Category: Artikel

  • Berhari raya lebaran sesuai sunnah Nabi

    Berhari raya sesuai sunnah

    Idul Fithri dan Idul Adh-ha adalah pengganti hari raya yang pernah dirayakan oleh masyarakat jahiliyyah dahulu, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Dahulu masyarakat jahiliyyah memiliki dua hari  dalam setiap tahunnya, di mana mereka bersuka-ria di hari itu, maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, Beliau bersabda:

    كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى * (النسائي)

    “Dahulu kamu memiliki dua hari untuk bersuka-ria, dan Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha.”[i] (Shahih, diriwayatkan oleh Nasa’i)

    Dalam berhari raya ada beberapa hal yang perlu kita ketahui:

    Hukum shalat ‘Ied

    Para ulama berselisih tentang hukum shalat Ied, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah mu’akkadah, karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seorang Arab baduwi, “Apakah ada kewajiban lain selain shalat lima waktu?” Beliau menjawab:

    لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ

    “Tidak ada, kecuali jika kamu mau melakukan yang sunat.” (HR. Bukhari-Muslim)

    Ada pula ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat ‘Ied adalah fardhu kifayah.

    Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakannya, bahkan menyuruh para sahabat untuk mendatanginya sampai-sampai menyuruh semua wanita keluar baik yang gadis, yang dipingit maupun yang haidh, anyasaja bagi wanita yang  haidh diperintahkan menyingkir dari tempat shalat (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari). Di samping itu, shalat Jum’at sampai bisa menjadi gugur jika bertepatan dengan hari raya.

    Dari ketiga pendapat ini yang rajih -insya Allah- pendapat yang terakhir, yakni hukumnya fardhu ‘ain, hal itu karena awal-awal pembelajaran (yakni jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang Arab baduwi) tidak bisa dijadikan alasan untuk memalingkan perintah yang datang setelahnya, jika demikian berarti membatasi kewajiban syari’at hanya lima itu saja, wallahu a’lam.

    Waktu pelaksanaan shalat ‘Ied

    Waktu pelaksanaan shalat ‘Ied dimulai dari terbitnya matahari setinggi satu tombak[ii] sampai tergelincirnya matahari, sebaiknya untuk shalat Idul Fitri ditunda (sampai kira-kira setinggi dua tombak) sehingga orang-orang yang belum sempat berzakat bisa berzakat. Sedangkan untuk shalat ‘Idul Adha sebaiknya di awal waktu (ketika matahari setinggi satu tombak) agar orang-orang bisa berqurban lebih pagi.

    Tatacara pelaksanaan shalat ‘Ied

    Shalat ‘Ied lebih utama dilaksanakan di tanah lapang tidak di masjid kecuali jika memang ada ‘udzur seperti hujan[iii], dsb.

    Menurut Imam Nawawi, jika di Makkah, maka di Masjidil Haram lebih utama.

    Dalam shalat ‘Ied tidak ada azan dan iqamat, demikian juga tidak ada ucapan “Ash Shalaatu Jaami’ah”. Jumlah shalat ‘Ied 2 rak’at; pada rak’at pertama bertakbir sebanyak 7 kali[iv] sebelum membaca Al Fatihah, sedangkan pada rak’at kedua bertakbir sebanyak 5 kali selain takbir intiqal (berpindah gerakan), hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fitri dan Adh-ha; pada rak’at pertama tujuh kali takbir dan pada rak’at kedua lima kali takbir. (hadits hasan, HR. Abu Dawud no. 1149).

    Ibnul Qayyim berkata, “Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memulai shalat (‘Ied) sebelum berkhutbah[v]. Beliau shalat sejumlah 2 rak’at, pada rak’at pertama bertakbir sebanyak 7 kali berturut-turut dengan takbiratul iftitah (takbiratul ihram), Beliau diam sebentar antara masing-masing takbir tetapi tidak dihapal dzikr khusus dari Beliau antara masing-masing takbir[vi], namun ada riwayat dari Ibnu Mas’ud bahwa ia -antara masing-masing takbir- memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan oleh Al Khallaal. Ibnu Umar seorang yang sangat kuat ittiba’nya (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir[vii].” (Zaadul Ma’aad 1/343)

    Bacaan dalam Shalat ‘Ied setelah Al Fatihah

    Dianjurkan dalam shalat ‘Ied membaca surat Qaaf pada rak’at pertama dan surat Al Qamar pada rak’at kedua setelah membaca Al Fatihah atau membaca surat Al A’la pada rak’at pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rak’at kedua (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim).

    Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah ‘ied

    Sunnah yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa khutbah ‘Ied itu dilakukan setelah shalat, demikian juga dalam berkhutbah khatib berdiri[viii] menghadap jama’ah tanpa memakai mimbar (berdasarkan riwayat Ibnu Khuzaimah).

    Jika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at

    Jika hari hari raya bertepatan dengan hari jum’at maka kewajiban shalat jum’at menjadi gugur, namun bagi imam sebaiknya mengadakan shalat Jum’at, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

    Pada harimu ini berkumpul dua hari raya, maka barang siapa saja yang mau, ia boleh tidak shalat Jum’at, namun kami melaksanakannya.” (Shahih Ibnu Majah 1083)

    Dan bagi yang tidak shalat Jum’at, wajib menggantinya dengan shalat Zhuhur, ‘Atha’ bin Abi Ribaah mengatakan, “Ibnuz Zubair shalat bersama kami pada pagi hari Ied di hari Jum’at, lalu kami kembali lagi untuk (shalat) Jum’at, namun ia tidak hadir, maka kami pun shalat (Zhuhur) sendiri-sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas masih di Thaa’if, saat datang, maka kami memberitahukan hal tersebut kepadanya, ia pun mengatakan, “(Ibnuz Zubair) telah sesuai dengan Sunnah.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud).

    Masalah yang berkaitan dengan shalat ‘Ied

    – Jika seseorang luput (tertinggal) shalat ‘Ied, maka ia mengerjakan shalat ‘Ied meskipun sendiri, dan bisa melakukannya berjama’ah dengan keluarga.

    Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas berkata, “Anas -radhiyallahu ‘anhu- apabila tertinggal shalat ‘Ied bersama imam, ia mengumpulkan keluarganya lalu shalat bersama mereka seperti shalatnya imam di hari raya.” (Hasan lighairih, HR. Baihaqi)

    – Untuk shalat ‘Idul Adha jika terhalang (tidak dapat melakukan shalat ‘Idul Adha pada hari nahr atau10 Dzulhijjah) maka di hari tasyriq pun bisa (yakni tanggal 11, 12 atau 13 Dzulhijjah) sebagaimana dalam berqurban. Tentunya dilakukan setelah terbit matahari setinggi satu tombak dan berakhir sampai matahari tergelincir. Hal ini, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari tasyriq dengan hari raya.

    – Jika seseorang mengetahui hari ‘Ied ketika matahari sudah tergelincir (sudah tiba waktu Zhuhur), di mana ketika ini waktu shalat ‘Ied sudah habis, maka shalat ‘Ied bisa dilakukan besoknya, hal ini berlaku untuk ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha. Alasannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari  Abu Umair bin Anas.

    – Dalam safar (perjalanan) tidak disyari’atkan mengadakan shalat ‘Ied, karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau melakukan shalat ‘Ied ketika safarnya. Namun jika seseorang berada di negeri orang lain, di mana penduduknya melakukan shalat ‘Ied maka ia harus ikut bersama mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh keluar semua yang ada di rumah baik laki-laki maupun wanita tanpa membeda-bedakan.

    – Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sampai ke tanah lapang untuk shalat ‘Ied, tidak melakukan shalat apa-apa sebelum shalat ‘Ied maupun setelahnya (sebagaimana dalam hadits riwayat tujuh orang ahli hadits), dan jika sampai di rumahnya Beliau shalat dua rak’at (berdasarkan riwayat Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani).

    Namun bila ada ‘udzur seperti hujan, lalu shalat ‘Ied di masjid, maka tetap berlaku shalat tahiyatul masjid –Wallahu a’lam-.

    Adab-adab di hari raya

    Adab-adab apabila kita di hari raya adalah sbb.:

    – Mandi

    ‘Ali radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang mandi yang disyari’atkan, ia menjawab, “Mandi hari Jum’at, mandi hari ‘Arafah, mandi Idul Fithri dan Idul Adhha.” (HR. Baihaqi melalui jalan Syaafi’i dari Zaadzaan)

    – Berhias (tajammul)[ix] dan memakai baju yang bagus.

    Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai burdah berwarna merah pada hari raya.” (Silsilah Ash Shahiihah 1278)

    Ibnu Abid Dunyaa dan Baihaqi meriwayatkan dengan isnad yang shahih bahwa Ibnu Umar memakai baju yang bagus di dua hari raya.” (Fat-hul Bariy 2/51)

    – Jika ‘Idul Fitri dianjurkan makan terlebih dahulu[x] sebelum berangkat menuju lapangan. Sedangkan jika idul Adh-ha dianjurkan makannya setelah shalat Idul Adh-ha.

    Abdullah bin Buraidah meriwayatkan dari bapaknya, bahwa ia berkata:

    كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar (menuju lapangan) pada Idul Fithri sehingga Beliau makan, dan pada Idul Adh-ha tidak makan sampai Beliau melaksanakan shalat.” (Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi)

    – Dianjurkan berangkat menuju tanah lapang dengan berjalan kaki.

    Abu Raafi’ berkata:

    كَانَ يَخْرُجُ إِلىَ الْعِيْدَيْنِ مَاشِيًا وَ يُصَليِّ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَ لاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ يَرْجِعُ مَاشِياً فِي طَرِيْقٍ آخَرَ

    “Beliau keluar menuju ‘Iedain dengan berjalan kaki, shalat tanpa azan dan iqamat, dan pulang berjalan kaki melewati jalan yang lain. “ (Ibnu Majah, Shahihul Jaami’: 4933)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:

    إِذَا أَتَيْتمُ ُالصَّلاَةَ فَأْتُوْهَا وَأَنْتمُ ْتَمْشُوْنَ

    “Apabila kalian pergi untuk shalat, maka datangilah sambil berjalan kaki.” (Muttafaq ‘alaih)

    Imam Syaukani mengatakan, “Hal ini adalah umum untuk setiap shalat yang disyari’atkan berjama’ah seperti shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat ‘Ied, shalat Kusuf (gerhana) dan shalat istisqa’ (meminta turun hujan).”

    – Dianjurkan menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulangnya, berdasarkan hadits di atas dan hadits-hadits yang lain.

    – Dianjurkan bertakbir (dengan dijaharkan[xi]) pada hari raya[xii] di jalan-jalan dan di tanah lapang hingga shalat ditunaikan.

    Lafaz takbirnya dalam hal ini adalah  waasi’ (bisa yang mana saja) di antaranya:

    اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ

    Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, untuk-Nyalah segala puji.” (Ini adalah takbir Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, tidak mengapa ucapan takbirnya 3 kali)[xiii].

    Ditulis oleh Marwan bin Musa. Disebarkan melalui www.arabic.web.id


    [i] Hadits ini menunjukkan bolehnya bersuka-ria, bersenang-senang dan melakukan permainan mubah di hari raya.

    [ii] Jaraknya antara terbit matahari (syuruq) kira-kira ¼ jam.

    [iii] Hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ied di masjid ketika hujan adalah dha’if, dalam isnadnya ada Isa bin Abdul A’laa, ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal).

    [iv] Caranya dengan bertakbiratul ihram, lalu membaca do’a istiftah, kemudian bertakbir sebanyak 6 kali. Namun menurut DR. As Sayyid Al ‘Arabiy bin Kamal bahwa takbir pada rak’at pertama dihitung tujuh kali selain takbiratul ihram, wallahu a’lam.

    [v] Khutbah ‘Ied ini hukumnya sunnah, demikian juga mendengarkannya, oleh karena itu makmum boleh langsung pulang, namun lebih utama tidak pulang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

    “Sesungguhnya kami berkhutbah, barang siapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, maka silahkan duduk dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan pergi.” (Isnadnya shahih, HR. Abu Dawud).

    [vi] Yang rajih menurut DR. As Sayyid Al ‘Arabiy adalah bahwa takbirnya disambung (tanpa di sela-selahi dzikr tertentu). Wallahu a’lam.

    [vii] Syaikh Al Albani berkata, “Tidak disunatkan mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir, karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun jika beralasan dengan riwayat Umar dan anaknya, maka tetap tidak menjadikannya suatu Sunnah…apalagi riwayat Umar dan anaknya itu tidak shahih; dari Umar diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang dha’if, sedangkan dari anaknya (Ibnu Umar) saya belum menemukannya sampai sekarang. Di samping itu, Imam Malik berkata, “Saya tidak mendengar sedikit pun tentang hal itu.” (Tamaamul Minnah/349)

    [viii] Semua riwayat yang menjelaskan bahwa dalam berkhutbah imam duduk di sela-selanya adalah dha’if (lih. Fiqhus Sunnah).

    [ix] Berhiasnya adalah sesuai syari’at, tidak dengan mencukur janggut, memakai kain melewati mata kaki, tidak juga dengan mencukur rambutnya dengan model qaza’ (mencukur sebagian rambut dan meninggalkan bagian yang lain) ini adalah haram. Dan bagi wanita dilarang bertabarruj (bersolek) ketika keluar dari rumah, juga tidak boleh memakai wewangian apalagi sampai melepas jilbab, atau memakai pakaian yang tipis dan tembus pandang.

    [x] Lebih utama makan beberapa kurma dalam jumlah ganjil (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari). Al Haafizh mengatakan, “Hikmah dianjurkan makan kurma adalah karena adanya rasa manis, di mana hal itu memperkuat penglihatan yang sebelumnya dibuat lemah oleh puasa.” Ia melanjutkan, “Dari sinilah mengapa sebagian tabi’in menganjurkan makan yang manis secara mutlak misalnya madu.” (sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Mu’awiyah bin Qurrah, Ibnu Sirin dan lainnya).”

    [xi] Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Ibnu Umar berangkat pada hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha dengan mengeraskan takbirnya, sampai tiba di lapangan, iapun tetap terus bertakbir sampai imam datang.

    Dan untuk wanita cukup dengan mensirr(pelan)kan suaranya ketika takbir.

    [xii] Berdasarkan surat  Al Baqarah: 185 (Wa litukmilul ‘iddata..dst). Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa takbir pada ‘Idul Fitri dimulai dari keluarnya menuju tempat shalat hingga ditunaikan shalat ‘Idul Fithri.

    [xiii] HR. Baihaqi dari Yahya bin Sa’id dari Al Hakam yaitu Ibnu Farwah Abu Bakkaar dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa takbirnya tiga kali dan sanadnya shahih.

    sumber:
    Arabic.web.id

  • Perbedaan Antara Bantahan Terhadap Ahlul Bid’ah dan Bantahan Terhadap Ahlus Sunnah

    Nasihat Syaikh Muhammad Al-Imam: Perbedaan Antara Bantahan Terhadap Ahlul Bida’ dan Bantahan Terhadap Ahlus Sunnah

    بسم الله الرحمن الرحيم

    Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata dalam kitab “Al-Ibanah ‘An Kaifiyah At-ta’amul Ma’ Al-Khilaf Baina Ahli As-Sunnah Wa Al-Jama’ah” halaman 47-49:

    Perbedaan Antara Bantahan Terhadap Ahlul Bida’ dan Bantahan Terhadap Ahlus Sunnah

    Diperbolehkan bagi seorang ulama ahlus sunnah untuk membantah ulama sunnah yang lain jika ada maslahat yang menuntutnya, akan tetapi bantahan terhadapnya berbeda dengan bantahan tehadap ahlul bida’ dan kesesatan.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa” (28/233-234): “Oleh karena itu wajib menjelaskan keadaan orang yang keliru dalam hadits dan riwayat, orang yang keliru dalam pandangan dan fatwa dan orang yang keliru dalam hal zuhud dan ibadah. Jika orang yang keliru itu seorang mujtahid maka kekeliruannya dimapuni dan dia mendapat pahala atas ijtihadnya. Maka menjelaskan ucapan dan amalan yang ditunjukkan oleh al-kitab dan as-sunnah adalah wajib, meskipun kenyataan kitab dan sunnah itu berbeda dengan ucapan dan amalannya. Siapa yang diketahui darinya ijtihad yang diperbolehkan maka tidak boleh dia disebutkan saat mengkritik dalam bentuk mencelanya dan mendosakannya. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengampuni kekeliruannya. Bahkan dia harus dicintai dikarenakan apa yang dia miliki berupa keimanan, ketakwaan, loyalitasnya, kecintaannya dan penunaiannya akan apa yang Allah Ta’ala wajibkan dari hak-hak-Nya berupa pujian dan do’a dan selain itu.”.

    Yang menjadi inti pendalilan adalah ucapan beliau: ”maka tidak boleh dia disebutkan saat mengkritik dalam bentuk mencelanya dan mendosakannya”. Dan juga tidak selayaknya manusia diajak untuk meng-hajr-nya dan menghentikan pelajarannya, ceramahnya, dan menimba ilmu darinya. Dan tidak menghukumi dia itu hizby atau jatuh pada bid’ah selama dia masih di dalam lingkaran sunnah.

    Adapun jika bantahan itu datang dari penuntut ilmu, maka kebanyakannya mereka itu bukanlah orang-orang yang pantas membantah. Oleh karenanya engkau temukan pada bantahan-bantahan mereka adanya sikap melampaui batas, keserampangan dan kezhaliman. Bahkan sebagian mereka berusaha menampakkan bahwa dia adalah orang yang mampu untuk mengkritik ulama. Sampai-sampai sebagian mereka menempuh jalan dengan mencela aqidah seorang ‘alim sunny, padahal belum ada seorangpun dari para ulama yang mendahuluinya dalam hal itu. Lihatlah perlombaan ini yang pada hakekatnya adalah kelancangan terhadap ulama.

    Dan aku mengatakan kepada orang jenis ini: Jika kau terus dalam menuntut ilmu dan bisa mengambil manfaat darinya, akan nampak bagimu pada waktu yang akan datang kesalahanmu ini dan ketergesa-gesaanmu. Maka hati-hati dari sikap tergesa-gesa pada suatu perkara yang padanya harus dihadapi dengan pelan-pelan.

    Perkara-perkara yang bisa membantu untuk berlaku seimbang dan menggapai sikap adil adalah mengetahui perbedaan antara bantahan tehadap ahlus sunnah dan ahlul bid’ah. Berikut ini penyebutan sebagian perbedaan:

    1. Bantahan tehadap ahlul bid’ah dan hizbiyah adalah wajib kifayah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyaah berkata sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa” (28/231-232): “Dan seperti imam-imam bid’ah dari para pemilik ucapan yang menyimpang dari kitab dan sunnah, atau pelaku ibadah yang menyimpang dari kitab dan sunnah, sesungguhnya menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin…. Dimana pembersihan jalan Allah Ta’ala, agama-Nya, manhaj-Nya, syari’at-Nya dan menolak kezhaliman mereka serta permusuhan mereka atas hal itu adalah wajib kifayh berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena Allah Ta’ala menjadikan adanya orang yang menepis gangguan mereka niscaya rusaklah agama ini. Dan niscaya kerusakannya lebih besar dibanding kerusakan pendudukan musuh dari pelaku peperangan. Sesungguhnya mereka jika menduduki tidaklah akan merusak kalbu dan apa yang pada padanya berupa agama kecuali hanya sebagai imbas saja. Adapun mereka, merusak kalbu pada permulaan.”. Berbeda dengan seorang sunny yang keliru maka dia memiliki kesempatan yang luas, beruapa nasehat baginya, atau usaha untuk memperbaiki apa yang nampak darinya berupa kekeliruan akan hak orang lain, jika bagi perbaikan tersebut ada ijin syar’i, jika maslahat menuntut untuk adanya bantahan maka dibantah.
    2. Bantahan terhadap ahlul bid’ah dan hizbiyah tidak perlu disebutkan padanya kebaikan mereka. Karena hikmah dari bantahan ini selain menjelaskan kebenaran dan menampakkan bathilnya suatu kebathilan adalah memperingatkan manusia dari mereka dan menjauhkan dari mereka. Berbeda dengan bantahan terhadap seorang ‘alim dan sunny maka diperingatkan dari kekeliruannya bersamaan tidak memperingatkan manusia atau menjauhkan mereka darinya. Dan dijaga kedudukannya.
    3. Para penyeru bid’ah dan hizbiyah diperingatkan dalam bantahan terhadap mereka dari mengambil ilmu dari mereka, dan dari menghadiri khutbah mereka serta ceramah mereka. Berbeda jika yang dibantah adalah seorang ahlus sunnah maka disebutkan dalam bantahan bahwa dia tidak ikuti dalam kekeliruannya, dan dia adalah tempat yang masih bisa dipercaya dan diterima, maka ilmu ditimba darinya dan dihadiri majelisnya.
    4. Menghajr pera penyeru bid’ah dan hizbiyah berdasarkan maslahat. Berbeda dengan seorang ‘alim dan sunny maka manusia tidak diajak untuk menghajrnya.
    5. Mencerca penyeru kebathilan dan menjelaskan kondisi mereka terhadap umat adalah tuntutan syar’i sesuai dengan kemampuan dan maslahat, dan sesuai dengan kebid’ahan mereka. Berbeda dengan bantahan terhadap sunny maka dilakukan dengan kelembutan dan kasih sayang. Ini adalah asalnya, jika ada tuntutan maslahat untuk keluar dari asal ini maka dilakukan dan diukur dengan kadar yang diperlukan. Dan tidaklah dipahami dari ucapanku bahwa orang yang berbicara tentang ahlul bid’ah dan hizbiyah berbicara dengan zhalim dan melampaui batas, karena hal ini adalah haram pada siapapun. Yang dimaksud dengan mencerca di sini adalah menjelaskan bahaya bid’ah mereka terhadap muslimin dan menjelaskan tentang lancangnya mereka untuk menyebarkannya dan terfitnahnya manusia karenanya.

    Diterjemahkan oleh

    ‘Umar Al-Indunisy

    sumber:
    http://salafyunpad

  • Seputar Tradisi Bermaaf-maafan Sebelum Puasa Ramadhan

    Bermaafan Sebelum Ramadhan

    Kali ini akan kita bahas mengenai sebuah tradisi yang banyak dilestarikan oleh masyarakat, terutama di kalangan aktifis da’wah yang beramal tanpa didasari ilmu, tradisi tersebut adalah tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan. Ya, saya katakan demikian karena tradisi ini pun pertama kali saya kenal dari para aktifis da’wah kampus dahulu, dan ketika itu saya amati banyak masyarakat awam malah tidak tahu tradisi ini. Dengan kata lain, bisa jadi tradisi ini disebarluaskan oleh mereka para aktifis da’wah yang kurang mengilmu apa yang mereka da’wahkan bukan disebarluaskan oleh masyarakat awam. Dan perlu diketahui, bahwa tradisi ini tidak pernah diajarkan oleh Islam.

    Mereka yang melestarikan tradisi ini beralasan dengan hadits yang terjemahannya sebagai berikut:

    Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.

    Do’a Malaikat Jibril itu adalah:
    “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

    1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
    2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
    3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

    Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadits. Setelah dicari, hadits ini pun tidak ada di kitab-kitab hadits. Setelah berusaha mencari-cari lagi, saya menemukan ada orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254). Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:

    عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين  قال الأعظمي : إسناده جيد

    Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.

    Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679).

    Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.

    Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

    من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

    Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)

    Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

    إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

    Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

    Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

    Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

    Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.

    Wallahu’alam.

    Penulis: Yulian Purnama

    sumber: www.muslim.or.id

  • Kupas Tuntas Permasalahan Qadha-Fidyah Wanita Hamil Dan Menyusui

    Permasalahan Qadha-Fidyah Wanita Hamil Dan Menyusui

    Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi1 menjelaskan:

    Sebelumnya sudah kami katakan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh untuk tidak berpuasa, namun apakah mereka meng-qadha?

    Mayoritas ulama salaf dan khalaf rahimahumullah mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha jika mereka tidak berpuasa. Baik karena khawatir terhadap dirinya, terhadap anaknya maupun terhadap keduanya. Dalil dari pendapat ini adalah yang menjadi ashlus syari’ah (hukum asal), bahwa kewajiban puasa itu di-qadha. Kemudian, dalil menetapkan bahwa bagi orang yang mendapat udzur sehingga tidak berpuasa, maka diganti di hari lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

    Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

    Allah Ta’ala mewajibkan orang yang memiliki udzur untuk mengganti puasa di hari lain, maksudnya qadha. Inilah hukum asal yang semestinya menjadi pegangan.

    Sebagian salaf berpendapat bahwa mereka tidak perlu meng-qadha, sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas dan Abdullah Ibnu Umar rahimahumullah. Mereka berdua berpendapat hanya wajib membayar fidyah saja. Pendapat ini bertentangan dengan hukum asal, karena wanita hamil dan menyusui itu termasuk orang yang mendapat udzur. Sedangkan udzur dalam syariat terbagi menjadi 2:
    Pertama, udzur yang permanen yang tidak akan hilang. Misalnya orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan lagi, atau orang tua renta yang tidak mungkin kuat lagi sehingga kuat untuk berpuasa lagi. Pada udzur seperti ini, berlaku hukum asal berupa badal (pengganti) dari puasa, yaitu membayar fidyah.
    Kedua, udzur yang tidak permanen. Maka wajib untuk berpegang pada hukum asal, yaitu meng-qadha. Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas berijtihad bahwa kewajiban qadha telah gugur bagi wanita hamil dan menyusui.

    Sebagian ulama muta-akhirin juga berdalil dengan hadits Anas bin Al Ka’bi, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    إن الله أسقط عن المسافر الصلاة والصوم وعن المرضع والحامل الصوم

    Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban shalat dari musafir, dan menggugurkan kewajiban puasa dari orang hamil dan menyusui

    Para ulama berkata, hadits ini diperselisihkan sanadnya. Sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan dengan adanya syawahid. Sebagian lagi, seperti Ibnu Turkumani, mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib secara sanad maupun matan, karena pada sebagian riwayat terdapat perkataan Anas bin Ka’bi:

    لا أدري أقالهما جميعا أو أحدهما

    Saya tidak yakin apakah Rasulullah mengatakan yang pertama atau yang kedua

    Sehingga diragukan apakah puasa yang gugur itu dari musafir berserta wanita hamil dan menyusui, ataukah khusus hanya musafir saja? Justru hadits ini dapat berbalik menjadi dalil bagi pendapat jumhur. Karena Nabi menjelaskan bahwa Allah menggugurkan shalat dan puasa bagi musafir, maksudnya ‘digugurkan sebagian shalat, bukan semua shalat’. Dan berdasarkan ijma, musafir boleh untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

    فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

    Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

    Hal ini menunjukkan bahwa yang digugurkan dalam hadits bukanlah qadha-nya, dan juga bukan kewajiban melaksanakan puasanya. Jika dengan hadits ini berdalil bahwa wanita hamil dan menyusui itu membayar fidyah saja tanpa qadha, ini adalah pendalilan yang lemah.

    Yang benar adalah pendapat jumhur salaf dan khalaf serta para imam rahimahumullah, dan juga pendapat yang dinukil dari sejumlah imam dari tabi’in dan imam madzhab yang empat, bahwa wanita yang hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha. Bahkan ini juga merupakan pendapat dari sejumlah murid Ibnu ‘Abbas, dan mereka menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam hal ini. Apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat Ibnu Umar2, pendapat sahabat jika mengandung kemungkinan ijtihad, padahal hukum asal dari Qur’an dan Sunnah mengatakan lain, sedangkan berlakunya hukum asal ini dikuatkan dengan pemahaman yang shahih, maka wajib untuk tetap berpegang pada hukum asal, dalam rangka wara’ kepada nash-nash dalil. Lebih lagi, mayoritas ulama salaf dan para imam rahimahumullah tidak mengamalkan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma. Karena dalil telah jelas menunjukkan bahwa orang tidak mampu menunaikan ibadah wajib pada suatu waktu, namun mampu menunaikannya di waktu lain, tidaklah gugur kewajiban untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Maksudnya, tidak gugur secara keseluruhan.

    Hanya gugur ketika ia tidak mampu, namun ganti di kesempatan lain. Hukum asal ini berlaku bagi shalat, puasa dan lainnya yang termasuk ibadah badaniyyah. Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui wajib untuk meng-qadha.

    Kemudian para ulama berbeda pendapat apakah mereka membayar fidyah atau tidak?
    Dalam masalah ini ada 3 pendapat yang masyhur diantara imam madzhab yang empat –rahimahumullah– :

    Pertama, wajib meng-qadha dan membayar fidyah jika khawatir kepada anaknya. Ini pendapat madzhab Asy Syafi’i, madzhab Hambali, pendapat Mujahid rahimahumullah.

    Kedua, mereka meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat sejumlah imam salaf seperti Ibrahim An Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, Imam Muhammad Ibnu Syihab Az Zuhri, Sufyan Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ibrahim bin Khalid bin Yazid Al Kalbi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Abu Hanifah dan murid-muridnya, yaitu hanya wajib meng-qadha saja. Pendapat ini sangat kuat dilihat dari sisi dalil dan kecocokan terhadap hukum asal.

    Adapun Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad menggabungkan hukum asal dengan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar, sehingga mereka berpendapat wajib qadha dan fidyah. Namun dari sisi dalil dan kekuatan pendalilan, tidak ragu lagi bahwa pendapat kedua ini lebih kuat dan lebih mendekari kebenaran, insya Allah Ta’ala

    Imam Ahmad rahimahullah berpendapat demikian kaeran beliau itu sangat wara’(hati-hati). Maka pendapat adanya tambahan fidyah selain qadha, ini pendapat yang wara’. Jika ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, khususnya jika udzur berkaitan dengan orang lain semisal anak yang disusui, selain meng-qadha mereka juga membayar fidyah, ini lebih afdhal.

    Ketiga, pendapat Imam Malik rahimahullah yang merinci: wanita hamil mutlak wajib meng-qadha tanpa fidyah, sedangkan wanita menyusui jika khawatir pada anak yang disusui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah, jika hanya khawatir pada diri sendiri, hanya qadha. Beliau menganggap bahwa udzur yang ada pada wanita hamil dan janinnya itu muttashil (berhubungan), sedangkan udzur pada wanita menyusui dan anak yang disusui itu munfashil (tidak berhubungan). Yang muttashil tidak wajib fidyah, dan yang munfashil wajib fidyah.

    Bagaimanapun, pendapat yang kuat sebagaimana telah kami jelaskan adalah pendapat kedua, wajib qadha tanpa fidyah.

    [Sampai di sini nukilan dari Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar3]

    Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:

    “Wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukumnya orang sakit. Jika mereka mendapat kesulitan dengan berpuasa, mereka boleh untuk tidak berpuasa. Lalu mereka wajib untuk meng-qadha setiap harinya sesuai kemampuan mereka, sebagaimana orang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini yang sangat lemah. Yang benar, mereka wajib meng-qadha sebagaimana musafir dan orang sakit. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

    فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

    Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

    Hal ini juga berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم

    Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan sebagian shalat bagi musafir. Dan menggugurkan puasa dari wanita hamil‘ (HR. Al Khamsah)”

    [Maj’mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi’ah, juz 15, dinukil dari http://binbaz.org.sa/mat/476 ]

    Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah juga berpendapat wajibnya qadha untuk semua keadaan wanita hamil dan menyusui, namun nampaknya beliau berpegang pada pendapat mazhab Hambali yaitu adanya fidyah jika wanita hamil atau menyusui khawatir pada anaknya. Beliau berkata:

    “Dalam setiap keadaan, tetap wajib meng-qadha. Karena Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa kepada setiap muslim. Dan Allah berfirman kepada musafir dan orang sakit:

    فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

    Padahal musafir dan orang sakit boleh tidak puasa karena adanya udzur, namun qadha tidak gugur bagi mereka. Dengan demikian, orang yang mendapat udzur namun dalam keadaan santai itu min bab al aula (lebih layak) untuk tidak gugur qadha-nya.

    Adapun tentang fidyah, ada tiga kondisi:

    Pertama, jika khawatir pada dirinya sendiri, wajib meng-qadha saja, tidak ada tambahan lain.

    Kedua, jika khawatir pada janin atau anak yang di susui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah. Wajib meng-qadha, sudah jelas perkaranya, karena mereka tidak berpuasa. Adapun fidyah, dikarenakan mereka tidak berpuasa dalam rangka kemaslahatan orang lain, sehingga wajib membayar fidyah. Ibnu Abbas –radhiallahu’anhu– menafsirkan ayat :

    وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

    Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)

    Ibnu Abbas berkata:

    كانت رخصة للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام يفطران ويطعمان عن كل يوم مسكيناً، والمرضع والحبلى إذا خافتا على أولادهما أفطرتا وأطعمتا” ، رواه أبو داود

    Ini merupakan keringanan bagi orang tua renta, yang mereka tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Dan juga hamil dan wanita menyusui jika khawatir kepada anaknya, maka mereka juga boleh tidak puasa dan membayar fidyah‘ (HR. Abu Daud)

    Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar

    Ketiga, jika khawatir pada janin yang dikandung -penulis zaadul mustaqni tidak menyebut kondisi ini, mazhab hambali juga masukkan hal ini sebagai maslahah sang ibu- , wajib baginya untuk meng-qadha

    [Dinukil dari Syarhul Mumti’ Syarh Zaadil Mustaqni, 6/223]

    Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.

    عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان

    Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

    Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.

    Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.

    Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.

    عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت

    Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia melahirkan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)

    Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi4 menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).

    Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:

    كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا

    Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

    Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:

    Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri

    Kedua, mungkin Ats Tsauri Ibnu ‘Abbas memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Umar Ibnu ‘Abbas5.

    Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.

    Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah pendapat adanya fidyah bagi yang khawatir kepada anaknya.

    Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui baik khawatir kepada dirinya, atau kepada anaknya, atau kepada keduanya, boleh tidak berpusa dan wajib meng-qadha di hari lain, tanpa fidyah. Namun bagi yang khawatir kepada anaknya, lebih afdhal jika selain qadha juga membayar fidyah. Wallahu’alam.

    [Di susun oleh Yulian Purnama, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan kedua orang tuanya]

    1Beliau adalah pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Universitas Malik Su’ud di Jeddah. Silakan membaca tulisan beliau di web beliau: http://www.shankeety.net

    2Syaikh Muhammad Al Mukhtar berkata: “Bagi yang mengira bahwa yang berpendapat demikian hanya Ibnu ‘Abbas saja, mungkin dia belum menelaah keshahihan sanad dari Ibnu Umar”

    3Diambil dari http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=4563 terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010

    4Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/

    5Penjelasan ini saya nukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010

    sumber: http://kangaswad.wordpress.com/2010/08/05/permasalahan-qadha-fidyah-wanita-hamil-dan-menyusui/

  • Bagaimana hukum menggunakan member card

    HUKUM MEMBER CARD

    Oleh Ustadz Abu Fairuz Ahmad Ridwan, Lc.

    Ketika Ust Firanda datang ke batam beberapa minggu yang lalu,  kita sempat menayakan tentang memberd card yang telah diluncurkan sebagian ikhwan di Singapore atas nama Hang Fm untuk memperjelas duduk perkaranya dalam rangka menjalankan kaedah emas yang dituliskan oleh Imam Bukhari dalam awal babnya (Bab Ilmu dulu sebelum berkata-kata dan beramal).

    Berhubung Bab Muamalat adalah spesialisasi ust Arifin Badri maka ust Firanda langsung menghubungi ust Arifin Badri menanyakan hal ini. maka jawab beliau adalah tidak boleh. kemudian beliau menyebutkan fatwa lajnah daimah dan mengirimkan teks arabnya. kemudian inilah hasil terjemahan yang ana terjemahkan dari Arabnya agar dapat diambil faedahnya.

    pertanyaan:

    kami ingin mengemukakan pertanyaan kepada anda bahwa kami telah mengusulkan untuk membuat proyek sosial(pengumpulan dana) dengan cara pembuatan “kartu sahabat orang-orang cacat” yaitu sejenis card yang terbuat dari plastik dengan nilai tertentu, bagi pemilik card tersebut memiliki keistimewaan untuk mendapatkan discount harga dari para para darmawan dan muhsinin– yang mengharapkan ganjaran dan pahala– para pemilik fasilitas rumah sakit swasta, supermarket-supermarket besar maupun para pemilik restoran, dengan kesepakatan bahwa hasil keuntungan terbesar dari para member card tersebut akan diperuntukkan bagi yayasan sosial saudi untuk pendanaan anak-anak cacat, yang langsung dibawah pantauan yayasan tersebut, adapun sisa dari keuntungan akan diberikan untuk dana operasional seperti  menggaji karyawan, pengiriman surat, ongkos cetak brosur, buat card maupun biaya laminating nya.

    Yayasan menganggap baik pemikiran ini, karena kelak diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengumpulkan dana–dengan izin Allah–untuk membiayai perjalanan kegiatan sosial-sosial semacam ini, sebagai pengemban usaha-usaha kemanusiaan bagi komunitas tertentu dalam masyarakat yaitu para anak-anak penyandang cacat.

    Sebagai bentuk keingintauan panita maupun kami sendiri terhadap pandangan syariat dalam perkara ini, agar seluruh amalan kami sesuai dengan syariat agama kita yang lurus dan suci, maupun sunnah Nabi kita–salllalhu ‘alaihi wasallam–maka kami kemukakan pertanyaan ini  kepada Yang mulia (dewan Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa) dengan harapan semoga kelak kami dapat menjalankan nasehat maupun saran–Yang mulia– insyaallah.

    Jawaban:

    tidak boleh mengeluarkan card seperti ini, tidak pula dibolehkan menjadi memberd nya, karena mengandung gharar(ketidak jelasan) dan pengelabuan untuk mendapatkan harta, dan Nabi–sallallahu ‘alaihi wa sallam– telah melarang jual beli gharar, sebab boleh jadi biaya untuk mengeluarkan card ini melebihi discount yang dijanjikan atau  lebih sedikit darinya, dan telah diketahui sebagaimana realita yang terjadi dilapangan bahwa kebanyakan dicount-discount yang dijanjikan kepada para memberd hanyalah tipuan belaka tidak terbukti kebenarannya. Bahkan boleh jadi ketika anda langsung pergi ke toko-toko anda dapat menawar harga lebih murah ketimbang discount yang dijanjikan para pemilik card tersebut, maka hal ini dapat menjadi sarana memakan harta manusia dengan jalan yang batil, dan Allah swt telah melarang  hal demikian dalam firmannya: janganlah kalian memakana harta diantara kalian dengan jalan yang bathil (Albaqarah: 188).

    Jika kalian inggin berbuat kebaikan dengan orang yang kalian sebutkan, maka hendaklah dengan jalan usaha yang halal , sebab Allah adalah Zat yang baik dan tidak menerima kecuali yang baik, wabillahi at-taufiq wassallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa sahbih.

    Dewan Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa( jilid 14 halaman 11)

    Oleh :
    Abu Fairuz Ahmad Ridwan LC

    sumber:

    http://ustadzridwan.wordpress.com/2010/07/19/hukum-member-card/

  • Bahasa Arab adalah Bahasa Islam

    Bahasa Arab Bahasa Islam

    Kemuliaan Bahasa Arab

    Tahukah engkau saudariku, keutamaan bahasa arab sangatlah banyak. Sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2, yang artinya,

    “Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.”

    Ia berkata, “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat Yusuf)

    Bahasa Penduduk Surga

    Suatu saat terjadi percakapan di antara seorang ustadz dan seorang pria.

    A: Ustadz, katanya bahasa surga itu bahasa arab ya?
    B: Katanya begitu pak… tapi haditsnya dho’if.

    Tahukah engkau saudariku, memang banyak kita dengar perkataan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan di surga. Namun ternyata tidak ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang masalah ini sebagaimana dinyatakan Abu Shuhaib al-Karami yang mentahkiq kitab Mukhtashar Hadi al-Arwah karya Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah. Namun banyak atsar salaf yang menguatkan hal ini (bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab). Wallahu a’lam bi shawab.

    ‘Afwan Jiddan (??)

    Kalimat yang satu ini, rasanya sudah menjadi sebuah perkataan umum yang merebak dimana-mana. Secara kata perkata, memang terlihat benar, karena ‘afwan berarti maafkan aku, sedangkan jiddan artinya sungguh-sungguh/benar-benar.

    Tahukah engkau saudariku, ternyata kalimat ‘afwan jiddan tidak dikenal dalam bahasa arab yang benar. Ini sama seperti seseorang yang belajar bahasa Inggris kemudian mengatakan, “My watch is dead”. Secara kata perkata memang benar, namun secara penggunaan bahasa asalnya, kalimat tersebut bukanlah kalimat yang benar.

    Kata ‘afwan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sebuah permintaan maaf yang sangat. Jika dirinci, kata ‘afwan mempunyai kalimat lengkap Asta’fika yang artinya aku benar-benar minta maaf kepadamu. Nah, berarti maksud orang yang mengatakan ‘afwan jiddan bahwa ia minta maaf dengan sungguh-sungguh sebenarnya sudah diwakilkan dengan kata ‘afwan itu sendiri. Adapun kata dalam bahasa arab lainnya yang berarti maaf adalah aasif. Dan untuk kata ini (aasif) tidak terkandung makna permintaan maaf dengan sungguh-sungguh.

    4 Nama Nabi

    Tahukah engkau saudariku? Ternyata hanya ada 4 Nabi kita (yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah) yang memiliki nama dari bangsa Arab murni, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, Shalih, Syu’aib dan Hud. Adapun nama-nama nabi lainnya merupakan nama ‘ajam (asing). Dan secara kaidah bahasa arab, antara nama asli Arab dan nama asing memberikan konsekuensi yang berbeda, yaitu untuk nama asing dalam penggunaannya tidak boleh diberi tanda tanwin. Masih penasaran? Ayo belajar bahasa arab…

    Musyawarah Akbar (??)

    Kadang aneh terlihat, ketika suatu spanduk dari organisasi Islam kemudian bertuliskan musyawarah akbar. Tahukah engkau saudariku, terdapat kesalahan penerapan kaedah bahasa arab dalam susunan tersebut.

    Kata musyawarah (yang berasal dari bahasa arab) merupakan isim muannats (jenis kata feminin). Sedangkan kata akbar merupakan isim mudzakar (jenis kata maskulin). Dalam kaedah bahasa arab, tidak tepat jika memadankan dua kata (yang dinamakan na’at man’ut) dengan kata yang berlainan jenis. Maka yang benar adalah musyawarah kubro. Karena kata kubro merupakan isim muannats. Bingung? Ayo belajar bahasa arab…

    Abu dan Ummu

    Tahukah engkau saudariku, penggunaan Abu dan Ummu juga dipelajari dalam bahasa arab pada bab ‘Alam (nama). ‘Alam itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah kun-yah. Kun-yah adalah nama yang diawali dengan lafazh Abu dan Ummu, seperti Abu Bakr, Ummu Kultsum dan sebagainya. Biasanya, kata yang digunakan setelah kata Ummu atau Abu adalah nama anak pertama dari sang pemilik nama. Namun, tidak berarti bahwa orang yang belum menikah bahkan anak-anak sekalipun tidak dapat menggunakan nama kun-yah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan nama kun-yah, dalam hadits yang diceritakan oleh Anas radhiallahu ‘anhu,

    “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Umair. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam datang, lalu memanggil: ‘Wahai Abu ‘Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair kecil.’ Sementara anak itu sedang bermain dengannya.” (HR. Bukhari)

    Pentingnya Belajar Bahasa Arab

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)

    Tahukah engkau saudariku, dorongan untuk belajar bahasa arab bukan hanya khusus bagi orang-orang di luar negara Arab. Bahkan para salafush sholeh sangat mendorong manusia (bahkan untuk orang Arab itu sendiri) untuk mempelajari bahasa arab.

    Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqitdha)

    ‘Umar radhiallahu ‘anhu juga mengingatkan para sahabatnya yang bergaul bersama orang asing untuk tidak melalaikan bahasa arab. Ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Adapun setelah itu, pelajarilah Sunnah dan pelajarilah bahasa arab, i’rablah al-Qur’an karena dia (al-Qur’an) dari Arab.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

    Dari Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.” (Mafatihul Arrobiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

    Dari as-Sya’bi, “Ilmu nahwu adalah bagaikan garam pada makanan, yang mana makanan pasti membutuhknanya.” (Hilyah Tholibul ‘Ilmi, dikutip dari majalah Al-Furqon)

    Tertarik belajar arab lebih jauh? Alhamdulillah silakan ikuti terus pelajaran bahasa arab yang ada di www.badar.muslim.or.id

    sumber: http://muslimah.or.id/

  • Sunnah Memberi Salam Kepada Jama’ah Masjid

    masjid
    Memberi Salam Kepada Jama’ah Masjid

    Simaklah bimbingan praktek akhlak mulia dari Asy Syaikh Al Allamah Abdul ‘Aziz Bin Baaz Rahimahullah, yaitu hendaknya seseorang memberi salam kepada jama’ah masjid ketika memasuki masjid, sebelum melakukan shalat. Tidak sebagaimana sebagian kita, dan mungkin juga saya, masuk ke masjid tanpa menghiraukan orang lain langsung menuju ke shaf depan seakan tidak mengenal siapa-siapa dan terkesan angkuh, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua.

    Teks fatwa:
    هل يجوز السلام على الجالسين في المسجد قبل تحية المسجد؟
    Bolehkah memberikan salam kepada orang-orang yang sudah berada di masjid sebelum shalat tahiyyatul masjid?
    نعم، إذا دخل وأتى الصف يقول: السلام عليكم، قبل أن يبدأ بالصلاة، السلام عليكم على الحاضرين ولو كان يصلي والمصلي يرد بالإشارة، يشير بيده كالمصافح، يرد الإشارة كما فعله النبي -صلى الله عليه وسلم-، ثم يكبر بتحية المسجد، يصلي تحية المسجد
    Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah menjawab:

    Ya, boleh. Jika seseorang memasuki masjid, lalu berjalan menuju shaf, hendaknya ia mengucapkan ‘Assalamu’alaikum‘, sebelum ia memulai shalat. Hendaknya ia mengucapkan salam kepada orang-orang yang ada di masjid walau diantara mereka ada yang sedang shalat. Orang yang sedang shalat dapat membalas dengan isyarat, yaitu dengan memberi lambaian tangan seperti bersalaman. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Setelah itu orang tadi baru mengerjakan shalat tahiyyatul masjid.

    terjemahan dari: http://www.binbaz.org.sa/mat/9366

    sumber: http://kangaswad.wordpress.com/2010/07/09/memberi-salam-kepada-jamaah-masjid/

  • Nasehat Ulama Untuk Para Penuntut Ilmu

    Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah sampai kepadaku suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan aku pasti beramal dengannya.”

    Amr bin Qais al-Mala’i rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beramallah dengannya meskipun hanya sekali agar kamu termasuk penganutnya.” Syaikh Abdurrazzaq berkata, “Maksud ucapan beliau; beramallah dengannya meskipun hanya sekali, adalah dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan sedangkan dalam perkara wajib maka tidak cukup mengamalkannya sekali kemudian bisa disebut sebagai penganutnya.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 27)

    Jangan tertipu dengan amalmu!

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia pun menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, meskipun demikian engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)

    Jadilah contoh yang baik!

    Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37). Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kamipun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).

    Bukankah tolabul ilmi amalan yang utama?

    Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata, “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).

    Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami….

    sumber: http://abumushlih.com

  • Inilah dia ‘Kesebelasan’ yang merugi

    ‘Kesebelasan’ Yang Merugi

    Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

    Berikut ini, sebelas karakter yang menjerumuskan manusia ke dalam kerugian. Semoga Allah menyelamatkan kita darinya.

    [1] Memeluk agama selain Islam

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan di akherat kelak dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Hakekat dari ajaran agama Islam adalah; berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepadanya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari segala bentuk syirik dan pelakunya (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 30)

    [2] Murtad dari agama Islam

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh sia-sia amal mereka dan di akherat dia termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. al-Ma’idah: 5). Kemurtadan bisa dibagi menjadi tiga bentuk; [1] Keyakinan, seperti halnya menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas haram dalam agama dan telah dimengerti dengan gamblang oleh setiap orang misalnya menghalalkan zina dan minum khamr. [2] Perbuatan, seperti halnya bersujud kepada makhluk, melempar mushaf al-Qur’an secara sengaja ke dalam comberan, dsb. [3] Ucapan, seperti halnya mengolok-olok adanya surga dan neraka, atau mengatakan bahwa dia tidak puas dengan hukum-hukum syari’at, dsb. (lihat Matn al-Ghayah wa at-Taqrib ta’liq Majid al-Hamawi, hal. 310-311)

    [3] Berbuat syirik

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu; bahwa jika kamu berbuat syirik niscaya akan terhapus seluruh amalmu dan kelak kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Syirik terbagi 2; akbar dan ashghar. Syirik akbar; mengeluarkan dari agama, pelakunya -jika meninggal dan tidak bertaubat- maka kekal di neraka, menghapuskan semua amalan, menyebabkan bolehnya menumpahkan darah dan mengambil hartanya. Syirik ashghar; tidak mengeluarkan dari agama, apabila pelakunya masuk neraka maka tidak kekal, tidak menghapuskan semua amalan namun hanya amalan yang tercampurinya, tidak menyebabkan bolehnya menumpahkan darah atau mengambil hartanya (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)

    [4] Lemah iman dan tidak berpendirian

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebaikan (kesenangan dunia) dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan (musibah) dia berbalik ke belakang (murtad). Dia rugi di dunia dan di akherat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS. al-Hajj: 11). Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah; diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 45). Iman itu bercabang-cabang dan berbeda-beda tingkatannya, ada di antaranya jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada yang jika ditinggalkan menyebabkan dosa besar atau kecil, dan ada pula yang jika ditinggalkan menyebabkan tersia-siakannya pahala (lihat Mujmal Masa’il Iman, hal. 14)

    [5] Tidak beramal salih dan tidak berdakwah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3). Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Adapun baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niatnya.” Ibnu ‘Ajlan berkata, “Amal tidak akan baik kecuali dengan tiga hal; ketakwaan kepada Allah, niat yang baik, dan benar/sesuai tuntunan.” Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Dakwah juga termasuk bagian dari amal ibadah, sehingga harus ikhlas dan sesuai tuntunan (lihat al-Hujaj al-Qawiyyah, hal. 11)

    [6] Mendustakan perjumpaan dengan Allah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh merugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah. Sehingga apabila kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, maka mereka berkata; ‘Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu.’ Sementara mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul itu.” (QS. al-An’aam: 31). Barangsiapa yang mendustakan hari kebangkitan maka dia telah kafir (lihat QS. At-Taghabun: 7).

    [7] Menentang ayat-ayat Allah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(dan) barangsiapa yang ringan timbangan kebaikannya (karena timbangan keburukan/dosanya lebih berat), maka mereka itulah orang yang telah merugikan dirinya sendiri, karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. al-A’raaf: 9)

    [8] Mengangkat setan sebagai pelindung

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menjadikan syaitan sebagai wali/pelindung maka sesungguhnya dia telah menderita kerugian yang sangat nyata.” (QS. an-Nisaa’: 119). Bagaimana musuh justru dijadikan teman? Sementara Allah ta’ala berfirman mengisahkan ucapan Iblis sang pemuka syaithan (yang artinya), “Karena Engkau telah menetapkan aku sesat, pasti aku akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku pasti akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. al-A’raaf: 16-17). Gangguan Iblis ‘dari arah kiri’, menurut penafsiran sebagian ulama dimaknakan dengan kemaksiatan yang diperintahkan dan dianjurkan Iblis yang dihias-hiasi olehnya supaya tampak indah dan menarik (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 137).

    [9] Berbuat kerusakan di bumi

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(orang fasik yaitu) orang-orang yang melenggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu diteguhkan dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. al-Baqarah: 27). Melakukan kemaksiatan adalah bentuk dari berbuat kerusakan di bumi (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 48).

    [10] Merasa aman dari makar Allah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka merasa aman dari makar Allah, tidak ada yang merasa aman dari makar Allah selain orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raaf: 99). Merasa aman dari makar Allah tergolong dosa besar yang sangat besar karena ia bertolak belakang dengan nilai-nilai tauhid. Termasuk bentuk merasa aman dari makar Allah adalah terus bertahan di atas kemaksiatan namun mengangankan ampunan Allah (lihat Fath al-Majid, hal. 346-347)

    [11] Bergabung dengan hizbu syaithan

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah bahwa sesungguhnya hizb syaithan itulah orang-orang yang merugi.” (QS. al-Mujadilah: 19). Termasuk dalam golongan hizb syaithan adalah kaum munafikin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 847)

    http://abumushlih.com/kesebelasan-yang-merugi.html/

  • Wawancara dengan Ummu ‘Abdullah, istri Syaikh Muhammad Shaleh Utsaimin rohimahullah

    tafsir juzz amma syaikh utsaimin

    Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para shahabat yang mulia, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari kiamat.

    Berikut ini adalah hasil wawancara dengan Ummu ‘Abdullah, istri Syaikh kita, Muhammad bin Saleh al-’Utsaimin (rahimahullah). Wawancara itu dilakukan oleh saudari Maha binti Husain Ash-Shammari dan dimuat dalam Majalah “Al-Mutamayyizah”, Riyadh, KSA, Edisi No. 45, Ramadhan 1427H.

    1

    Apakah ada perubahan motivasi Syaikh dalam hal menuntut ilmu, berdakwah, dan beribadah saat beliau masih muda dan setelah tua?
    Jawaban : Saya tidak menemukan penurunan dan pelemahan motivasinya dalam menuntut ilmu, berdakwah, dan beribadah meskipun usianya semakin lanjut. Sebaliknya, dia sibuk meningkatkan jadwalnya, seperti saat beliau sakit tetap bersemangat beribadah, beliau tidak lalai di saat apapun, beliau mengisi setiap detik waktunya dengan mengingat Allah, beribadah kepada Allah, mengajar, dan mengarahkan.

    2

    Apa yang Anda lihat yang menakjubkan dalam hidup Syaikh?
    Jawaban : Hidupnya merupakan contoh yang patut ditiru, terutama kesabarannya dan motivasinya dalam menuntut ilmu serta mengajar dan tidak pelit. Juga, bagi mereka yang tidak dekat dengannya tidak mengetahui keshalihannya.

    3

    Bagaimana Syaikh berinteraksi dengan anak-anaknya dalam kehidupan pribadi mereka?
    Jawaban : Dalam menghadapi anak-anaknya, beliau membaginya dalam dua tahap. Pertama, pada saat mereka masih anak-anak, beliau dekat dengan mereka, merawat mereka, menanamkan beberapa prinsip-prinsip Islam pada diri mereka, mengikuti prestasi pendidikan mereka. Selain itu, ia langsung mengatur, menegur, dan mendorong mereka. Sebagai contoh, terkadang beliau membawa mereka ke masjid untuk melakukan shalat fardhu. Selain itu, beliau menyemangati mereka untuk berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan. Lebih jauh lagi, beliau akan mendorong mereka untuk mengingat beberapa surah pendek dari Al-Qur’an dan memberikan hadiah. Pada saat mereka remaja dan dewasa, beliau menaruh perhatian penuh terhadap pemenuhan kewajiban pada agama dan disiplin jika ada yang lalai. Beliau menggabungkannya dengan pengarahan dan peringanan hukuman. Pada waktu-waktu tertentu, beliau tidak ragu-ragu melakukan sesuatu yang dapat mengubah atau memperbaiki kesalahan mereka. Selain itu, beliau menaruh penuh kepercayaan kepada mereka untuk melakukan hal-hal tertentu sehingga mereka bisa belajar untuk bergantung pada diri mereka sendiri; beliau terus menyemangati mereka pada kebenaran dan memeriksanya serta memberikan penghargaan pada mereka.

    4

    Mengapa Syaikh tidak menggunakan henna pada janggutnya?
    Jawaban : Mungkin beliau tidak punya waktu untuk melakukannya. Saya pikir saya mendengar beliau berkata sesuatu tentang efeknya.

    5

    Apa saja yang dapat memancing kemarahan Syaikh dan bagaimana beliau menghadapi kemarahan Anda?
    Jawaban : Kemarahannya muncul jika hak-hak Allah dilanggar. Mengenai kemarahan saya kepada anak-anak, beliau akan mencoba menenangkan saya pertama kalinya kemudian memberikan peringatan kepada yang salah. Secara umum, beliau seorang yang pendiam dan tidak gampang marah, jikapun marah, maka kemarahannya akan cepat reda, dan ini adalah rahmat dari Allah kepadanya, sesuatu yang saya harap dapat memilikinya.

    6

    Bagaimana cara beliau bangun dari tidurnya? Apakah beliau bergantung pada alarm jam, atau beliau meminta seseorang untuk membangunkannya?
    Jawaban : Beliau bergantung kepada Allah kemudian alarm jam dan kemudian kami. Biasanya beliau bangun sebelum alarm bunyi dan sebelum saya bangun untuk membangunkannya.

    7

    Apakah Syaikh pernah pergi ke luar bersama keluarganya untuk piknik?
    Jawaban : Ya, biasanya sekeluarga pergi piknik di hari Jum’at setelah mengerjakan Shalat Jum’at berjama’ah; kami pergi ke daerah di dekat padang gurun dengan membawa makan siang. Beliau memanfaatkan waktu ini untuk bermain dengan anak-anak seperti balapan dan berteka-teki. Selain itu, beliau membawa senapan kecil dan bermain tembak-tembakan dengan anak-anak.

    8

    Bagaimana dengan puasanya Syaikh sepanjang tahun?
    Jawaban : Syaikh konsisten berpuasa tiga hari dalam sebulan sepanjang hidupnya. Selain itu, beliau melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, dan puasa di hari Ashura.

    9

    Bagaimana cara Syaikh memberikan nama pada anak-anaknya ?
    Jawaban : Beliau memilihkan nama-nama seperti ‘Abdullah dan Abdurrahman1, beliau menyerahkannya selainnya kepada kami. Kami memilih nama dan memberikan kepadanya, beliau akan setuju atau meminta kami untuk mencari yang lain.

    10

    Hal-hal apa yang dapat membuat Syaikh senang?
    Jawaban : Tak diragukan lagi, kebahagiaan Syaikh dikarenakan meningkatnya kekuatan Islam dan umat Islam. Mengenai kebahagiaannya di dalam rumah, diwujudkan dalam pertemuan dengan keluarga dan anak-anak.

    Ana dapat melihat tanda-tanda kesenangan dan kebahagiaan pada dirinya saat bertemu dengan cucunya. Jubahnya beliau buka sehingga cucunya dapat bersembunyi didalamnya kemudian menanyakan tentang mereka beberapa kali sebelum membukanya kembali, hal ini akan dilakukannya beberapa kali. Kemudian, beliau membawa mereka ke perpustakannya dimana beliau biasa menyimpan permen khusus yang mereka sebut sebagai “abooye halawat” (permen ayah saya). Kami pastikan mereka tak akan dapat menemukannya kecuali dengan bantuan beliau. Selain itu, walaupun jadwalnya sangat padat, beliau selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi cucu-cucunya di rumah mereka atau di rumah sakit jika salah seorang dari mereka sakit; ini akan berpengaruh besar pada mereka.

    11

    Syaikh memiliki berapa anak?
    Jawaban : Syaikh memiliki lima putra dan tiga putri.

    12

    Siapa diantara anak-anaknya yang paling ia sayangi?
    Jawaban : Syaikh selalu berbuat adil kepada anak-anaknya di semua urusan, besar dan kecil. Jika beliau menemukan apapun perbedaan di antara mereka, ia tidak akan pernah menyatakannya secara terbuka karena ini bukanlah sebuah keadilan. Jika beliau hanya terlibat dalam masalah-masalah yang ringan, lalu siapa lagi yang kami harapkan?

    13

    Siapa di antara anak-anaknya yang paling terpengaruh oleh kematiannya?
    Jawaban : Semuanya, dan kenyataannya bahwa saya merasa tidak sendirian dalam hal ini karena ia seorang sosok ayah bagi umat Islam di seluruh dunia, semuanya merasakan kesedihan atas kematiannya.

    14

    Siapa si anak bungsu?
    Jawaban : Yang termuda adalah seorang anak perempuan berusia 21 tahun.

    15

    Apa saja langkah-langkah yang dilakukan Syaikh dalam menuntut ilmu dan apa peran Anda di dalamnya?
    Jawaban : Syaikh mulai mengajar di Masjid Agung di Unayzah setelah wafatnya Syaikh ‘Abd ar-rahman bin Naasir as-Saa’di (rahimahullah) sebelum kami menikah. Pada saat itu, beliau menganggap dirinya sebagai seorang tholabul ‘ilm.

    Mengenai bantuan saya, hal itu diwujudkan dengan tidak mengalihkan perhatiannya dari menuntut dan menyebarkan ilmu. Saya melayaninya dan menyediakan baginya apa saja yang dapat mendukung usahanya itu. Saya juga memperhatikan anak-anak dan mengurus mereka kecuali dalam hal-hal yang membutuhkan perhatiannya sehingga beliau dapat langsung memberikan arahan, peringatan, dan mencari jalan keluar.

    16

    Bagaimana beliau membagi waktu antara dakwah, yang mengambil sebagian besar waktunya, dengan tanggung jawab keluarga dan sosial?
    Jawaban : Beliau mengatur waktunya dengan baik dan memberikan perhatian besar terhadapnya. Sebagai contoh, beliau mendedikasikan waktunya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah, beribadah, dan anak-anak. tanggung jawab sosial, dan menjunjung tinggi ikatan kekerabatan. Jika, pada waktu tertentu beliau tidak dapat langsung berbagi dalam beberapa tanggung jawab, maka beliau akan masih ingin berbagi bahkan melalui telepon.

    17

    Apa yang menjadi kebijakannya mengenai pendidikan dan pengarahan pada anak-anaknya?
    Jawaban : Kebijakannya merupakan pendidikan, beliau tidak memaksa anak-anaknya untuk mencari keahlian khusus tetapi digunakan untuk berkonsultasi dengan mereka tentang keputusan mereka. Sudah jelas terbukti bahwa anak-anaknya lulus dari berbagai jenis perguruan tinggi, ada yang lulusan ilmu syar’i, militer, dan juga pendidikan umum.

    18

    Mempertimbangkan pekerjaan Syaikh dan komitmennya, mau tak mau menyebabkan beliau sering berada jauh dari rumah dan keluarganya. Apa peran Anda dalam hal ini dan bagaimana Anda menutupi ketidakhadirannya?
    Jawaban : Meskipun beliau jauh dari rumah untuk mengajar dan berdakwah di Unayzah atau saat berpergian, beliau akan tetap mengontrol anak-anaknya dengan menggunakan telepon dan memeriksa urusan mereka sekembalinya di rumah. Peran saya bahkan tidak layak disebutkan karena kami selalu merasakan kehadirannya di tengah-tengah kami.Secara umum, saya membuat anak-anak dapat merasakan tanggung jawab ayah mereka yang cukup besar dan karya-karyanya yang banyak. Karena itu, saya akan meminta anak-anak agar bersabar dan beliau akan memberikan gantinya begitu beliau kembali.

    19

    Dapatkan Anda memberitahu kepada kami tentang ibadahnya di rumah?
    Jawaban : Beliau selalu menjaga shalat sunnah rawatib, kecuali dalam keadaan yang tak memungkinkan. Beliau biasa bangun di akhir malam semampunya kemudian shalat witir sebelum fajar muncul, disamping tidak henti muraja’ah dan istighfar.

    20

    Apa saja jadwal hariannya? Misalnya, ketika beliau tidur dan bangun, kapan beliau sarapan pagi, makan siang, dan makan malam?
    Jawaban : Syaikh mengisi sepertiga malam terakhir dengan shalat sebanyak yang Allah anjurkan kemudian shalat witir sebelum adzan fajar. Setelah adzan, beliau selalu shalat sunnah fajar. Selanjutnya, beliau akan membangunkan keluarganya sebelum pergi untuk shalat di masjid. Kemudian kembali ke rumah untuk mengulang hapalan hariannya di halaman beserta beberapa ayat dari al-Quran sampai matahari terbit. Kemudian beliau tidur hingga pukul 08.00. Ini adalah jadwal hariannya di saat beliau tidak mengajar di universitas.

    Setelah bangun lagi, beliau akan sarapan dan kemudian menyelesaikan pekerjaannya dan bacaannya di ruang kerjanya. Beliau menunaikan shalat duhaa sebelum berangkat ke masjid untuk melakukan shalat Dzuhur. Setelah kembali, beliau akan makan siang bersama keluarga sekitar pukul 1:30 siang. Selanjutnya beliau akan menerima telepon sekitar 20 menit sebelum masuk waktu Ashar. Beliau beristirahat selama lima belas menit atau kurang dari itu sebelum pergi ke masjid untuk shalat Ashar dan bertemu dengan orang-orang yang membutuhkannya. Dia akan kembali ke ruang kerjanya setelah mengatasi kebutuhan masyarakat untuk membaca sebelum pergi ke masjid lagi untuk shalat maghrib dan mengisi ceramah hingga waktu shalat Isha. Biasanya beliau pulang setelah itu untuk makan malam yang ringan sebelum masuk ke ruang belajar untuk memberikan ceramah ke luar Kerajaan melalui telelink atau mengadakan pertemuan. Hampir seperti ini jadwal beliau di sebagian besar waktunya meskipun akan berubah di beberapa keadaan seperti bulan Ramadhan, Haji, dan liburan musim panas.

    Juga ada beberapa jadwal mingguan, ini akan terjadi di rumah maupun di luar rumah. Beberapa jadwal mingguan meliputi Rabu malam melakukan pertemuan dengan para hakim, pertemuan dengan para imam untuk menjadwalkan khutbah Jum’at di masjid, pertemuan dengan para staf universitas dan para profesor, dan pertemuan dengan masyarakat hisbah (orang-orang yang memerintahkan kepada kebenaran dan melarang apa-apa yang salah) hingga pukul 11 atau 12 malam kemudian beliau beranjak tidur.

    21

    Bagaimana jadwalnya selama bulan Ramadhan terutama setelah waktu berbuka?
    Jawaban : Syaikh memiliki jadwal yang berbeda selama bulan Ramadhan. Beliau menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid untuk membaca al-Qur’an dan berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, beliau mengundang beberapa orang tholabul ‘ilm dan orang miskin untuk ikut berbuka puasa bersama kami di rumah. Setelah shalat Isya, beliau akan kembali ke rumah untuk makan malam dan memberikan fatwa melalui telepon. Selain itu, orang-orang mengunjungi rumah kami untuk sekedar memberikan salam kepada Syaikh atau meminta fatwa kepada beliau.

    22

    Dimana Syaikh suka menghabiskan waktunya untuk istirahat?
    Jawaban : Pada kenyataannya, Syaikh tidak mengenal istirahat, semua waktunya digunakan. Bahkan saat sedang duduk-duduk bersama kami, terkadang telepon berdering dan beliau akan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menangani panggilan telpon itu. Waktu istirahat beliau hanyalah saat menyebarkan ilmu, memenuhi kebutuhan masyarakat, dan memberikan fatwa.

    23

    Berapa jam waktu tidurnya Syaikh dalam sehari?
    Jawaban : Waktunya tak melebihi 3 – 4 jam. Secara total, tak melebihi 6 jam dalam seharinya.

    24

    Diantara siswanya, siapa yang paling dipujinya, sering disebut namanya, dan beliau senang atas kunjungannya?
    Jawaban : Beliau tidak membeda-bedakan murid-muridnya. Semuanya sudah seperti anak-anaknya, beliau tidak memuji mereka secara khusus melainkan memandang mereka semuanya sama ketika menyambut mereka di rumah. Selain itu, beliau akan berusaha memenuhi acara-acara khusus, rapat, perjalanan, atau membantu mereka jika mereka membutuhkannya.

    25

    Bagaimana keluarga menghadapi keshalehan Syaikh?
    Jawaban : Kami menjadikan beliau sebagai contoh panutan dalam segala hak dan kami memuji keshalehannya, yang membuat kami merasa nyaman karena beliau tidak suka adanya tingkah laku yang tidak baik berada di sekitanya. Beliau adalah orang yang sederhana yang menyukai kemudahan dalam segala hal.

    26

    Apakah beliau menangis saat Syaikh Abdul Aziz bin Baaz wafat?
    Jawaban : Beliau sangat terpengaruh oleh wafatnya Syaikh, orang yang menjadi sumber ilmunya. Semua orang di sekililingnya merasakan besarnya dampak itu secara mendalam. Semoga Allah Ta’ala mengumpulkan kita di dalam Surganya yang penuh keberkahan.

    27

    Apakah beliau pernah berpergian selain untuk tujuan menuntut ilmu?
    Jawaban : Tidak, beliau tidak berpergian kecuali untuk menuntut ilmu. Beliau melakukan perjalanan ke Makkah untuk ‘umrah dimana beliau juga mendedikasikan waktunya untuk ceramah. Selain itu, beliau juga pergi ke Riyadh dan Tha’if untuk menghadiri rapat Komite Agung Cendikiawan dimana beliau juga mengadakan ceramah dan jadwal kuliah.

    28

    Bisakah Anda memberitahu kepada kami tentang kemurahan hati Syaikh kepada orang-orang yang membutuhkannya?
    Jawaban : Kami dibiasakan untuk memahami perhatiannya kepada orang-orang yang membutuhkan, apakah mereka itu jauh maupun dekat. Misalnya, beliau selalu memperhatikan urusan di dalam keluarga dan kaum kerabat yang membutuhkan. Selain itu, beliau juga melakukan hal yang sama kepada tetangganya, membantu mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan, menghibur mereka dari rasa khawatir dan berbagi dengan kebahagiaan mereka.

    29

    Apa yang Anda pelajari dari Syaikh? Apakah Anda juga memperlajari fatwa? Apakah Anda pernah memberikan fatwa?
    Jawaban : Saya belajar dari Syaikh tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan ini, baik dari aspek sosial atau hukum. Mengenai pemberian fatwa, saya tak akan berani melakukan itu. Saya hanya menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang saya terima kemudian saya berikan kepada beliau.

    30

    Sebelum beliau wafat, apakah beliau memberikan pesan-pesan terakhirnya untuk orang yang dikasihinya?
    Jawaban : Syaikh tidak memberikan pesan-pesan khusus sebelum beliau wafat, tapi sepanjang hidupnya, beliau memberikan pengarahan kepada semua orang yang berguna bagi kehidupan mereka dan agamanya.

    31

    Kami ingin mendengar pesan dari Anda untuk para istri penelepon dan para penuntut ilmu.
    Jawaban : Mereka harus mempertahankan suami mereka, secara terbuka dan diam-diam. Selain itu, mereka harus mempersiapkan mereka agar terus dalam situasi dan kondisi yang terbaik untuk dapat berdakwah dan menuntut ilmu. Saya juga mendorong mereka agar tidak mengganggu jadwal suami yang padat dan perjalanan mereka, saat menuntut ilmu, membaca, dan berdakwah. Dengan kehendak Allah, mereka akan mendapatkan pahala.

    32

    Bisakah Anda memberitahu kami tentang cara Syaikh menerima tamu-tamunya?
    Jawaban : Beliau menerima tamu-tamunya dengan sederhana dan terbuka menyambutnya. Beliau memastikan bahwa mereka merasa seperti tamu, dan tiada hari berlalu kecuali memberikan tamu-tamunya makanan, baik makan siang, makan malam atau diantaranya. Kami senang dengan tamu-tamunya dan menghormati mereka.

    33

    Bagaimana dengan jarangnya dan senangnya beliau saat bertemu dengan anak-anaknya atau para tetangga?

    Syaikh bersikap dengan sederhana terhadap anak-anaknya dan para tetangga dan semua orang yang ada di sekelilingnya. Dan salah satu dari hal yang jarang terjadi dan merupakan liburan yang menyenangkan Syaikh gunakan untuk merekam beberapa bacaan pendek dan nasheed2 anak-anaknya dan terkadang di hadapan salah seorang anak tetangga. Kemudian beliau akan mengulang rekaman itu di hadapan orang-orang dalam beberapa pertemuan. Bahkan kami masih terus membuat rekaman tersebut sampai saat ini.

    34

    Apa saran Anda terhadap kerusakan yang tersebar di kerajaan kita?
    Jawaban : Kita memohon kepada Allah agar kita dapat mempertahankan tanah kita dan melimpahkan kita keamanan dan keselamatan. Syaikh sering mengulangi menyebutkan bahwa beliau tidak tahu apakah ada negara di muka bumi ini yang memegang keyakinan yang benar seperti kerajaan kita ini. Demikian pula, beliau mengajak kita untuk menghadapinya dengan bijaksana, memberikan peringatan dengan baik, dan lebih baik berbuat baik dari pada dengan kekerasan.

    35

    Apakah Syaikh ada meminta Anda untuk melakukan sesuatu yang terasa aneh dan membuat Anda merasa ragu-ragu?
    Jawaban : Ini mungkin tidak diketahui sebagian besar orang bahwa saya buta huruf dan tidak menerima sedikitpun pendidikan formal. Ketika saya pertama kali menikah dengan Syaikh, saya benar-benar sibuk melayaninya dan memberikannya kebenaran, lingkungan yang nyaman agar dapat menuntut ilmu dan mengajar. Setelah kami memiliki anak, saya sibuk dengan mereka, mengambil semua waktu saya untuk membesarkan mereka, disamping waktu yang saya habiskan untuk membantu dan mendukung Syaikh dalam menuntut ilmu. Setelah anak-anak besar dan tanggung jawab saya sedikit mereda, saya terkejut karena Syaikh mulai mengajak saya untuk ikut sekolah khusus orang tua. Meskipun awalnya saya ragu, namun akhirnya saya memutuskan untuk bergabung. Selama saya belajar, beliau mengikuti prestasi saya dan tidak membolehkan anak-anak untuk menandatangani laporan akademis saya. Beliau berkata, “Hanya sayalah yang menandatangi semua yang berhubungan dengan laporan akademismu.” Masa-masa belajar adalah periode yang tak terlupakan, manfaatnya tak terhitung nilainya.

    36

    Hadiah apa yang diberikan Syaikh kepada Anda, anak-anaknya, dan orang-orang pada umumnya?
    Jawaban : Sepanjang hidupnya, beliau tak akan menahan apapun dari mereka yang dekat dan mereka yang jauh, dengan segenap kemampuannya. Hadiah terbesarnya untuk kita adalah dakwah dan doa, saya memohon kepada Allah untuk mengabulkan doanya, menerima amalan baiknya, dan memberikan kepada kita kemampuan agar selalu dalam kebenaran setelah kematiannya.

    37

    Apakah ada hal-hal yang indah yang dilakukan Syaikh dengan Anda yang pernah terjadi di masjid?
    Jawaban : Beliau selalu mengatakan kepada kita tentang hal-hal yang dianggap layak untuk disebutkan.

    38

    Kapan Syaikh melakukan perjalanan dakwah dan bagaimana Anda menangani situasi itu?
    Jawaban : Saya mengajak dan mendorongnya sebaik mungkin agar semuanya menjadi mudah baginya dengan cara menyediakan semua kebutuhannya. Pada umumnya, perjalanan itu hanya sedikit, dan biasanya saya ikut serta dalam kebanyakan perjalanan beliau.

    39

    Bisakah Anda memberitahu kami tentang kegunaan internet bagi Syaikh saat pertama kalinya diperkenalkan di kerajaan?
    Jawaban : Beliau termasuk yang paling awal dalam memperoleh manfaat dari layanan ini dan mencoba memanfaatkannya untuk menyebarkan ilmu Islam. Tak ada yang lebih jelas selain pembuatan situs yang semuanya berisi hasil kerjanya. Saat ini situs ditangani oleh organisasi amal yang dibentuk setelah kematiannya.

    40

    Kapan Syaikh membeli mesin penjawab telepon otomatis?
    Jawaban : Dari hal-hal yang tidak diketahui khalayak adalah Syaikh memiliki ketertarikan dengan perkembangan teknologi. Ada beberapa yang beliau gunakan seperti yang sering Anda lihat saat beliau gunakan tapi benda tersebut belum dilepas di pasaran, termasuk arloji elektronik, alat penunjuk arah kiblat, audio perekam, ponsel, dan mesin penjawab telepon otomatis, dan banyak gadget lainnya. Beliau mendapatkan mesin penjawab otomatis begitu mesin itu tersedia di kerajaan ini. Beliau sering menggunakannya, terkadang memogramnya dan merekam pesan sendiri, ketika akan mengadakan perjalanan, beliau akan meninggalkan pesan terperinci tentang cara untuk menghubunginya saat beliau pergi. Beliau merupakan sumber informasi bagi kami semua.

    41

    Apakah Syaikh membeli surat kabar dan bagaimana beliau mengetahui tentang berita lokal dan nasional?
    Jawaban : Kami mendapatkan satu surat kabar sebagai hadiah dan beliau membacanya dikala sempat. Kadang beliau meminta kami untuk menggunting sebuah artkel atau berita sehingga dapat disimpan. Selain itu, beliau mendengar berita dari radio terutama saat sarapan sekitar jam 7 atau 8 pagi ketika beliau sedang ingin mendengarkan salah satu stasiun penyiaran Al-Qur’an dari Riyadh atau BBC. Selain itu, beliau mau mendengarkan analisa yang panjang dari sebuah berita jika hal itu merupakan perkembangan yang penting.

    42

    Apakah ada yang pernah menawarkan pada Syaikh untuk pindah ke Riyadh?
    Jawaban : Sudah beberapa kali beliau diminta untuk pindah ke Riyadh, Madinah, dan Mekah. Bahkan beliau ditugaskan menjadi hakim di Provinsi Timur Al-Ihsaa tapi beliau melihat bahwa tinggal di Unayzah memiliki keuntungan yang besar, sehingga beliau menolak tawaran itu.

    43

    Selama kunjungan Raja Faisal (rahimahullah), Raja Khaled (rahimahullah), Raja Fahd (rahimahullah), dan pangeran lainnya, apa yang ditawarkan Syaikh buat mereka?
    Jawaban : Ketika beliau di rumahnya yang terbuat dari lumpur di Unayzah, beliau dikunjungi oleh Raja Saud (rahimahullah), Raja Khaled (rahimahullah), dan Raja Fahd (rahimahullah), mereka kagum dengan kerendahan hatinya, keshalehannya, kesederhanaannya, dan ibadahnya.

    44

    Apakah ada yang menawarkan untuk memasang instrumen echo pada mikrofon di masjidnya Syaikh?
    Jawaban : Syaikh tidak melihat hal itu.

    45

    Apakah Syaikh menikah dengan wanita lain selain Anda dan berapa banyak istrinya?
    Jawaban : Tidak, Syaikh tidak menikah selain dengan saya. Dia pernah menikahi dua istri sebelum saya; istri pertamanya meninggal dunia dan Allah tidak berkehendak untuk melanjutkan pernikahannya yang kedua.

    46

    Kami butuh pesan dari Anda untuk orang-orang yang memiliki istri lebih dari satu.
    Jawaban : Keadilan. Keadilan. Keadilan.

    47

    Jika seseorang meminta seorang bapak (contohnya Syaikh) untuk menegur saya sebagai seorang gadis, apa yang Anda harapkan darinya?
    Jawaban : Beliau akan menegur Anda seperti beliau menegur anak perempuannya dan semua putri dari umat Islam untuk takut kepada Allah baik secara terbuka maupun diam-diam, untuk berbuat baik kepada orang tua, menjunjung tinggi ikatan kekerabatan, menjaga suami, dan ketakutan kepada Allah dalam membesarkan anak-anak secara Islami berdasarkan kemurahan hati dan kebaikan.

    48

    Apakah Syaikh memberitahu Anda tentang Mujahid di Chechnya dan tempat-tempat laih terutama karena telah sampai pada kami berita tentang mereka dan Fatwa?
    Jawaban : Beliau tertarik mengikuti perkembangan kaum Muslim dimana-mana, di Palestina, Aljazair, Afganistan, dan Chechnya3.

    49

    Bagaimana Syaikh menerima berita tentang penyakitnya dan bagaimana beliau memberitahukannya kepada Anda tentang hal itu?
    Jawaban : Beliau menerima berita itu dengan kesabaran, untuk mengharapkan pahala. Salah seorang anak saya melaporkan kepada saya bahwa setelah mereka menerima berita itu, beliau menyuruh mereka untuk menyimpan berita itu dari saudara-saudara mereka lainnya, saya, dan hanya dia yang akan menyampaikan berita itu. Beliau menyampaikan berita itu secara bertahap. Semoga Allah mengampuninya dan memberinya tempat tinggal yang luas di syurga.

    50

    Kami datang untuk mengetahui bahwa selama sakitnya Syaikh menolak untuk menyebut sakit kankernya sebagai “penyakit jahat” melainkan hanya menyebutnya sebagai berbahaya. Dapat Anda memberitahu kami tentang hal ini dan tentang kesabarannya?
    Jawaban : Hal seperti itu bukan hanya setelah beliau sakit melainkan beliau telah berpendapat seperti itu sejak sebelumnya karena beliau tidak suka menggunakan istilah “jahat” untuk penyakit ini.

    Adapun tentang kesabarannya, ini terlihat dalam penyakitnya dan saya tahu bahwa beliau sangat menderita karena penyakitnya itu. Rasa sakit membangunkannya berkali-kali di malam hari, setiap kali beliau ditanya tentang hal itu, beliau akan memastikan bahwa beliau mengatakan rasa sakit itu hanya sebagai informasi bukan sebagai keluhan karena beliau tahu bahwa pahala bagi mereka yang sabar.

    Segala puji bagi Allah dan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para shahabat yang mulia, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga hari kiamat.

    Catatan Kaki:
    1. Merupakan nama dari dua anaknya.
    2. Syaikh menyebutkan Nasyid Islami agar tidak membingungkan anak-anak kecil tersebut.
    3. Diketahui bahwa Syaikh (rahimahullan) seperti para ulama lain yang dapat dipercaya di zaman kita, al-Albani, bin Baaz, serta Syaikh bin Shalih Al-Fauzan telah mengerahkan upaya yang besar untuk mengarahkan kaum muslim di negara ini dan negara lain atas realitas ini dan kondisi jihad dan memperingatkan mereka dari penyimpangan seperti terlihat dalam fatwa-fatwa yang mereka terbitkan dan saran.
    Sumber: understand-islam.net diterjemahkan oleh Tim Shalihah.com •  Sumber dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.
    sumber:

    www.shalihah.com