Tag: abdul hakim bin amir abdat

  • Seputar Sunnah Nama Kun-yah

    K U N – Y A H
    Oleh
    Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

    Kun-yah adalah setiap nama yang dimulai baik dalam sebutan panggilan atau tuisan dengan Abu Fulan atau Abu Fulanah bagi laki-laki. Contohnya seperti : Abu Abdillah (dari nama Abdullah), Abu Unaisah (kun-yahnya penulis). Dn Ummu Fulan atau Ummu Fulanah bagi perempuan. Contoh seperti : Ummu Abdillah atau Ummu Unaisah.

    Kun-yah merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Dan kun-yah juga merupakan kemuliaan bagi orang yang dikun-yahkan [1]. Kun-yah merupakan kebiasaan kaum muslimin dan warisan yang turun temurun dari zaman ke zaman sampai mereka meninngalkannya. Demikian seriusnya perhatian ulama terhadap masalah kun-yah sehingga kalau kita membaca kitab-kitab rijalul hadits, kita akan dapati bab kun-yah tersendiri. Bahkan sebagian ulama memerlukan menyusun kitab khusus berbicara tentang masalah kun-yahnya para perawi hadits. Seperti Imam Muslim dengan kitabnya Al-Kuna wal Asma dan Imam Ad-Dulabiy dengan kitabnya Kitabul kuna wal Asma.

    Tentang sunahnya berkun-yah ini sangat luas sekali diantaranya.

    Pertama : Bolehnya seorang itu berkun-yah meskipun dia belum menikah yang dengan sendirinya belum mempunyai anak. Seperti Anas bin Malik dikun-yahkan dengan Abu Hamzah atau Abu Hurairah yang namanya Abdurrahman dikun-yahkan dengan Abu Hurairah padahal keduanya belum menikah.

    Kedua : Atau seorang yang telah menikah akan tetapi belum mempunyai anak atau tidak mempunyai anak sama seperti Aisyah dikun-yahkan dengan Ummu Abdillah. Padahal Aisyah tidak mempunyai anak dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia dikun-yahkan dengan nama kemenakannya yaitu Abdullah bin Zubair anak Asma bin Abi Bakar Ash-Shidiq. [2]

    Ketiga : Bolehnya seorang berkun-yah dengan yang bukan dengan nama anak-anaknya seperti Abu Bakar. Padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Bakar. Dan Umar dikun-yahkan dengan Abu Hafs padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Hafs. Dan lain-lain shahabat banyak sekali.

    Keempat : Boleh memberi kun-yah kepada anak yang masih kecil berdasarkan riwayat shahih dibawah ini.

    “Artinya : Dari Anas, dia berkata : Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil (dikun-yahkan) dengan Abu Umair -dan dia sudah disapih-. Dan beliau apabila datang (yakni ke rumah Anas) berkata, Ya, Aba Umair, apa yang telah diperbuat oleh Nughair?”

    “Berkata Anas, Nughair yang dipakai bermain oleh Abu Umair”.

    Dikeluarkan oleh Bukhari (no. 6129, 6203) di kitab Shahihnya dan dikitabnya Adabul Mufrad (no. 847), Muslim (6/177), Abu Dawud (no. 4969), Tirmidzi (333, 1990) dan Ibnu Majah (no. 3720) dan lain-lain.

    Hadits yang mulia ini memberi fawaa-id yang demikian banyak dengan mengumpulkan seluruh jalannya dan lafadz-lafadznya sampai enam puluh faedah sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath (no. 6203) di antaranya ialah bolehnya memberi kun-yah kepada anak-anak yang masih kecil sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi kun-yah kepada saudara Anas yang masih kecil dengan Abu Umair. [3]

    Kelima : Bolehnya memberi kun-yah kepada seseorang dengan sesuatu yang ada pada orang tersebut. Seperti Ali bin Abi Thalib dikunyah-kan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Abu Turab (yang artinya bapak tanah). Kejadiannya ketika Ali sedang tidur di masjid punggungnya ketutupan tanah, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkannya sambil berkata, Ya, Aba Turab bangunnlah! [4]

    Keenam : Bolehnya seseorang mempunyai lebih dari satu kun-yah seperti Ali, selain dikun-yahkan dengan Abu Turab, dia pun dikun-yahkan dengan Abu Hasan mengambil nama anaknya yang pertama yaitu Hasan.

    Ketujuh : Bolehnya berkun-yah dengan anak laki-laki atau anak perempuan.

    Kedelapan : Bolehnya berkun-yah bukan dengan nama anak tertua, akan tetapi yang telah maklum berkun-yah dengan anak tertua mengambil perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkun-yah dengan anak tertua beliau yaitu Abul Qasim. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hani, Maka (kun-yah)mu adalah Abu Syuraih. Mengambil anak tertua Hani, yaitu Syuraih.

    Kesembilan : Lantaran berkun-yah merupakan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemuliaan atau penghormatan kepada orang yang dikun-yahkan, maka tidak ada kun-yah bagi orang kafir karena tidak ada kemuliaan dan kehormatan bagi mereka kecuali mereka tidak dikenal melainkan dengan kun-yahnya.

    Kesepuluh : Telah berselisih para Ulama tentang hukum berkunyah dengan kun-yah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah terjadi kesepakatan (ijma’) di antara mereka tentang Sunnahnya memberi nama dengan nama beliau yaitu Muhammad atau Ahmad. Barangkali yang lebih mendekati kebenaran -wallahu a’lam- illat (sebab) larangan beliau terbatas dimasa hidup beliau agar tidak terjadi kesamaran di waktu berbicara atau memanggil. Ketika beliau telah wafat maka dengan sendirinya illat tersebut pun hilang. Lebih lanjut bacalah masalah ini di Fat-hul Baari (no. 6187 dan seterusnya)d dan di Tuhfatul Maudud bab 8 fasal 7.

    Perhatian!
    Patutlah seseorang jangan menghilangkan namanya lantaran dia berkun-yah kecuali dia telah masyhur dengan kun-yahnya sehingga namanya tidak dikenal atau hampir-hampir tidak dikenal seperti Abu Hurairah atau Abu Bakar.

    [Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I Th 1423H/2002M]
    _________
    Footnotes
    [1]. Oleh karena itu tidak patut memberi kun-yah kepada orang-orang kafir karena tidak ada kemuliaan bagi mereka kecuali mereka telah masyhur dengan kun-yahnya.
    [2]. Sunan Abi Dawud (no. 4970), Adabul Mufrad (no. 850, 851) oleh Imam Bukhari
    [3]. Syarah Muslim Kitabul Adab oleh Imam An-Nawawi
    [4]. Fat-hul Baari (no. 6204) Adabul Mufrad (852)

    sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2489/slash/0

  • Meluruskan kisah shahabat Tsa’labah bin Hathib

    KATA PENGANTAR

    Ibnu Abbas berkata : “Janganlah kalian mencaci maki atau menghina para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah sesaat itu lebih baik dari amal seorang dari kalian selama 40 (empat puluh tahun)”. (Hadits Riwayat Ibnu Batthah dengan sanad yang shahih. Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 469, Takhrij Syaikh Al-Albani).

    Menjunjung tinggi nama baik shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kewajiban syar’i dan merupakan tuntunan agama. Memberikan penghormatan, keridhaan, serta pujian kepada mereka adalah salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

    Tulisan di bawah ini sengaja kami angkat dengan maksud untuk Meluruskan Cerita Tentang Tsa’labah bin Hathib, dimana sebagian dari kaum muslimin sering membawakan riwayat Tsa’labah untuk contoh kebakhilan, tanpa berusaha untuk merujuk atau memeriksa kembali kebenaran dari riwayat tersebut.

    HADITS TSA’LABAH BIN HATHIB

    “Artinya : Celaka engkau wahai Tsa’labah ! Sedikit engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya. Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah ? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku”.

    Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bawardy, Al-Baghawy, Ibnu Qani’, Ibnu Sakan, Ibnu Syahiin, Thabrany, Dailamy dan Al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul (hal. 191-192). Semua meriwayatkan dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah As-Salamy dari Ali bin Yazid dari Al-Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Baahiliy, ia berkata : “Bahwasanya Tsa’labah bin Hathib Al-Anshary datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata : ‘Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar aku dikaruniai harta’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Ia menyebutkan lafadz hadits di atas)”.

    Kemudian ia berkata, demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau memohonkan kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya (zakat/sedekah) kepada yang berhak menerimanya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a : ‘Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah’.

    Kemudian ia mendapatkan seekor kambing. Lalu kambing itu tumbuh beranak sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya. Sesudah itu, ia menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah (desa). Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat Dhuhur dan Ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’ah pun ia tinggalkan.

    Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para shahabat : “Apa yang dilakukan Tsa’labah ?” Mereka menjawab : “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya ….” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya berkata : “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua”. Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya di sana dibacakan surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Serta merta Tsa’labah berkata : “Apakah yang kalian minta dari saya ini pajak atau sebangsa pajak ? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya yang kalian minta ini !.

    Lalu keduanya pulang dan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihat keduanya (pulang tidak membawa hasil), sebelum berbicara, beliau bersabda : “Celaka engkau, wahai Tsa’labah ! Lalu turun ayat :

    “Artinya : Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)”.
    (At-Taubah : 75-76).

    Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mohon agar diterima zakatnya. Beliau langsung menjawab : “Allah telah melarangku menerima zakatmu”. Sampai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikitpun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, Umar, serta Usman-pun tidak mau menerima zakatnya di masa khilafah mereka.

    KETERANGAN :

    Hadits ini sangat Lemah Sekali.

    Dalam sanad hadits ini ada dua rawi yang lemah :

    1. Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik, seorang rawi yang sangat lemah.

    * Imam Al-Bukhari dalam kitabnya berkata : “Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik Al-Alhany Ad-Dimasyqy adalah rawi munkarul hadits”. (Lihat : Adh Dhu’afaa’us Shaghiir No. 255).

    * Imam Nasa’i berkata : “Ia meriwayatkan dari Qasim (bin Abdur Rahman), ia matrukul hadits”. (Lihat : Adh-Dhua’faa wal Matrukiin No. 455).

    * Imam Daruquthny berkata : “Ia seorang matruk (yang ditinggalkan)”.

    * Imam Abu Zur’ah berkata : “Ia bukan orang yang kuat”. (Periksa : Mizanul I’tidal 3:161, Taqribut Tahdzib 2:46, Al-Jarhu wat Ta’dil 6:208, Lisanul Mizan 7 :314).

    2. Mu’aan bin Rifaa’ah As-Salamy, seorang rawi yang lemah.

    * Ibnu Hajar berkata : “Ia rawi lemah dan sering memursalkan hadits”. (Periksa : Taqribut Tahdzib :258).

    * Kata Imam Adz-Dzahabi : “Ia tidak kuat haditsnya”. (Periksa Mizanul I’tidal 4:134).

    Para Ulama yang melemahkan hadits-hadits ini diantaranya ialah :

    * Ibnu Hazm, ia berkata : “Riwayat ini Bathil”. (Al-Muhalla 11:207-208).
    * Al-Iraqy berkata : “Riwayat ini Dha’if”. (Lihat Takhrij Ahadist Ihya Ulumudin 3:272)
    * Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata : “Riwayat tersebut Dha’if dan tidak boleh dijadikan hujjah”. (Lihat : Fathul Bari 3 :266).
    * Ibnu Hamzah menukil perkataan Baihaqi : “Dha’if”. (Lihat Al-Bayan wat Ta’rif 3:66-67).
    * Al-Manawi berkata : “Dha’if” (Lihat : Faidhul Qadir 4:527).

    RIWAYAT YANG BENAR

    Tsa’labah bin Hathib adalah seorang shahabat yang ikut dalam perang Badar sebagaimana disebutkan oleh :

    * Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqaat 3:36.
    * Ibnu Abdil Barr dalam kitab Ad-Durar. halaman 122.
    * Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla 11:208
    * Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam kitab Al-Ishaabah fil Tamyiizis Shahaabah I:198

    Dalam buku At-Tasfiyah wat Tarbiyah wa Atsarihima Fisti’nafil Hayat Al-Islamiyyah (hal. 28-29) oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary disebutkan pembelaan terhadap shahabat Tsa’labah bin Hathib, ia berkata : “Tsa’labah bin Hathib adalah shahabat yang ikut (hadir) dalam perang Badr”.

    Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ahli Badar.

    “Artinya : Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah”.
    (Hadits Riwayat Ahmad 3:396).

    SIKAP KITA

    Sesudah kita mengetahui kelemahan riwayat ini maka tidak halal bagi kita membawakan riwayat Tsa’labah bin Hathib untuk contoh kebakhilan, karena bila kita bawakan riwayat itu berarti :

    1. Kita berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    2. Kita menuduh shahabat ahli Surga dengan tuduhan yang jelek.
    3. Kita berdusta kepada orang yang kita sampaikan cerita tersebut kepadanya.

    Ingat, kita tidak boleh sekali-kali mencela, memaki atau menuduh dengan tuduhan yang jelek kepada para shahabat Rasululluh shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Beliau bersabda :

    “Artinya : Barangsiapa mencela shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia”.
    (Hadits Riwayat Thabrani).

    Wallaahu a’lam bish shawab

    sumber: http://assunnah.or.id/artikel/masalah/27tsalabah.php
    KISAH TSA’LABAH BIN HATHIB AL-ANSHARIY

    Oleh
    Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

    “Sedikit (harta) yang engkau tunaikan (kewajiban) syukurnya labih baik dari banyak (harta) yang engkau tidak sanggup menunaikan (kewajiban syukurnya)”

    SANGAT LEMAH. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Al-Maawardiy dan Ibnu Sakan dan Ibnu Syaahin dan lain-lain sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir di Tafsir-nya (2/374 di dalam menafsirkan ayat 75 & 75 surat At-Taubah) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahabah (juz 1 hal.198) dan Ibnu Abdil Barr di kitabnya Al-Isti’aab (juz 1 hal. 200-201), dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah, dari Ali bin Yazid, dari Qashim bin Abdurrahman, dari Abu Umamah (ia berkata) : Bahwa Tsa’labah bin Haathib Al-Anshariy pernah berkata : Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar Ia memberikan rizki kepadaku berupa harta (yang banyak).

    Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedikit (harta) yang engkau tunaikan (kewajiban) syukurnya lebih baik dari banyak (harta) yang engkau tidak sanggup menunaikan (kewajiban syukurnya)”

    Kemudian ia menyebutkan hadits yang panjang tentang do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Tsa’labah agar memperoleh harta yang banyak. Yang pada akhirnya Tsa’labah tidak mau mengelurkan zakat. Kemudian turunlah firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 76. Dan di dalam hadits itu diterangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mati tidak mau menerima zakatnya Tsa’labah. Demikian juga Abu Bakar dan Umar dan dia mati pada zaman pemerintahan Utsman.

    Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahaabah (juz 1 hal. 198) setelah meriwayatkan hadits diatas, “Jika sah hadits di atas, dan saya mengira bahwa hadits di atas tidak sah”.

    Saya berkata ; Sanad hadits ini sangat dla’if, di dalamnya terdapat dua ‘illat (penyakit).

    [1]. Mu’aan bin Rifa’ah As-Salaamiy, seorang rawi yang lemah/dla’if di dalam periwayatan hadits. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya, “Layyinul hadits katsirul irsaal (orang yang lemah haditsnya dan sering memursalkan hadits)”.

    [2]. Ali bin Yazid bin Abi Ziyad Al-Alhaaniy Abu Abdul Malik Ad-Dimasyqiy. Berkata Al-Hafidz di Taqrib-nya, “Dla’if” Berkata Bukhari, “Munkarul hadits”. Berkata An-Nasa’i, “Laisa bi tsiqatin (bukan orang yang tsiqah)”. Berkata Daruquthni, “Matruk”. Dn lain-lain [Mizanul I’tidal Juz 3 hal.161]

    Saya berkata : Ditinjau dari jurusan matannya (isinya) hadits ini pun batil dari beberapa jurusan.

    Pertama : Tsa’labah bin Haathib Al-Anshariy seorang Shahabat yang ikut di dalam perang Badar. Sedangkan orang yang ikut perang Badar telah ditegaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan masuk neraka sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahabah Juz 1 hal. 198 dengan menurunkan sebuah hadits shahih.

    Kedua : Tidak dijumpai dari seorangpun Shahabat yang tamak terhadap dunia, kikir dan tidak mau mengeluarkan zakat sebagaimana riwayat di atas apalagi dari seorang Shahabat yang pernah ikut di dalam perang Badar.

    Ketiga : Hadits dla’if di atas jelas-jelas telah menyalahi sirah (perjalanan) para Shahabat yang mulia yang telah mendapat keridlaan Rabbul Alamin

    Keempat : Sebaliknya, mereka berlomba-lomba menginfakan harta-harta mereka fi sabilillah.

    Kelima : Kebatilan dan kejanggalan hadits diatas akan bertambah jelas apabila kita melihat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘tidak mau’ menerima taubatnya. Padahal Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat sebagaimana firman-Nya di banyak ayat di dalam Al-Qur’an. Demikian juga sabda-sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallm yang suci yang menjelaskan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat hamba-hamba-Nya yang berdosa hatta si kafir dan si musyrik dan munafiq. Mimbaabil aula (lebih utama lagi) dari seorang muslim yang berdosa hatta dosa yang paling besar yaitu syirik kalau dia bertaubat sebelum matinya, niscaya dia dapati bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat.

    sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2314/slash/0