanad-sanad periwayatan ahli sunnah yang shahih, lalu menghiasi diri dengan ketakwaan dan wara’ sehingga mereka diakui termasuk kalangan ahli hadits kemudian mereka meriwayatkan hadits-hadits yang shahih dan hasan dan memasukkan hadits-hadits palsu mereka.[10]

    Al Alusiy menyatakan bahwa diantara mereka itu adalah Jaabir Al Ju’fiy [11], bahkan Ibnul Qayim menjelaskan bahwa Syiah telah memalsukan hadits tentang Ali dan ahlil bait sebanyak lebih dari 3000 hadits.[12]

    Bahaya Syiah terhadap Kaum Muslimin dalam Bidang Politik

    Syiah seperti telah ditandaskan dalam kitab-kitab pokok mereka tidak meyakini keabsahan negera apapun juga di dunia Islam kecuali kekhilafahan Ali bin Abi Thalib dan anaknya Al Hasan dan menganggap khalifah di dunia Islam ini adalah Thaghut dan negaranya tidak sah sebagaimana dalam riwayat-riwayat mereka: “Setiap panji yang ditegakkan sebelum bangkit imam yang ditunggu-tunggu kebangkitannya, maka pelakunya adalah thoghut.

    Oleh Karena itu jadilah syiah tempat yang mapan bagi musuh-musuh Islam dan orang-orang yang berkonspirasi menghancurkan Islam sampai sekarang, dan itu terbukti dengan pengakuan dari mereka seperti duta besar Rusia di Iran Kanyaz Dakurki yang mengambil nama samaran Syaikh Isa sebagaimana dijelaskan oleh majalah yang diterbitkan kementrian rusia tahun 1924-1925, demikian juga Jenderal berkebangsaan Inggris Juaifir Alikhaan dan lain-lainnya.

    Syaikhul Islam menyatakan: “Kebanyakan penganut agama Syiah tidak beriman kepada Islam, akan tetapi menampakkan diri sebagai orang Syiah karena dangkal dan bodohnya akal Syiah untuk mengantarkan mereka kepada tujuan-tujuan kepentingan mereka. (Minhajus Sunnah 2/48)

    Orang yang mengerti sejarah Islam akan berpendapat para pengaku Syiah ternyata adalah musuh yang paling berbahaya yang menyerang negara Islam, karena mereka itu secara lahiriyah adalah muslimin akan tetapi di bathinnya menyimpan kekufuran dan permusuhan yang besar sekali terhadap Islam, sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya asal setiap fitnah dan bencana adalah Syiah, dan orang yang mengikuti mereka dan kebanyakan pedang yang menumpahkan darah kaum muslimin adalah dari mereka dan pada mereka bersembunyi para zindiq.”[13].

    Dan karena mereka menganggap kaum muslimin lebih kufur dari yahudi dan nashrani, sehingga mereka bersama bahu membahu dalam menghancurkan umat Islam , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sungguh kami dan kaum muslimin telah melihat apabila kaum muslimin diserang musuh kafir maka Syiah bersama mereka menghadapi kaum muslimin.”[14]

    Lihatlah kisah masuknya Hulaghu Khan (raja Tartar Mongol) ke negeri Syam tahun 658 H, dimana kaum Syiah menjadi penolong dan pembantu mereka yang paling besar dalam menghancurkan Negara Islam dan menegakkan Negara mereka. Dan ini telah diketahui dengan jelas dalam buku-buku sejarah khususnya di Iraq dimana menteri khalifah waktu itu yang bernama Ibnul Alqaamiy dan kaum Syiah menjadi pembantu Hulaghu Khan dalam menaklukkan Iraq dan menumpahkan darah kaum muslimin yang tidak terhitung jumlahnya. Ringkas kejadiannya Ibnul Alqaamiy adalah seorang menteri pada khalifah bani Abasiyah yang bernama Al Mu’tashim seorang Ahli Sunnah, akan tetapi dia lengah dan tidak memperhatikan bahaya Syiah sehingga mengangkat seorang Syiah sebagai menterinya, padahal menterinya ini telah merencanakan makar busuk dalam rangka menghancurkan negaranya dan kaum muslimin serta menegakkan Negara Syiah, ketika mendapat jabatan tinggi tersebut maka dia memanfaatkannya untuk merealisasikan makarnya menghancurkan Negara Islam dengan melakukan tiga marhalah:

    Pertama: melemahkan tentara muslimin dengan menghapus gaji dan bantuan kepada para tentara dan mengurangi jumlahnya. Ibnu Katsir berkata: “Menteri Ibnul Alqaamiy berusaha keras untuk menyingkirkan para tentara dan menghapus namanya dari dewan kerajaan. Pada akhir masa pemerintahan Al Muntashir,[15] tentara kaum muslimin mendekati jumlah seratus ribu tentar, dan dia terus berusaha menguranginya sehingga tidak tinggal kecuali sepuluh ribu orang tentara saja.[16]

    Kedua : menghubungi Tartar, Ibnu Katsir memaparkan bahwa dia menghubungi Tartar dan memotivasi mereka untuk merebut wilayah Islam serta mempermudah mereka untuk itu lalu dia menceritakan keadaan yang sesungguhnya dan menceritakan kelemahan-kelemahan para tokoh pemimpin Islam.[17]

    Ketiga: melarang orang memerangi Tartar dan menipu khalifah dan masyarakat Islam, Ibnul Alqoomiy melarang orang untuk memerangi Tartar dan menipu khalifah dan para penasehatnya, dengan mengatakan bahwa Tartar tidak ingin perang akan tetapi ingin membuat perjanjian damai dengan mereka dan meminta khalifah untuk menyambut mereka untuk kemudian berdamai dengan memberi separuh hasil pemasukan negeri Iraq untuk tartar dan separuhnya untuk khalifah.  Lalu khalifah berangkat bersama tujuh ratus orang dari para hakim, ahli fiqih, amir-amir dan pembantu-pembantunya… lalu dengan tipu daya ini terbunuhlah khalifah dan orang yang bersamanya dari para panglima tentara dan prajurit pilihannya tanpa susah payah dari Tartar. Sedang orang-orang Syiah lainnya menasehati Hulaghu Khan untuk tidak menerima perdamaian kholifah dengan mengatakanbahwa kalau terjadi perdamaianpun tidak akan bertahan kecuali setahun atau dua tahu saja kemudian kembali seperti sebelumnya dan memotivasi Hulaghu khan untuk membunuh Kholifah, dan dikisahkan yang menyuruh membunuh khalifah adalah Ibnul Alqaamiy dan Nushair Ath Thusiy.[18]

    Kemudian mereka masuk ke negeri Iraq dan membunuh semua orang yang dapat dibunuh dari kalangan laki-laki, perempuan, anak-anak, orang jompo, dan tidak ada yang lolos kecuali ahli dzimmah dari kalangan Nashrani dan Yahudi serta orang-orang yang berlindung kepada mereka dan ke rumah Ibnul Alqaamiy .[19]

    Dalam peristiwa tragis tersebut, terbunuh lebih dari belasan juta orang dan belum ada dalam sejarah Islam bencana seperti bencana yang ditimbulkan orang tartar mongol, mereka membunuhi orang-orang bani Haasyim, menawan para wanita Abasyiyah dan selain Abasyiyah. Lalu apakah ada orang yang berloyalitas kepada ahli bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam lalu memudahkan kaum Kafir untuk membunuh dan menawan mereka dan kaum muslimin?[20]

    Lihatlah dan renungkanlah kejadian besar ini dan ambillah pelajaran wahai Ahli Sunnah dalam melakukan pendekatan terhadap mereka!!!![21]

    Bahaya Syiah dalam Bidang Sosial

    Orang Syiah yang hidup bersama kaum muslimin selalu menyembunyikan hakikatnya dan selalu menggunakan tipu daya, khianat dan berbuat jahat cukuplah pernyataan Syaikh Islam ibnu Taimiyah tentang mereka menjadi saksi akan hal tersebut sejak dahulu kala dan dapat dirasakan di zaman kita ini, berkata Syaikhul Islam: “Adapun Rafidhah (Syiah), mereka tidak berinteraksi sosial dengan orang lain kecuali menggunakan kenifakan karena agama yang ada dihatinya adalah agama yang rusak yang membawanya untuk berdusta, khianat, menipu, dan berbuat jahat terhadap orang sehingga dia melakukan kejahatan apa saja.[22]

    Ini persaksian seorang tokoh Sunni, mungkin ada yang mengatakan: “Itukan hanya tuduhan belaka tanpa bukti. Akan tetapi, jika kita melihat kembali kekitab-kitab rujukan mereka didapatkan pemaparan beliau ini sesuai. Lihatlah dalam kitab Rijal Al Kisysyiy ada kisah seorang Syiah kepada imamnya bagaiman dia membunuh sejumlah orang yang menyelisihinya, ia berkata: “Diantara mereka ada yang saya naik ke atap rumahnya dengan tangga dan saya bunuh, ada yang saya ajak keluar di malam hari, ketika dia keluar pintu langsung saya bunuh, ada yang saya temani dalam perjalannya,lalu ketika bersendirian saya bunuh.[23]

    Syaikh Syiah yang bernama Ni’matullah Al Jazaairiy bercerita tentang menteri Ar Rasyid yang bernama Ali bin Yaqthiin, dia di penjara bersama sejumlah orang yang menyelisihinya (dalam madzhab), lalu dia memerintahkan para budaknya untuk merobohkan atap penjara tempat mereka lalu mereka mati seluruhnya, dan jumlah mereka waktu itu lima ratus orang, kemudian dia ingin mengelak dari tuntutan darah mereka lalu dia mengutus orang ke Imam Maulana Al kaadzim dan sang imam membalas dengan menulis jawabannya: “Seandainya engkau telah memberitahukan saya sebelum membunuh mereka, maka kamu lolos dari tuntutan darah tersebut dan ketika kamu tidak memberitahukan saya terlebih dahulu, maka bayarlah sebagain tebusannya satu kambing untuk setiap orang dan seekor kambing itu lebih baik daripada mereka.”[24]

    Lihatlah bagaimana mereka tinggal ditengah-tengah kaum muslimin, bagaimana imam mereka menyetujui pembunuhan lima ratus orang, hanya sekedar mereka bukanlah orang syiah dan hanya memerintahkan membayar satu kambing per orang lantaran tidak izin dahulu kepada imam mereka dan jika sudah izin kepada imam mereka atau wakilnya yaitu para faaqiih maka bisa berbuat semaunya.

    Kemudian tokoh Syiah ini berkomentar tentang kisah tersebut: “Lihatlah tebusan yang rendah ini yang tidak sampai menyamai tebusan (diyat) adik mereka yaitu anjing buruan karena diyatnya (tebusan) dua puluh dirham dan tidak pula diyat (tebusan) kakak mereka yaitu orang Yahudi atau Majusi karena diyatnya (tebusannya) delapan ratus dirham.”[25]

    Sejarah membuktikan bahwa mereka banyak menyulut fitnah dikalangan kaum muslimin, karena mereka berani mencela dan melecehkan para sahabat dalam setiap pertemuan tahunan mereka, dan kalau kita melihat sejarah terjadinya pertumpahan darah antara Syiah dengan Ahlis Sunnah yang pertama di Baghdad adalah tahun 238 H, kemudian berlanjut fitnah-fitnah yang telah benyak memakan korban dari kalangan kaum muslimin.

    Diantara bahaya Syiah terhadap tatanan social masyarakat Islam adalah pembolehan nikah Mut’ah yaitu kesepakatan rahasia untuk melakukan hubungan suami istri kepada wanita yang telah sepakat dengannya walaupun dari kalangan Pekerja Seks Komersil (PSK) atau wanita yang masih bersuami, lihat pendapatnya Ath Thusiy, ia berkata: “Tidak mengapa bermut’ah dengan wanita fajiroh,26] dan khumainiy juga berfatwa bolehnya bermut’ah dengan pezinah.”[27] Oleh karena itu, mereka mungkin bersepakat untuk sehari, dua hari atau sekali dan dua kali.

    Al Aluusy berkata: “Barangsiapa yang melihat keadaan orang-orang Syiah sekarang dalam masalah Mut’ah tidak butuh dalam menghukum mereka berzina kepada bukti-bukti karena seorang wanita berzina dengan dua puluh laki-laki dalam satu hari satu malam dan mengatakan bahwa dia berbuat mut’ah. Dan buat mereka tersedia lokalisasi-lokalisasi untuk Mut’ah yang berpajangan, disana para wanita dan mereka memiliki mucikari-mucikari yang menghubungkan laki-laki dengan para wanita atau para wanita dengan para laki-laki sehingga mereka memilih yang mereka senangi dan memberikan upahnya dan menarik para wanita tersebut kepada laknat Allah.”[28]

    Bukankah ini semua merupakan bahaya yang sangat besar, ambillah pelajaran wahai Ulil Abshar!

    Bahaya Syiah dalam Bidang Ekonomi

    Demikian pula Syiah memiliki pengaruh jelek dalam bidang ekonomi bagi kaum muslimin, hal ini cukup jelas kalau di pandang dari bahaya mereka dalam bidang-bidnag yang lain, sebab kerusakan politik, ideologi, dan pemikiran serta tatanan sosial amat berpengaruh dalam bidang ekonomi, lihatlah fitnah-fitnah yang mereka timbulkan banyak menghabiskan harta benda, nyawa, dan waktu sehingga memberikan kesempatan yang luas bagi musuh-musuh Islam menghancurkan ekonomi dan budaya kaum muslimin. Apalagi dipandang dari sudut aqidah, mereka yang menganggap harta dan jiwa kaum muslimin yang bertentangan dengan mereka adalah harta yang boleh dirampas dan diambil dengan dakwaan yang dusta, bahwa hal itu adalah hak ahlil bait padahal harta-harta tersebut dipergunakan untuk merealisasikan keinginan-keinginan khusus mereka dan untuk menjalankan makar dan tipu daya mereka dalam menghadapi umat Islam .

    Dr Ali Assaalus berkata: “Dari kenyataan madzhab Ja’fariyah pada saat-saat ini kita dapatkan orang yang ingin berhaji harus menghitung jumlah hartanya semua, kemudian membayar seperlima harga hartanya untuk diserahkan kepada para ahli fiqih, yang berfatwa kewajiban khumus dan yang tidak membayarnya tidak dibolehkan haji dengan demikian para ahli fiqih Syiah tersebut telah menghalalakan pengambilan harta dengan kebatilan.”[29]

    Berkata Syaikhul Islam : “Adapun pendapat Rafidhah bahwa Khumus hasil pendapatan kaum muslimin diambil dari mereka dan dibayarkan kepada orang yang mereka anggap sebagai pengganti imam yang maksum atau kepada yang lainnya, adalah pendapat yang tidak pernah dikatakan oleh seorang sahabatpun, tidak juga Ali, dan yang lainnya serta tidak dikatakan oleh seorang tabiin dan dari kerabat bani Hasyim atau yang lainnya.

    Semua penukilan dari Ali atau Ulama ahlil bait seperti Al Hasan, Al Husein, Ali bin Al Husein, Abu Ja’far Al baaqir, Ja’far bin Muhamad adalah kedustaan karena itu menyelisihi riwayata yang mutawatir dari sejarah Ali bin Abi Thalib, karena beliau memerintah kaum muslimin selama empat tahun dan belum pernah mengambil dari kaum muslimin sedikitpun hartanya, bahkan tidak ada dimasa pemerintahannya pembagian khumus sama sekali. Adapun kaum muslimin tidak diambil khumus hartanya oleh beliau atau orang lain, dan kaum kufarlah yang kapan dirampas dari harta mereka diambil seperlimanya dengan dasar Al Kitab dan As Sunnah, akan tetapi di zaman beliau kaum muslimin tidak melakukan peperangan dengan kaum kufar, disebabkan adanya perselisihan diantara mereka dari fitnah dan perpecahan. Demikian juga telah diketahui secara pasti, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah mengambil khumus harta kaum muslimin dan tidak juga meminta dari seorang muslim pun khumus hartanya.[30]

    Demikianlah, mereka mengambil khumus dalam rangka untuk memenuhi kepentingan dan keinginan ulama-ulama mereka dan inilah selintas tentang bahaya Syiah yang telah menjadi satu kenyataan, dan bukan untuk menjelaskan keseluruhannya dan cukuplah kitab-kitab para ulama Islam telah menjelaskan semuanya dan kita hanya dituntut unruk membaca kembali dan berhati-hati dari mereka dan gerakannya.

    Semoga Allah menjaga kita dari mereka,  dan menunjuki kita ke jalan yang lurus.

    Penulis : Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.


    [1] Lihat Majmu’ Fatawa 13/182

    [2] Ibid 13/177

    [3] Ibid 13/179

    [4] . Nama ini juga dikenal dalam istilah internasional dengan Jam’iyah Ahlil Bait, yang menunjukkan bahwa gerakan ini bersifat internasional dan bukan hanya nasional saja dan sebenarnya mereka tidak pantas dijadikan sebagai jamaah ahlil bait karena mereka telah mencela para Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ahli baitnya beliau, maka berhati-hatilah!!!.

    [5] Lihat lebih detail lagi dalam kitab Ushul Madzhab Syiah Al Itsna Asyarah hal 1071-1072

    [6] Mukhtashor AtTuhfah Al Itsna Asyarah hal.300

    [7] Ibid

    [8] Minhajus Sunnah 4/3

    [9] Lihat dalam AlKhuthuth AlAridhoh hal. 44- 45

    [10] Dinukil oleh penulis Ushul Madzshab Syiah Itsna Asyara dari Naqdhi Aqaaidi Syiah, lihat Ushul Madzhab hal 1194.

    [11] Suyuf AlMusyriqah hal.50

    [12] Lihat kitab Manaarul Muniif. Hal.116

    [13] Minhajus Sunnah 3/243

    [14] Ibid 4/110.

    [15] Kholifah sebelum Al Mu’tashim

    [16] AlBidayah Wan Nihaayah 13/202.

    [17] Ibid

    [18] Lihat kisah lengkapnya di Al Bidayah Wan Nihayah 13/201.

    [19] Al-Bidayah Wan Nihayah 13/201-202.

    [20] Lihat Minhajus Sunnah 3/38.

    [21] Dan masih banyak kisah-kisah lainnya seperti kisah Daulah Shofawiyah dll, yang sangat penjang sekali untuk diceritakan dalam kesempatan yang sempit ini.

    [22] Minhajus Sunnah 3/260.

    [23] Rijal Al Kisyi hal 342-343 (dinukil dari Ushul Madzhab Syiah hal 1232)

    [24] Al Anwaar AnNu’maniyah 2/308

    [25] Ibid

    [26] AnNiyaahah hal.490

    [27] Tahriril Wasilah 2/292

    [28] Dinukil dari Ushul Madzhab Syiah hal. 1235-1236

    [29] Atsar AlImamah fil Fiqih Ja‘fari hal.391

    [30] Minhajus Sunnah 3/154

    sumber : UstadzKholid.com

  • Seputar Mahar Pernikahan

    Penulis: Ummu Asma’ Dewi Anggun Puspita Sari
    Muroja’ah: Ustadz Jamaluddin, Lc

    “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai…”

    Sungguh pernikahan adalah saat yang dinanti-nanti bagi sepasang hati yang saling berjanji untuk mengikatkan cinta dalam balutan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang tidak ingin menikah? Setiap yang mengaku menjadi pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu tidak ingin meninggalkan sunnah beliau yang satu ini. Menikah bagaikan mendulang kebahagiaan yang berlimpah. Ada satu dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika hendak menikah, yaitu mahar atau maskawin.

    Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

    “Berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Qs. An-Nisa’ : 4)

    Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan memberikan mahar kepada wanita yang hendak dinikahi, maka hal tersebut menunjukkan bahwa mahar merupakan syarat sah pernikahan. Pernikahan tanpa mahar berarti pernikahan tersebut tidak sah, meskipun pihak wanita telah ridha untuk tidak mendapatkan mahar. Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar yang sesuai dengan wanita semisal dirinya (’Abdurrahman bin Nashr as-Sa’di dalam Manhajus Salikiin hal. 203).

    Adapun mahar dapat berupa:

    1. Harta (materi) dengan berbagai bentuknya.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

    “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nisa’: 24)

    2. Sesuatu yang dapat diambil upahnya ( jasa).

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

    “Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik’.” (Qs. Al-Qoshosh: 27)

    3. Manfaat yang akan kembali kepada sang wanita, seperti:

    • Memerdekakan dari perbudakan
    • Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Shafiyah binti Huyayin (kemudian menikahinya) dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar.” (Atsar riwayat Imam Bukhari: 4696)
    • Keislaman seseorang
    • Hal tersebut sebagaimana kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhubekata, “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, maka Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan,’Saya telah masuk Islam, jia kamu masuk Islam aku akan menikah denganmu.’ Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya sebagai maharnya.” (HR. An-Nasa’I : 3288)
    • Atau hafalan al-qur’an yang akan diajarkannya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahkan salah seorang sahabat dengan beberapa surat al-qur’an hafalannya (HR. Bukhari dan Muslim)

    Mahar merupakan hak penuh mempelai wanita. Tidak boleh hak tersebut diambil oleh orang tua, keluarga maupun suaminya, kecuali bila wanita tersebut telah merelakannya. Wahai saudariku, mahar memang merupakan hak wanita. Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam. Namun Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)

    Maka hikmah di balik anjuran untuk meringankan mahar adalah mempermudah proses pernikahan. Berapa banyak laki-laki yang mundur teratur akibat adanya permintaan mahar yang tinggi? Bahkan ada sebagian daerah yang mensyaratkan pemberian mahar yang tergolong tinggi. Menghadapi hal semacam ini, hendaknya pihak wanita bersikap bijak. Tidak masalah jika pihak laki-laki memiliki kemampuan untuk membayar mahar tersebut, namun jika ternyata yang datang adalah laki-laki yang memiliki kemampuan materi yang biasa saja, maka tidaklah layak menolaknya hanya karena ketidakmampuannya membayar mahar. Terutama jika yang datang adalah laki-laki yang sudah tidak diragukan lagi keshalihannya.

    Wahai saudariku, untuk apa kita memegang aturan lain jika syari’at dalam agama kita telah memerintahkan sesuatu yang lebih mudah dan mulia? Sesungguhnya sebagian wanita telah berbangga dengan tingginya mahar yang mereka dapatkan, maka janganlah kita mengikuti mereka. Berapa banyak wanita yang terlambat menikah hanya karena maharnya yang terlalu tinggi sehingga laki-laki yang hendak menikahinya harus menunggu selama bertahun-tahun agar dapat memenuhi maharnya. Alangkah kasihannya mereka yang harus menggadaikan hati padahal perkara ini amat mudah penyelesaiannya. Maka, ringankanlah maharmu, wahai saudariku!

    Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud (n. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 dalam al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724) dshahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihihul Jaami’ (no. 3300))

    Bahkan seandainya seseorang tidak memiliki harta sedikit pun untuk dijadikan mahar, maka diperbolehkan membayar mahar dengan mengajarkan al-Qur’an yang telah dihafalnya kepada wanita yang hendak dinikahi.

    Mahar ada beberapa macam yang semuanya diperbolehkan dalam Islam, yaitu 1) mahar yang disebutkan (ditentukan) ketika akad nikah dan 2) mahar yang tidak disebutkan ketika akad nikah. Jika mahar tersebut disebutkan dalam akad nikah, maka wajib bagi suami untuk membayar mahar yang tersebut. Apabila mahar tidak disebutkan dalam akad nikah namun tidak ada kesepakatan untuk menggugurkan mahar, maka wajib bagi suami untuk memberikan mahar semisal mahar kerabat wanita istrinya, seperti ibu atau saudara-saudara perempuannya (mahar mitsl).

    Diperbolehkan bagi laki-laki antara membayar tunai dan atau menghutang mahar dengan persetujuan si wanita, baik keseluruhan maupun sebagian dari mahar tersebut. Jika mahar tersebut adalah mahar yang dihutang baik yang telah disebutkan jenis dan jumlahnya sebelumnya maupun yang tidak, maka harus ada kejelasan waktu penangguhan atau pencicilannya. Tidak diperbolehkan seorang suami ingkar terhadap mahar istrinya, karena hal tersebut merupakan khianat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Syarat yang paling berhak kamu penuhi adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan farji (seorang wanita).” (HR. Bukhari : 2520)

    Jika Suami Istri Berpisah

    Jika Allah mentakdirkan suami meninggal, baik setelah dukhul (berkumpul) ataupun belum, maka sang istri tetap berhak atas mahar secara sempurna, baik dalam mahar yang telah ditentukan sebelumnya maupun dalam mahar mitsl (yang belum ditentukan). Sebagaimana ini dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Demikian juga halnya jika terjadi perpisahan antara suami istri dan telah terjadi dukhul, baik pisah dengan thalaq maupun dengan fasakh. Namun jika thalaq terjadi sebelum dukhul, jika sebelumnya mahar telah ditentukan maka istri berhak setengah dari milik keseluruhannya, dan jika sebelumnya tidak pernah ditentukan maka hak istri atas mahar gugur secara keseluruhan, dan hanya berhak mut’ah (semacam pesangon) dari suami dengan besaran yang disesuaikan dengan tingkat ekonomi suami (lihat Qs. Al-Baqarah: 236-237).

    Demikian juga hak mahar akan gugur secara keseluruhan jika thalaq dan fasakh terjadi atas pengajuan istri, atau fasakh terjadi atas pengajuan suami lantaran cacat istri yang belum pernah ia ketahui sebelumnya misalkan, lalu pengajuan itu dikabulkan oleh hakim. Wahai Saudariku, murahkanlah maharmu, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi pernikahanmu. Akhirnya Saudariku, teriring do’a untukmu: baarakallahulaki wa baraka ‘alaiki wa jama’a bainakumaa fii khair…

    sumber : www.muslimah.or.id

  • Meluruskan kisah shahabat Tsa’labah bin Hathib

    KATA PENGANTAR

    Ibnu Abbas berkata : “Janganlah kalian mencaci maki atau menghina para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah sesaat itu lebih baik dari amal seorang dari kalian selama 40 (empat puluh tahun)”. (Hadits Riwayat Ibnu Batthah dengan sanad yang shahih. Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 469, Takhrij Syaikh Al-Albani).

    Menjunjung tinggi nama baik shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kewajiban syar’i dan merupakan tuntunan agama. Memberikan penghormatan, keridhaan, serta pujian kepada mereka adalah salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

    Tulisan di bawah ini sengaja kami angkat dengan maksud untuk Meluruskan Cerita Tentang Tsa’labah bin Hathib, dimana sebagian dari kaum muslimin sering membawakan riwayat Tsa’labah untuk contoh kebakhilan, tanpa berusaha untuk merujuk atau memeriksa kembali kebenaran dari riwayat tersebut.

    HADITS TSA’LABAH BIN HATHIB

    “Artinya : Celaka engkau wahai Tsa’labah ! Sedikit engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya. Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah ? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku”.

    Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bawardy, Al-Baghawy, Ibnu Qani’, Ibnu Sakan, Ibnu Syahiin, Thabrany, Dailamy dan Al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul (hal. 191-192). Semua meriwayatkan dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah As-Salamy dari Ali bin Yazid dari Al-Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Baahiliy, ia berkata : “Bahwasanya Tsa’labah bin Hathib Al-Anshary datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata : ‘Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar aku dikaruniai harta’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Ia menyebutkan lafadz hadits di atas)”.

    Kemudian ia berkata, demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau memohonkan kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya (zakat/sedekah) kepada yang berhak menerimanya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a : ‘Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah’.

    Kemudian ia mendapatkan seekor kambing. Lalu kambing itu tumbuh beranak sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya. Sesudah itu, ia menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah (desa). Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat Dhuhur dan Ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’ah pun ia tinggalkan.

    Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para shahabat : “Apa yang dilakukan Tsa’labah ?” Mereka menjawab : “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya ….” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya berkata : “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua”. Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya di sana dibacakan surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Serta merta Tsa’labah berkata : “Apakah yang kalian minta dari saya ini pajak atau sebangsa pajak ? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya yang kalian minta ini !.

    Lalu keduanya pulang dan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihat keduanya (pulang tidak membawa hasil), sebelum berbicara, beliau bersabda : “Celaka engkau, wahai Tsa’labah ! Lalu turun ayat :

    “Artinya : Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)”.
    (At-Taubah : 75-76).

    Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mohon agar diterima zakatnya. Beliau langsung menjawab : “Allah telah melarangku menerima zakatmu”. Sampai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikitpun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, Umar, serta Usman-pun tidak mau menerima zakatnya di masa khilafah mereka.

    KETERANGAN :

    Hadits ini sangat Lemah Sekali.

    Dalam sanad hadits ini ada dua rawi yang lemah :

    1. Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik, seorang rawi yang sangat lemah.

    * Imam Al-Bukhari dalam kitabnya berkata : “Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik Al-Alhany Ad-Dimasyqy adalah rawi munkarul hadits”. (Lihat : Adh Dhu’afaa’us Shaghiir No. 255).

    * Imam Nasa’i berkata : “Ia meriwayatkan dari Qasim (bin Abdur Rahman), ia matrukul hadits”. (Lihat : Adh-Dhua’faa wal Matrukiin No. 455).

    * Imam Daruquthny berkata : “Ia seorang matruk (yang ditinggalkan)”.

    * Imam Abu Zur’ah berkata : “Ia bukan orang yang kuat”. (Periksa : Mizanul I’tidal 3:161, Taqribut Tahdzib 2:46, Al-Jarhu wat Ta’dil 6:208, Lisanul Mizan 7 :314).

    2. Mu’aan bin Rifaa’ah As-Salamy, seorang rawi yang lemah.

    * Ibnu Hajar berkata : “Ia rawi lemah dan sering memursalkan hadits”. (Periksa : Taqribut Tahdzib :258).

    * Kata Imam Adz-Dzahabi : “Ia tidak kuat haditsnya”. (Periksa Mizanul I’tidal 4:134).

    Para Ulama yang melemahkan hadits-hadits ini diantaranya ialah :

    * Ibnu Hazm, ia berkata : “Riwayat ini Bathil”. (Al-Muhalla 11:207-208).
    * Al-Iraqy berkata : “Riwayat ini Dha’if”. (Lihat Takhrij Ahadist Ihya Ulumudin 3:272)
    * Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata : “Riwayat tersebut Dha’if dan tidak boleh dijadikan hujjah”. (Lihat : Fathul Bari 3 :266).
    * Ibnu Hamzah menukil perkataan Baihaqi : “Dha’if”. (Lihat Al-Bayan wat Ta’rif 3:66-67).
    * Al-Manawi berkata : “Dha’if” (Lihat : Faidhul Qadir 4:527).

    RIWAYAT YANG BENAR

    Tsa’labah bin Hathib adalah seorang shahabat yang ikut dalam perang Badar sebagaimana disebutkan oleh :

    * Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqaat 3:36.
    * Ibnu Abdil Barr dalam kitab Ad-Durar. halaman 122.
    * Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla 11:208
    * Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam kitab Al-Ishaabah fil Tamyiizis Shahaabah I:198

    Dalam buku At-Tasfiyah wat Tarbiyah wa Atsarihima Fisti’nafil Hayat Al-Islamiyyah (hal. 28-29) oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary disebutkan pembelaan terhadap shahabat Tsa’labah bin Hathib, ia berkata : “Tsa’labah bin Hathib adalah shahabat yang ikut (hadir) dalam perang Badr”.

    Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ahli Badar.

    “Artinya : Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah”.
    (Hadits Riwayat Ahmad 3:396).

    SIKAP KITA

    Sesudah kita mengetahui kelemahan riwayat ini maka tidak halal bagi kita membawakan riwayat Tsa’labah bin Hathib untuk contoh kebakhilan, karena bila kita bawakan riwayat itu berarti :

    1. Kita berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    2. Kita menuduh shahabat ahli Surga dengan tuduhan yang jelek.
    3. Kita berdusta kepada orang yang kita sampaikan cerita tersebut kepadanya.

    Ingat, kita tidak boleh sekali-kali mencela, memaki atau menuduh dengan tuduhan yang jelek kepada para shahabat Rasululluh shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Beliau bersabda :

    “Artinya : Barangsiapa mencela shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia”.
    (Hadits Riwayat Thabrani).

    Wallaahu a’lam bish shawab

    sumber: http://assunnah.or.id/artikel/masalah/27tsalabah.php
    KISAH TSA’LABAH BIN HATHIB AL-ANSHARIY

    Oleh
    Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

    “Sedikit (harta) yang engkau tunaikan (kewajiban) syukurnya labih baik dari banyak (harta) yang engkau tidak sanggup menunaikan (kewajiban syukurnya)”

    SANGAT LEMAH. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Al-Maawardiy dan Ibnu Sakan dan Ibnu Syaahin dan lain-lain sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir di Tafsir-nya (2/374 di dalam menafsirkan ayat 75 & 75 surat At-Taubah) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahabah (juz 1 hal.198) dan Ibnu Abdil Barr di kitabnya Al-Isti’aab (juz 1 hal. 200-201), dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Qashim bin Abdurrahman, dari Abu Umamah (ia berkata) : Bahwa Tsa’labah bin Haathib Al-Anshariy pernah berkata : Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar Ia memberikan rizki kepadaku berupa harta (yang banyak).

    Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedikit (harta) yang engkau tunaikan (kewajiban) syukurnya lebih baik dari banyak (harta) yang engkau tidak sanggup menunaikan (kewajiban syukurnya)”

    Kemudian ia menyebutkan hadits yang panjang tentang do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Tsa’labah agar memperoleh harta yang banyak. Yang pada akhirnya Tsa’labah tidak mau mengelurkan zakat. Kemudian turunlah firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 76. Dan di dalam hadits itu diterangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mati tidak mau menerima zakatnya Tsa’labah. Demikian juga Abu Bakar dan Umar dan dia mati pada zaman pemerintahan Utsman.

    Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahaabah (juz 1 hal. 198) setelah meriwayatkan hadits diatas, “Jika sah hadits di atas, dan saya mengira bahwa hadits di atas tidak sah”.

    Saya berkata ; Sanad hadits ini sangat dla’if, di dalamnya terdapat dua ‘illat (penyakit).

    [1]. Mu’aan bin Rifa’ah As-Salaamiy, seorang rawi yang lemah/dla’if di dalam periwayatan hadits. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya, “Layyinul hadits katsirul irsaal (orang yang lemah haditsnya dan sering memursalkan hadits)”.

    [2]. Ali bin Yazid bin Abi Ziyad Al-Alhaaniy Abu Abdul Malik Ad-Dimasyqiy. Berkata Al-Hafidz di Taqrib-nya, “Dla’if” Berkata Bukhari, “Munkarul hadits”. Berkata An-Nasa’i, “Laisa bi tsiqatin (bukan orang yang tsiqah)”. Berkata Daruquthni, “Matruk”. Dn lain-lain [Mizanul I’tidal Juz 3 hal.161]

    Saya berkata : Ditinjau dari jurusan matannya (isinya) hadits ini pun batil dari beberapa jurusan.

    Pertama : Tsa’labah bin Haathib Al-Anshariy seorang Shahabat yang ikut di dalam perang Badar. Sedangkan orang yang ikut perang Badar telah ditegaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan masuk neraka sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahabah Juz 1 hal. 198 dengan menurunkan sebuah hadits shahih.

    Kedua : Tidak dijumpai dari seorangpun Shahabat yang tamak terhadap dunia, kikir dan tidak mau mengeluarkan zakat sebagaimana riwayat di atas apalagi dari seorang Shahabat yang pernah ikut di dalam perang Badar.

    Ketiga : Hadits dla’if di atas jelas-jelas telah menyalahi sirah (perjalanan) para Shahabat yang mulia yang telah mendapat keridlaan Rabbul Alamin

    Keempat : Sebaliknya, mereka berlomba-lomba menginfakan harta-harta mereka fi sabilillah.

    Kelima : Kebatilan dan kejanggalan hadits diatas akan bertambah jelas apabila kita melihat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘tidak mau’ menerima taubatnya. Padahal Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat sebagaimana firman-Nya di banyak ayat di dalam Al-Qur’an. Demikian juga sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallm yang suci yang menjelaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat hamba-hamba-Nya yang berdosa hatta si kafir dan si musyrik dan munafiq. Mimbaabil aula (lebih utama lagi) dari seorang muslim yang berdosa hatta dosa yang paling besar yaitu syirik kalau dia bertaubat sebelum matinya, niscaya dia dapati bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat.

    sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2314/slash/0