Tag: Abu Mushlih Ari Wahyudi

  • Nasehat Ulama Untuk Para Penuntut Ilmu

    Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidaklah sampai kepadaku suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan aku pasti beramal dengannya.”

    Amr bin Qais al-Mala’i rahimahullah berkata, “Apabila sampai kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beramallah dengannya meskipun hanya sekali agar kamu termasuk penganutnya.” Syaikh Abdurrazzaq berkata, “Maksud ucapan beliau; beramallah dengannya meskipun hanya sekali, adalah dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan sedangkan dalam perkara wajib maka tidak cukup mengamalkannya sekali kemudian bisa disebut sebagai penganutnya.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal karya Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr, hal. 27)

    Jangan tertipu dengan amalmu!

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah tatkala Ibrahim membangun pondasi Ka’bah dan juga Isma’il, mereka berdua berdoa; ‘Wahai Rabb kami terimalah amal kami’.” (QS. al-Baqarah: 127). Wuhaib bin al-Ward rahimahullah ketika membaca ayat ini maka ia pun menangis dan berkata, “Wahai kekasih ar-Rahman! Engkau bersusah payah mendirikan pondasi rumah ar-Rahman, meskipun demikian engkau merasa khawatir amalmu tidak diterima!” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 17)

    Jadilah contoh yang baik!

    Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang alim/ahli ilmu apabila tidak mengamalkan ilmunya maka nasehatnya akan luntur dari hati sebagaimana aliran air hujan yang melintasi bongkahan batu.” al-Ma’mun pernah berkata, “Kami lebih membutuhkan nasehat dengan perbuatan daripada nasehat dengan ucapan.” Syaikh Abdurrazzaq menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak yang rajin beribadah di suatu masjid yang dia biasa sholat di sana. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku pun berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37). Alangkah benar perkataan bapak tua tersebut, Ibnu Umar mengatakan, “Dahulu kami -para sahabat- apabila tidak menjumpai seseorang pada jama’ah sholat subuh dan isyak maka kamipun menaruh prasangka buruk kepadanya -jangan-jangan dia munafik, pent-.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dll, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 37).

    Bukankah tolabul ilmi amalan yang utama?

    Abdullah bin al-Mu’taz rahimahullah berkata, “Ilmu seorang munafik itu terletak pada ucapannya, sedangkan ilmunya seorang mukmin terletak pada amalnya.” Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan kau tinggalkan menuntut ilmu dengan alasan beramal, dan jangan kau tinggalkan amal dengan alasan menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).

    Ya Allah, jadikanlah ilmu kami hujjah untuk membela kami, bukan hujjah yang menjatuhkan kami….

    sumber: http://abumushlih.com

  • Inilah dia ‘Kesebelasan’ yang merugi

    ‘Kesebelasan’ Yang Merugi

    Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

    Berikut ini, sebelas karakter yang menjerumuskan manusia ke dalam kerugian. Semoga Allah menyelamatkan kita darinya.

    [1] Memeluk agama selain Islam

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan di akherat kelak dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Hakekat dari ajaran agama Islam adalah; berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, patuh kepadanya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari segala bentuk syirik dan pelakunya (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 30)

    [2] Murtad dari agama Islam

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh sia-sia amal mereka dan di akherat dia termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. al-Ma’idah: 5). Kemurtadan bisa dibagi menjadi tiga bentuk; [1] Keyakinan, seperti halnya menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas haram dalam agama dan telah dimengerti dengan gamblang oleh setiap orang misalnya menghalalkan zina dan minum khamr. [2] Perbuatan, seperti halnya bersujud kepada makhluk, melempar mushaf al-Qur’an secara sengaja ke dalam comberan, dsb. [3] Ucapan, seperti halnya mengolok-olok adanya surga dan neraka, atau mengatakan bahwa dia tidak puas dengan hukum-hukum syari’at, dsb. (lihat Matn al-Ghayah wa at-Taqrib ta’liq Majid al-Hamawi, hal. 310-311)

    [3] Berbuat syirik

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu; bahwa jika kamu berbuat syirik niscaya akan terhapus seluruh amalmu dan kelak kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Syirik terbagi 2; akbar dan ashghar. Syirik akbar; mengeluarkan dari agama, pelakunya -jika meninggal dan tidak bertaubat- maka kekal di neraka, menghapuskan semua amalan, menyebabkan bolehnya menumpahkan darah dan mengambil hartanya. Syirik ashghar; tidak mengeluarkan dari agama, apabila pelakunya masuk neraka maka tidak kekal, tidak menghapuskan semua amalan namun hanya amalan yang tercampurinya, tidak menyebabkan bolehnya menumpahkan darah atau mengambil hartanya (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)

    [4] Lemah iman dan tidak berpendirian

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebaikan (kesenangan dunia) dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan (musibah) dia berbalik ke belakang (murtad). Dia rugi di dunia dan di akherat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS. al-Hajj: 11). Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah; diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, diamalkan dengan anggota badan, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 45). Iman itu bercabang-cabang dan berbeda-beda tingkatannya, ada di antaranya jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran, ada yang jika ditinggalkan menyebabkan dosa besar atau kecil, dan ada pula yang jika ditinggalkan menyebabkan tersia-siakannya pahala (lihat Mujmal Masa’il Iman, hal. 14)

    [5] Tidak beramal salih dan tidak berdakwah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3). Mutharrif bin Abdullah berkata, “Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Adapun baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” Ibnul Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niatnya.” Ibnu ‘Ajlan berkata, “Amal tidak akan baik kecuali dengan tiga hal; ketakwaan kepada Allah, niat yang baik, dan benar/sesuai tuntunan.” Fudhail bin Iyadh berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19). Dakwah juga termasuk bagian dari amal ibadah, sehingga harus ikhlas dan sesuai tuntunan (lihat al-Hujaj al-Qawiyyah, hal. 11)

    [6] Mendustakan perjumpaan dengan Allah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh merugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah. Sehingga apabila kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, maka mereka berkata; ‘Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu.’ Sementara mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul itu.” (QS. al-An’aam: 31). Barangsiapa yang mendustakan hari kebangkitan maka dia telah kafir (lihat QS. At-Taghabun: 7).

    [7] Menentang ayat-ayat Allah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(dan) barangsiapa yang ringan timbangan kebaikannya (karena timbangan keburukan/dosanya lebih berat), maka mereka itulah orang yang telah merugikan dirinya sendiri, karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. al-A’raaf: 9)

    [8] Mengangkat setan sebagai pelindung

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menjadikan syaitan sebagai wali/pelindung maka sesungguhnya dia telah menderita kerugian yang sangat nyata.” (QS. an-Nisaa’: 119). Bagaimana musuh justru dijadikan teman? Sementara Allah ta’ala berfirman mengisahkan ucapan Iblis sang pemuka syaithan (yang artinya), “Karena Engkau telah menetapkan aku sesat, pasti aku akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian aku pasti akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. al-A’raaf: 16-17). Gangguan Iblis ‘dari arah kiri’, menurut penafsiran sebagian ulama dimaknakan dengan kemaksiatan yang diperintahkan dan dianjurkan Iblis yang dihias-hiasi olehnya supaya tampak indah dan menarik (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 137).

    [9] Berbuat kerusakan di bumi

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “(orang fasik yaitu) orang-orang yang melenggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu diteguhkan dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. al-Baqarah: 27). Melakukan kemaksiatan adalah bentuk dari berbuat kerusakan di bumi (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 48).

    [10] Merasa aman dari makar Allah

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka merasa aman dari makar Allah, tidak ada yang merasa aman dari makar Allah selain orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raaf: 99). Merasa aman dari makar Allah tergolong dosa besar yang sangat besar karena ia bertolak belakang dengan nilai-nilai tauhid. Termasuk bentuk merasa aman dari makar Allah adalah terus bertahan di atas kemaksiatan namun mengangankan ampunan Allah (lihat Fath al-Majid, hal. 346-347)

    [11] Bergabung dengan hizbu syaithan

    Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah bahwa sesungguhnya hizb syaithan itulah orang-orang yang merugi.” (QS. al-Mujadilah: 19). Termasuk dalam golongan hizb syaithan adalah kaum munafikin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 847)

    http://abumushlih.com/kesebelasan-yang-merugi.html/

  • Tiada Izzah Kecuali Dengan Tauhid dan Sunnah

    izzah tauhid

    Sesungguhnya izzah atau kemuliaan merupakan perkara yang sangat dirindukan oleh para pejuang Islam yang tulus di berbagai penjuru bumi. Apa pun akan mereka korbankan demi menggapainya, waktu, tenaga, pikiran, harta, bahkan kalau perlu nyawa mereka pun rela untuk mereka pertaruhkan di jalan Allah ta’ala. Sementara kemuliaan tersebut tidak akan bisa digapai kecuali dengan pertolongan dan taufik dari Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah akan mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir, penolong-penolong mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Mereka itulah para penduduk neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 257)

    Kemenangan dan kemuliaan itu tidak akan diraih kecuali dengan mengabdi kepada Allah dengan sepenuh jiwa dan raga, dengan keimanan dan amal salih, dengan rasa cinta dan pegagungan, dengan mewujudkan tauhid yang bersih dan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, sungguh Allah akan menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi ini sebagaimana Allah telah mengangkat orang-orang sebelum mereka menjadi pemimpin, dan sungguh Allah akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhai oleh-Nya untuk mereka dan Allah akan menggantikan bagi mereka keadaan yang penuh rasa takut dengan keamanan. Mereka itu senantiasa beribadah kepada-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun…” (QS. an-Nuur: 55)

    Karena tauhid yang murni merupakan tujuan hidup jin dan manusia di alam dunia. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56).

    Dengan sebab tauhid itulah Allah akan memuliakan hamba-hamba-Nya. Dengan sebab tauhid itulah Allah akan menerima amal-amal mereka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan Rabbnya dalam beribadah kepada-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110).

    Allah akan menolak amalan orang-orang musyrik meskipun mereka telah bersusah payah dan bercapek-capek dalam melakukannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; apabila kamu berbuat syirik niscaya akan musnah semua amalmu dan kamu pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65).

    Karena tauhid adalah hak-Nya yang paling agung. Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak ini maka dia telah melecehkan Rabbul ‘alamin, tidak berterima kasih kepada ar-Rahman ar-Rahim, dan tidak menyimpan rasa takut kepada Maliki Yaumid din. Allah ta’ala berfirman mengisahkan nasehat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai putraku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

    Inilah dakwah seorang anak yang pandai berterima kasih kepada ayahnya. Dengan sebab tauhid itulah akan tercipta kebahagiaan hidup sebuah keluarga. Sebagaimana yang Allah ceritakan mengenai ajakan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada ayahnya (yang artinya), “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak bisa mendengar dan tidak melihat bahkan tidak mencukupi bagi dirimu barang sedikitpun.” (QS. Maryam: 42)

    Demikian pula keamanan, ketentraman dan petunjuk akan diberikan oleh Allah kepada masyarakat yang bertauhid dan mengagungkan Rabbul ‘alamin. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan rasa aman dan diberikan petunjuk.” (QS. al-An’am: 82).

    Padahal, kita juga menyadari bahwa tidak akan berubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. Allah ta’ala telah menegaskan hal ini dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11)

    Oleh sebab itulah, Allah menjadikan dakwah tauhid sebagai misi utama dakwah para nabi dan rasul. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36).

    Tidak ada seorang pun rasul melainkan menjadikan dakwah tauhid ini sebagai seruan yang paling utama kepada masyarakatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul pun melainkan kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, oleh sebab itu maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)

    Maka melecehkan dakwah tauhid dan mengesampingkannya merupakan penghinaan kepada manhaj dakwah para nabi dan rasul yang Allah ta’ala telah menjadikan mereka sebagai teladan bagi para da’i yang ingin mengantarkan umat ini menuju kemuliaannya. Dan yang terdepan di antara mereka -yang telah menghabiskan umurnya untuk mendakwahkan tauhid ini- adalah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang Allah ta’ala berfirman kepada beliau (yang artinya), “Katakanlah; inilah jalanku, aku menyeru -kalian- kepada Allah (yaitu untuk mengabdi kepada-Nya) di atas ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku, dan sama sekali aku bukan termasuk golongan orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

    Dengan memegang teguh Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengantarkan umat ini menuju kejayaan yang didamba-dambakan. Allah ta’ala telah menegaskan dalam firman-Nya (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia pasti akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71)

    Karena menaati rasul merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Sedangkan meninggalkan ketundukan kepada Sunnah beliau merupakan sumber kebinasaan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang yang beriman maka Kami akan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)

    Menyelisihi ketetapan dan ajaran Rasul adalah akar kehinaan dan keterpurukan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang mukmin laki-laki atau perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

    Karena kepasrahan kepada tuntunan dan hukum Rasul merupakan bukti keimanan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu sebagai hakim/pemutus perkara dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hatinya atas apa yang telah kamu putuskan dan mereka senantiasa pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65)

    Orang-orang yang menyimpang dari Sunnah dan hukum rasul akan merasakan pahitnya kekalahan dan kerendahan akibat tindakan bodoh mereka meninggalkan petunjuk dan memilih tenggelam dalam kesesatan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyimpang dari urusan rasul itu, karena mereka itu akan tertimpa fitnah atau mendapatkan azab yang sangat menyakitkan.” (QS. an-Nuur: 63)

    Berpaling dari Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyeret kepada murka Allah dan terhalang dari curahan ampunan-Nya. Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya (yang artinya), “Katakanlah; jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31)

    Lihatlah, para sahabat radhiyallahu’anhum generasi terbaik yang menjadi teladan bagi masyarakat umat Islam di sepanjang jaman. Mereka telah menunjukkan kepada kita pembelaannya terhadap tauhid, kesetiaannya kepada Sunnah serta kebenciannya kepada syirik dan sikap berlepas diri mereka dari segala amalan dan keyakinan bid’ah. Mereka dipuji oleh Allah dan diabadikan dalam Kitab-Nya yang mulia (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti akan ridha kepada-Nya. Allah persiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)

    Mereka -para sahabat- adalah sosok pengibar panji-panji tauhid, singa-singa pembela Sunnah, dan pribadi-pribadi yang sangat mengagungkan syari’ah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk mengikuti jalan mereka agar selamat dari perpecahan dan kehancuran. Maka mengikuti jalan hidup dan manhaj dakwah mereka adalah jalan kemuliaan dan kejayaan, sedangkan menyimpang darinya merupakan sebab kesesatan dan kebinasaan. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, jangan kalian mengada-adakan ajaran baru. Karena kalian telah dicukupkan.” al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib atas kalian untuk mengikuti jejak orang-orang yang terdahulu/para salaf (yaitu para sahabat)…”. Imam Malik rahimahullah berkata, “as-Sunnah merupakan bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal darinya maka akan tenggelam.” Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pokok ajaran Sunnah menurut kami adalah; berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meneladani mereka, dan meninggalkan segala macam bid’ah.” (lihat Kun Salafiyan ‘alal Jaddah, hal. 47)

    Oleh sebab itu siapa pun di antara para da’i Islam yang ingin mengantarkan umat ini menuju kemuliaan, maka tidak ada cara lain bagi mereka selain mendakwahkan tauhid dan sunnah serta memerangi segala bentuk syirik dan bid’ah. Inilah manhaj para sahabat yang berhasil mengantarkan mereka menjadi manusia-manusia yang dimuliakan oleh Allah ta’ala di dunia dan di akherat. Imam Malik rahimahullah mengingatkan, “Tidak akan bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya.” Allahul muwaffiq.

    sumber:  AbuMuslih.com
  • Kenikmatan memandang Wajah-Nya di Syurga

    Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila penduduk surga telah masuk surga.” Nabi berkata, “Maka Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan dari-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?’.” Nabi berkata, “Maka Allah pun menyingkapkan hijab -yang menutupi wajah-Nya-. Dan tidaklah ada kenikmatan yang diberikan kepada mereka yang lebih mereka sukai daripada memandang Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [2/297])

    Hadits yang mulia ini memberikan pelajaran, di antaranya:

    1. Wajib mengimani adanya surga dan kenikmatan yang ada di dalamnya serta mengimani adanya neraka dan kesengsaraan yang ada di dalamnya

    2. Surga adalah negeri yang penuh dengan kenikmatan, sedangkan Neraka adalah negeri yang penuh kesengsaraan

    3. Penetapan bahwa Allah berkata-kata

    4. Kenikmatan paling agung adalah memandang wajah Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketika hari itu wajah-wajah berseri, mereka memandang kepada Rabb mereka.” (QS. al-Qiyamah: 22-23). Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menafsirkan ayat ini, “Yaitu melihat wajah Rabb mereka ‘azza wa jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bagi mereka -penduduk surga- apa saja yang mereka inginkan di dalamnya -di surga- dan di sisi Kami masih ada tambahan -nikmat-.” (QS. Qaaf: 35). ath-Thabari meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik radhiyallahu’anhuma, mereka mengatakan, “Maksudnya -tambahan nikmat- adalah memandang wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Inilah yang dipahami oleh para sahabat, di antaranya: Abu Bakar, Hudzaifah, dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 191). Maka senikmat-nikmat apapun pemandangan di dunia, maka melihat wajah Allah di akherat kelak jauh lebih nikmat di atas segala-galanya, semoga Allah menganugerahkan nikmat itu kepada kita…

    5. Orang-orang beriman akan merasakan kenikmatan memandang wajah Allah di akherat kelak. Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah di akherat adalah hadits-hadits yang mutawatir. Ada sekitar tiga puluh orang sahabat yang meriwayatkan hal ini (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 193-194).

    6. Mengimani adanya hari kebangkitan setelah kematian

    7. Mengimani perkara gaib sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

    8. Mengimani adanya pembalasan amal

    9. Targhib (motivasi) agar orang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tarhib (ancaman) agar orang-orang tidak durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena orang yang taat akan masuk surga, sedangkan orang yang durhaka akan masuk neraka.

    10. Di surga manusia memiliki rasa cinta (mahabbah)

    11. Kenikmatan di surga itu bertingkat-tingkat

    12. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wahyu dari Allah, maka kita wajib membenarkannya dan tidak boleh mendustakan atau meragukannya

    13. Semestinya manusia itu berpikir ke depan, bagaimanakah nasibnya kelak di akherat. Apakah dia ingin termasuk penghuni neraka atau penduduk surga? Sehingga dia akan memanfaatkan waktunya di dunia ini sebaik-baiknya demi menggapai kebahagiaan yang sebenarnya

    14. Kenikmatan dunia ini tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan akherat

    15. Bodoh sekali orang yang menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia yang fana

    oleh Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi